Justice Collaborator Tindak Pidana Korupsi (Kesaksian Hendri Djuna di Mahkamah Konstitusi)

Pesta demokrasi Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Gorontalo telah usai. Pasangan terpilih pun telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum Provinsi Gorontalo sebagai gubernur dan wakil gubernur untuk periode 2012-2017. Akan tetapi, kesuksesan Pemilukada tersebut kemudian harus diuji kembali setelah beberapa pasangan calon memasukkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum/PHPU).

Substansi gugatan oleh pihak pemohon meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk menganulir penetapan pasangan terpilih dan melakukan Pemilukada ulang di Provinsi Gorontalo. Menurut mereka (pemohon, baca) pelaksanaan Pemilukada yang berlangsung kemarin telah mencederai proses demokrasi. Mereka berasumsi bahwa telah terjadi pelanggaran Pemilukada, baik yang dilakukan oleh pasangan terpilih berupa intimidasi kepada warga untuk memilihnya sampai ketindakan menghalangi pasangan bakal calon untuk menjadi peserta Pemilukada yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu (KPU Provinsi Gorontalo).

Selama sidang berlangsung di Mahkamah Konstitusi semua perhatian masyarakat Gorontalo tertuju di sana. Sidang dengan agenda mendengarkan saksi-saksi dari pemohon maupun termohon di Mahkamah Konstitusi membuat kita tercengan. Bukan saja karena agenda sidang ini dianggap sangat menentukan dalam hal sistem pembuktian, karena saksi merupakan salah satu alat bukti dalam persidangan (Pasal 184 KUHAP). Akan tetapi, banyaknya keganjilan dalam agenda mendengarkan kesaksian tersebut. Keganjilan ini antara lain pertama, kesaksian para Pegawai Negeri Sipil yang membongkar kecurangan yang dilakukan pasangan calon Pemilukada di daerahnya, tetapi PNS tersebut mendapatkan izin dari pasangan calon itu sendiri. Kedua, Kesaksian  seorang PNS Provinsi Gorontalo yang mengatakan bahwa mereka diperintahkan untuk menggunakan dana APBD dalam membiayai kampanye salah satu calon. Dari keganjilan di atas, ada yang menarik untuk dibahas karena kesaksiannya merupakan suatu indikasi tindak pidana korupsi (Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 yang diubah menjadi UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

Hendri Djuna dan Penyalahgunaan APBD 2011

Kesaksian dari seorang PNS Provinsi yang bernama Hendri Djuna mengejutkan banyak kalangan. Hendri Djuna membongkar dugaan penyalahgunaan APBD 2011 untuk kepentingan kampanye di Pemilukada Gubernur Gorontalo. Saat menjabat sebagai Kepala Dinas Perhubungan dan Pariwisata Provinsi Gorontalo dia diperintahkan oleh atasannya menggunakan dana APBD membiayai kampanye atasannya di beberapa kecamatan dan desa. Kisaran biaya tingkat kecamatan diberikan anggaran 500.000, dan tingkat desa sebesar 300.000 selama 9 bulan. Dugaan penyalahgunaan APBD 2011 sebesar Rp 15 miliar yang digunakan oleh salah satu pasangan untuk kampanye, sebelumnya sudah dikabarkan oleh Ketua Dewan Provinsi (Deprov) Marten Taha dan menyerahkan ke Komisi I untuk diusut. Sehingga atas kesaksian dari Hendri Djuna di Mahkamah Konstitusi semakin menguatkan dugaan adanya penyalahgunaan APBD yang berindikasi tindak pidana korupsi. Walaupun tentunya masyarakat tidak boleh terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwasanya penyalahgunaan APBD tersebut dilakukan oleh pasangan calon tertentu tanpa ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Asas praduga tidak bersalah haruslah dijunjung tinggi atas dugaan korupsi APBD ini. Kesaksian Hendri Djuna di Mahkamah Konstitusi dalam rangka sidang sengketa PHPU bukanlah sidang dengan kasus dugaan penyalahgunaan APBD (tindak pidana korupsi).

Lemahnya Kedudukan Seorang Justice Collaborator

Seorang saksi yang melaporkan dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi di instansinya dan melibatkan saksi tersebut (pelaku, baca) dikenal dengan istilah justice collaborator. Justice collaborator merupakan saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum untuk membongkar dugaan tindak pidana. Seorang justice collaborator dalam tindak pidana korupsi memiliki kedudukan yang sangat lemah bila dibandingkan dengan seorang wishtleblower dari segi perlindungan hukumnya.

Seorang wishtleblower tindak pidana korupsi diberikan perlindungan hukum yang diatur dalam Pasal 15 huruf (a) UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pasal 41 ayat 2 huruf (e) UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya (Pasal 10 ayat 1 UU Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban). Sedangkan seorang justice collaborator dalam membongkar kasus korupsi yang tentunya melibatkan dirinya tidak dapat dilepaskan dari tuntutan pidana apabila dia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah (Pasal 10 ayat 2 UU Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban) dan diberikan keistimewaan atas kerjasamanya berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA Nomor 04 Tahun 2011). Bila dikaitkan dengan kesaksian Hendri Djuna atas dugaan penyalahgunaan APBD 2011, maka dia tergolong seorang justice collaborator apabila kasus ini diproses secara hukum di pengadilan sebagai kasus tindak pidana korupsi. Akan tetapi, bila tidak maka kesaksian Hendri Djuna di sidang Mahkamah Konstitusi bisa dianggap telah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik (Pasal 310 KUHP).

 

Jupri, S.H

Lahir di Jeneponto (Sulsel) dari keluarga sederhana. sementara aktif mengajar di Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo. selain memberi kuliah untuk mahasiswa fakultas hukum juga aktif menulis di www.negarahukum.com dan koran lokal seperti Fajar Pos (Makassar, Sulsel), Gorontalo Post dan Manado Post..Motto Manusia bisa mati, tetapi pemikiran akan selalu hidup..

You may also like...