Putusan MK Untuk Gibran, tidak Sah

Sumber: detik.com

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang ditengarai telah memuluskan pencawapresan Gibran Rakangbumi Raka mendampingi Prabowo Subianto, kini banyak pihak yang mempersoalkannya. Tercatat, sudah ada tiga belas laporan etik terhadap hakim MK yang memutus perkara tersebut. Teranyar, pada Kamis (26/10), sebanyak 16 guru besar dan pengajar Hukum Tata Negara (HTN) yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS) melaporkan ketua MK Anwar Usman ke Majelis Kehormatan MK (MK MK).

Memang, dari belasan laporan etik tersebut, rata-rata mempersoalkan “konflik kepentingan” Anwar Usman dalam hubungan semenda, sebagai ipar Presiden Joko Widodo dan paman dari Gibran Rakangbumi Raka.

Sesuai dengan judul opini ini, penting kiranya mengulas dua persoalan hukum yang akhir-akhir ini mewarnai jagat dan prahara MK yang diplesetkan dalam kepanjangan Mahkamah Keluarga: (1) Apakah putusan MK tersebut dapat dinyatakan tidak sah? (2) Apakah kalau putusan MK tidak sah akan berkonsekuensi terhadap batalnya Gibran sebagai Cawapres Prabowo Subianto?

(Tidak) Sah

Alibi hukum dari sebagian kecil kalangan yang memandang Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak sah. Yaitu dengan berdasarkan Pasal 28 ayat 5 dan ayat 6 UU MK sebagai satu kesatuan sistematis dengan Pasal 17 ayat 5 dan ayat 6 UU Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48/2009).

UU MK sesungguhnya membenarkan tidak sahnya suatu putusan karena tidak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Saat yang sama, UU Kekuasaan Kehakiman memberikan perluasan, putusan menjadi tidak sah bukan hanya karena tidak diucapkan dalam sidang terbuka, tetapi termasuk pula karena hakim dalam persidangan tidak mengundurkan diri dari persidangan, padahal ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa. MK juga tunduk pada UU No. 48/2009 ini, oleh karena dengan berdasarkan Pasal 18, fungsi kekuasaan kehakiman tidak hanya untuk Mahkamah Agung (MA), tetapi juga untuk MK.

Putusan MK tersebut yang melibatkan hakim MK Anwar Usman sebagai pemeriksa, pengadil, dan pemutusnya. Apakah dapat dinyatakan tidak sah keberlakuannya secara serta-merta, ataukah harus dengan melalui produk hukum berupa putusan? Jika dengan berupa produk hukum putusan, apakah cukup dengan putusan Majelis Kehormatan MK saja ataukah harus disertai dengan pengujian materil kembali di MK?

Saya berpendapat bahwa untuk menyatakan tidak sah putusan MK haruslah dengan melalui pengujian materil kembali. Hal itu dengan berdasarkan pada argumentasi hukum, diantaranya: (1) Putusan MK terkait dengan kewenangannya dalam mengadili UU terhadap UUD, bersifat final (Pasal 24C ayat 1 UUD NRI 1945 dan Pasal 10 ayat 1 UU MK). Oleh karena sifatnya “final” maka tidak dengan secara serta-merta dapat dinyatakan tidak sah. (2) Asas yang berlaku untuk semua putusan pengadilan (termasuk putusan MK), yaitu res judicata provitae habitur (putusan hakim harus selalu dianggap benar, sampai ada putusan berikut yang menganulirnya). Asas ini membawa pada fungsi ketertiban hukum, bahwa betapapun kita jengkel dan bencinya dengan suatu putusan, haruslah diterima sebagai putusan yang berlaku dan mengikat.

Maka dari itu, untuk menyatakan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi tidak sah. Hal pertama yang harus dibuktikan, adalah benar tidaknya Anwar Usman memiliki konflik kepentingan dengan putusan tersebut. Ukuran yang kuat untuk membuktikan kemudian kalau Anwar Usman memiliki konflik kepentingan, harus dengan berdasarkan putusan dari Majelis Kehormatan MK.

Kemudian yang kedua, kalau nanti Anwar Usman memang terbukti memiliki konflik kepentingan, melanggar asas ketidakberpihakan (Vide: angka 5 Peraturan MK No. 9/2006) dalam perkara itu berdasarkan putusan Majelis Kehormatan MK. Maka putusan dari Majelis Kehormatan MK, dapat dijadikan dasar pengujian materil kembali atas Pasal 169 huruf q UU No. 7/2017 tentang Pemilu.

Pengujian ulang di MK tidak menjadi kehilangan obyek dan tidak “nebis in idem,” sebab alasan pengujian atau kepentingan hukumnya berbeda dengan pengujian materiil undang-undang sebelumnya. Dan jika MK mengabulkan permohonan atas pengujian ulang tersebut, misalnya dengan kembali menyatakan syarat usia Ca(wa)pres 40 tahun, tidak dapat diperluas penafsirannya termasuk bagi yang pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih (official elected), karena merupakan kebijakan hukum dari pembentuk undang-undang. Maka saat itulah, Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 baru dapat dinyatakan tidak sah.

Tidak Batal

Pertanyaan selanjutnya, Apakah kemudian dengan tidak sahnya Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang disebabkan oleh putusan MK yang baru dapat membatalkan syarat keterpenuhan usia Gibran Rakangbumi Raka sebagai Cawapres Prabowo Subianto?

Dalam hemat saya, sama sekali tidak akan membatalkan status Gibran Rakangbumi Raka sebagai Cawapres untuk Pemilu 2024, sebab putusan MK harus selalu berlaku ke depan (prospektif), tidak dapat diberlakukan surut ke belakang (retrospektif).

Demikianlah keberlakuan putusan MK, hanya bisa dinyatakan tidak sah dengan putusan MK itu sendiri. Tidak dapat berlaku ke belakang, tetapi berlaku ke depan. Bagi Haters Jokowi, Prabowo Subianto, Gibran Rakangbumi Raka, pendukung dua paslon lainnya. Anda semuanya, harus siap-siap gigit jari, sebab dengan cara apapun “politik dinasti predatoris” akan tetap bersemi di Pemilu 2024.

Hanyalah pemilih yang cerdas, penyelenggara pemilu yang kredibel, jujur dan adil, demokrasi tidak akan terancam dibajak oleh kaum oligarki dan kaum demagog, berikut dengan sarana prasarana, suprastruktur pemerintahan dalam segala kendalinya. Mereka meletakkan demokrasi langsung sebagai ruangnya membela diri, tidak ada dinasti. Terserah kepada pemilih, mau memilih atau tidak memilihnya. Inikah yang dinamakan monarki bercokol di alam demokrasi? Inikah yang dinamakan babak baru pemerintahan despotik? Mungkin saja pembaca yang lebih tahu.*

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...