UU TPKS dalam Distorsi Tatanan Keluarga

Sumber Gambar: bandung.urbanjabar.com
SETELAH sepuluh tahun mengalami penolakan, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) akhirnya disahkan DPR menjadi undang-undang (UU) kemarin (12/4). Ada sembilan jenis delik kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU TPKS itu. Antara lain tindakan pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, dan pemaksaan sterilisasi. Juga pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, serta kekerasan seksual berbasis elektronik.
Selain itu, ayat (2) juga mengatur bentuk kekerasan seksual, antara lain delik pemerkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak, serta perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban. Demikian pula delik pornografi melibatkan anak atau memuat kekerasan/eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, perdagangan orang untuk eksploitasi seksual, dan kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga.
Berdasar substansi delik tersebut, spirit UU TPKS lebih mengarah pada perlindungan hukum terhadap kaum perempuan (dewasa dan anak). Semoga saja penegakan hukum atas UU ini bisa berjalan efektif sekaligus menjadi pedoman pencegahan terjadinya kekerasan terhadap kaum perempuan. Sebab, selain dasar penindakan terhadap pelaku, hukum juga sarana edukasi preventif.
Hadirnya UU TPKS merupakan pertanda bahwa peran laki-laki (kaum bapak) sebagai pengayom kaum perempuan semakin pudar di era posmodernisme ini. Spirit relativisme (merelatifkan moral) kian mengemuka di era ini. Padahal, secara kodrat, kaum lelaki memiliki peran sebagai pelindung sekaligus bertanggung jawab atas kenyamanan pasangannya, putrinya, dan perempuan pada umumnya. Kekerasan terhadap perempuan bakal minim terjadi jika kaum lelaki bersikap rela berkorban bagi kaum perempuan, terutama bagi anak dan pasangannya.
Potensi pelanggaran atas UU TPKS bakal banyak muncul akibat minimnya pendidikan tentang karakter pengayom (kebapakan) bagi anak laki-laki sejak dini. Pendidikan yang kian memisahkan moral dari pendidikan membuat ajaran tentang sikap etis terhadap perempuan kian minim. Kekerasan terhadap perempuan dan anak berawal dari minimnya teladan komitmen kebapakan dalam menghormati kaum perempuan. Padahal, di kala kaum lelaki butuh dihormati perempuan, di saat itu pula perempuan butuh diayomi dan dimengerti.
Kekerasan Batin
Ini bukan sekadar isu hak asasi, tapi juga sebuah ordo (tatanan) bahwa kaum laki-laki wajib melindungi kaum perempuan dan kaum perempuan wajib menghormati kaum laki-laki. Karena itu, di luar substansi UU TPKS, perempuan yang diputus atau diceraikan oleh pasangannya acap menjadi korban kekerasan (batin). Demikian pula anak-anak dari kasus-kasus perceraian umumnya mengalami kekerasan batin karena tidak lagi mendapat kasih sayang penuh dari kedua orang tuanya.
Akibatnya, banyak anak perempuan yang kecewa hingga saat dewasa melarikan diri pada pola kehidupan bebas yang memberi peluang ragam kekerasan lanjutan. Sebagian laki-laki melakukan kekerasan terhadap perempuan karena bapaknya jarang mendidiknya tentang mengayomi perempuan. Atau si pelaku tidak pernah belajar menghormati ibunya. Jadi, kekerasan terhadap perempuan selama berabad-abad tidak terlepas dari kacaunya ordo kedudukan laki-laki dan perempuan dalam keluarga.
Akibatnya, sebagian laki-laki menjadikan perempuan sebagai objek kepentingan diri hingga tindakan eksploitasi terhadap perempuan. Dekonstruksi atas nilai-nilai kesusilaan merupakan pintu utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Katalisator perusakan itu adalah dunia hiburan (terutama film) yang sering menampilkan kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan. Tatanan gender (ordo) yang kian kacau telah memicu ragam problem sosial seperti tingginya angka perceraian, perselingkuhan, free sex, dan ragam bentuk pelecehan perempuan lainnya.
Kekacauan ini membuat fungsi UU TPKS menjadi penting sebagai penghukum tindak kekerasan ekstrem, bukan sebagai sarana pencegahan utama. Pencegahan kekerasan yang paling efektif ialah membangun peradaban dan karakter kaum laki-laki sebagai pelindung, pengasih, dan pengayom. Perjuangan kaum perempuan dalam tataran logika hukum dan nilai-nilai hak asasi manusia merupakan bukti makin banyaknya kekacauan dalam tatanan relasi antara laki-laki dan perempuan.
Sebagian kaum lagi sulit mengerti perasaan perempuan hingga sebagian perempuan pun tidak respek terhadap kaum lelaki. Misalnya, ada yang beranggapan bahwa kaum perempuan lebih banyak memakai perasaan lembutnya ketimbang logika. Karena itu, kaum lelaki tidak seharusnya membiarkan kaum perempuan berlogika hukum (advokasi) dalam melindungi kaumnya. Kegagalan sebagian laki-laki sebagai pengayom telah memaksa perempuan berpikir keras untuk berjuang bagi kaumnya.
Padahal, laki-lakilah yang seharusnya lebih banyak berlogika untuk memperjuangkan rasa nyaman kaum perempuan. Kodrat kaum laki-laki dan perempuan tidak mungkin sama, tapi kekerasan batin dan fisik telah membuat kaum perempuan berjuang seperti kaum laki-laki. Bahkan, laki-laki dianggap oleh sebagian perempuan sebagai lawan di tataran hukum.
Karena itu, selain menegakkan UU TPKS, langkah-langkah mengatasi tindak kekerasan terhadap perempuan ialah: pertama, negara harus berupaya menyelamatkan lembaga perkawinan. Perkawinan bukanlah barang mainan yang mudah diadakan dan mudah dibubarkan. Sedangkan lelaki dan perempuan yang mengalami perceraian pasti saling menyakiti satu sama lain. Ironisnya, angka perceraian di Indonesia masih tinggi, misalnya tahun 2021 mencapai 447.743 kasus (lebih tinggi daripada tahun 2020).
Kedua, kurikulum pendidikan perlu memuat peran laki-laki dalam mengayomi perempuan dan anak perempuan untuk menghormati laki-laki. Ketiga, cegahlah perkawinan dini guna mencegah perilaku yang tidak bertanggung jawab dalam keluarga. Keempat, lindungi keluarga dari pengaruh tontonan atau hiburan yang dapat merusak tatanan laki-laki dan perempuan.
Kuncinya ada di tangan negara dan kaum bapak. Sebagai kepala keluarga, kaum laki-laki berperan sentral dalam memahami kondisi rohani, perasaan, dan karakter pasangan serta anggota keluarganya. Sedangkan keibuan kaum perempuan berperan dalam mengimbangi rasionalitas kaum laki-laki.
Oleh:
Augustinus Simanjuntak
Dosen Hukum Keluarga Program Manajemen Bisnis FBE Universitas Kristen Petra Surabaya
JAWA POS, 13 April 2022
Sumber:
https://www.jawapos.com/opini/13/04/2022/uu-tpks-dalam-distorsi-tatanan-keluarga/