Sequensi Keilmuan dan Momentum Pemberantasan Korupsi
Hiruk-pikuk perayaan hari anti korupsi kemarin, masih segar di ingatan kita semua. Tak terkecuali Indonesia untuk kawasan timur. Momentum anti korupsi tersebut kita peringati sebagai bagian dari ratifikasi Indonesia terhadap United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Uncac dimaksud. Ratifikasi tersebut memberikan dimensi tersendiri dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, pemberantasan korupsi menyeluruh dari setiap lini perilaku koruptif di negeri ini.
Hari anti korupsi yang kita peringati bukanlah sekedar seremonial, melaksanakan kegiatan tahunan tanpa adanya agenda perubahan, khususnya dalam diri kita sendiri dan mulai dari hal yang terkecil. Korupsi di negeri ini yang begitu memasuki sendi-sendi kehidupan bangsa, menggerus nurani pembangunan di Indonesia. Bangsa Indonesia semakin terpuruk karena perilaku koruptif tidak hanya dalam tataran eksekutif, legislatif namun juga dalam tataran yudikatif.
Sinergitas Terpadu
Pemberantasan korupsi seyogyanya dimulai dari aparat penegak hukum itu sendiri, seperti nuansa pepatah menyatakan “as long as the dirty broom is not cleaned everything talk about the law is empty” (sepanjang sapu kotor kita belum bersihkan, maka semua pembicaraan mengenai hukum akan omong kosong belaka). Ketika aparat penegak hukum memberikan contoh yang baik, maka nilai trust kepada penegak hukum itu sendiri akan berjalan dengan baik pula.
Nilai trus masyarakat Indonesia akan lahir, dari setiap perilaku aparat penegak hukum itu sendiri, seyogianya aparat penegak hukum menjadi panutan bagi masyarakat Indonesia. Wujud panutan tersebut antara lain dengan kolaborasi bersama atau Sinergitas terpadu di antara penegak hukum baik Kejaksaan, KPK dan Kepolisian dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Sinergitas terpadu merupakan esensi yang fundamental dalam perwujudan bersama pemberantasan korupsi, tanpa adanya pondasi yang kuat, maka pilar penegakan hukum tidak akan dapat berjalan dengan baik.
Kita mengetahui secara bersama, di antara penegak hukum sering terjadi “konfrontasi” atau perseteruan yang justru berdampak negatif terhadap tujuan lahiriah penegak hukum itu sendiri, yakni bagaimana membangun penegakan hukum secara bersama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, demi mewujudkan Indonesia yang bersih dan bebas dari korupsi secara menyeluruh.
Masyarakat tidak ingin lagi melihat perseteruan tersebut menghambat tujuan luhur pemberantasan korupsi di Indonesia, untuk tujuan yang sama serta dibarengi dengan niat yang baik, maka kolaborasi diantara lembaga penegak hukum tersebut dalam pemberantasan korupsi mutlak sangat diperlukan. Nilai trust masyarakat Indonesia yang saat ini memberikan apresiasi positif dan ekspektasi yang sangat baik terhadap KPK, wajib untuk dijadikan panutan bagi institusi Kejaksaan dan Kepolisian.
Parameter keberhasilan KPK, perlahan namun pasti mulai diikuti oleh institusi lain yang memiliki kewenangan dalam pemberantasan korupsi yakni Kejaksaan. Kejaksaan mulai memberikan angin perubahan, dalam penanganan perkara korupsi dan pengembalian kerugian keuangan negara yang cukup signifikan. KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian haruslah saling bahu-membahu dalam tujuan yang mulia secara bersama-sama.
Egosentris institusi seringkali menjadi penghambat dalam melahirkan tujuan bersama, namun nilai apatis haruslah kita eleminir, walaupun kita ketahui secara bersama bahwa proses untuk melahirkan kekuatan bersama demi tujuan yang mulia tentulah tidak mudah laksana membangun imperium romawi oleh kaisar Justianus ketika menyatakan “rome was not bulid in a day”, hal yang sama juga berlaku dalam mebangun sinergtas terpadu diantara penegak hukum baik KPK, Kejaksaan maupun Kepolisian, dibutuhkan kebesaran hati untuk saling mengisi satu sama lainnya, agar tujuan bersama dapat berjalan dengan baik, yakni pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sequensi Keilmuan
Untuk melahirkan pemberantasan korupsi saat ini, maka dimensi ilmu dengan pengembanganKompetensi keilmuan aparat penegak hukum wajib untuk dimiliki oleh setiap aparat penegak hukum itu sendiri baik yang ada di KPK, Kejaksaan maupun Kepolisian. Karena ilmu yang sifatnya komprhensif dan holistic baik dalam tataran recht normatif, recht teori maupun recht filosofie wajib untuk digali sebagai sumber ilmu pengetahuan bagi aparat penegak hukum yang berada di kejaksaan, KPK, maupun di Kepolisian.
Kekeringan nuansa pemaknaan asas dan penerapan teori oleh aparat penegak hukum di persidangan seyogianya dapat disikapi secara bersama untuk menyirami kekeringan tersebut dengan konsepsi-konsepsi penegakan hukum tidak hanya berbasis pembuktian semata melainkan juga kepada aspek pengetahuan teori dan asas hukum secara mendalam, karena seringkali kita melihat penasihat hukum di persidangan korupsi begitu membela “secara membabi buta” terdakwa korupsi dengan mengemukakan argumentasi hukum asas dan teori, mestinya aparat penegak hukum baik yang di KPK, Kejaksaan maupun Kepolisian dapat meningkatkan sequensi keilmuan mereka.
Sequensi keilmuan haruslah senantiasa dibarengi dengan peningkatan spiritual bagi aparat penegak hukum, dengan meningkatnya kapabilitas keilmuan bagi aparat penegak hukum, maka peningkatan taraf kejujuran akan merupakan elemen yang esensial dalam melahirkan penegakan hukum yang baik dalam pemberantasan korupsi. Akhirnya, masyarakat Indonesia tidak sekedar membutuhkan lips service penegakan hukum. Masyarakat Indonesia menginginkan aktualisasi dan implemtenasi nyata kejujuran aparat penegak hukum baik KPK, Kejaksaan maupun Kepolisian dalam membangun sinergitas terpadu, secara bersama-sama demi tujuan yang mulia bagi bangsa. Tersimpul dalam sebuah kata, pemberantasan Korupsi di Bumi Pertiwi.(*)