Nelayan Konsel Tertembak, Apakah Pembelaan Terpaksa?

Penulis: Arya Muttaqin Fauzy Rahman

Kasus penembakan oleh oknum kepolisian di Sulawesi Tenggara terulang kembali, beberapa waktu yang lalu, personil KP XX-2011 Marnit Konawe Selatan melakukan penembakan terhadap 4 orang nelayan asal Desa Cimpedak Konawe Selatan (konsel).

Berdasarkan informasi yang dihimpun dari beberapa media online, sesaat sebelum terjadi penembakan, Bodi Batang (perahu) yang digunakan ke empat nelayan diandang oleh kapal yang ditumpangi oleh Bripka A dan Bripka R bersama dengan 3 Motoris yang berasal dari masyarakat sipil, yang sedang melakukan patroli diperairan Cimpedak. Kemudian Bripka A naik ke perahu nelayan untuk menemui ke empat nelayan dan melakukan pemeriksaan pada muatan bodi batang ke empat nelayan tersebut.

Salah seorang nelayan yang panik, menyalakan mesin bodi batang hingga perahu melaju dengan cepat. salah seorang nelayan lainnya, melakukan perlawanan dengan memukul tangan kiri Bripka A dengan menggunakan dayung hingga nelayan tersebut terjatuh ke laut. Atas tindakan perlawanan tersebut Bripka A melepaskan tembakan peringatan satu kali.

Selanjutnya, salah satu nelayan berusaha untuk merebut senjata laras panjang milik Bripka A, namun tidak berhasil dan Bripka A kembali menembakan tembakan peringatan.

Salah satu nelayan lainnya menggoyangkan perahu dengan maksud untuk menenggelamkan perahu, sedangkan satu nelayan lainnya membuang material bahan peledak (Bom ikan) ke laut. Untuk menghentikan tindakan yang dilakukan ketiga nelayan tersebut, Bripka A melepaskan 5 tembakan secara beruntun tanpa mengetahui arah tembakannya.

Kejadian tersebut mengakibatkan ketiga nelayan terjatuh ke laut dan mesil bodi batang berhasil di matikan oleh Bripka A. kemudian tim patroli melakukan upaya pencarian terhadap ke empat nelayan yang terjatuh ke laut. Namun, tim patroli polairud tidak menemukan ke empat nelayan tersebut.

Atas kasus penembakan tersebut, 2 orang nelayan meninggal dunia dan dua nelayan lainnya masih dalam perawatan di RS Santa Anna. Sedangkan terhadap Bripka A dan Bripka R telah dilakukan penahanan oleh Bid Propam Polda Sultra.

Hingga saat ini, Bid Propam Polda Sultra masih melakukan pemeriksaan secara intensif terhadap oknum anggota Polairud Polda Sultra mengenai SOP penggunaan senjata api sebagai alasan membela diri dalam insiden penembakan tersebut.

Pembelaan Terpaksa (Noodweer)

Noodweer merupakan hak yang telah digunakan untuk menghindarkan perbuatan dari saksi pidana, yang mengisyaratkan “pembelaan diri suatu perbuatan yang menjadi hak seseorang untuk melindungi diri atas serangan yang datang secara tiba-tiba dan bertentangan dengan Undang-Undang”, sebagai dasar pembenaran dan pemaafan dalam perbuatannya.

Makna dari kata “nood” berartikan “darurat dan seketika”, sedangkan makna dari kata “weer” memiliki arti “pembelaan”, sehingga secara istilah arti dari “noodweer” yaitu sebagai suatu pembelaan diri yang dilakukan secara darurat

Pembelaan diri secara terpaksa digunakan sebagai alasan pembenar dan pemaaf, namun Undang-Undang tidak membenarkan perbuatan tersebut dilakukan tidak dalam keadaan terpaksa. Hukum pidana menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk melakukan pembelaan ketika ia mengalami suatu serangan yang mengancam keselamatan diri, kehormatan dan harta benda dalam keadaan terpaksa.

Pembelaan terpaksa (noodweer) diatur dalam Pasal 49 KUHP, (1) tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum. (2) pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.

Pembelaan terpaksa yang termuat dalam Pasal 49 KUHP dibedakan menjadi dua, yaitu noodweer (pembelaan terpaksa) dan noodweer-exces (pembelaan darurat yang melampaui batas). menurut R. Sugandhi dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, agar dapat digolongkan sebagai pembelaan darurat sebagaimana yang termuat dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP, maka tindakan itu harus memenuhi tiga syarat; (1) Tindakan yang dilakukan itu harus benar-benar terpaksa untuk mempertahankan (membela) diri. Pertahanan atau pembelaan itu harus demikian perlu, sehingga boleh dikatakan tidak ada jalan lain yang lebih baik; (2) Pembelaan atau pertahanan yang harus dilakukan itu hanya terhadap kepentingan diri sendiri atau orang lain, peri kesopanan dan harta benda kepunyaan sendiri atau kepunyaan orang lain; (3) Harus ada serangan yang melawan hak dan ancaman mendadak (pada saat itu juga)

Lebih lanjut, Andi Hamzah menjelaskan bahwa pembelaan harus seimbang dengan serangan atau ancaman. Serangan tidak boleh melampaui batas keperluan dan keharusan. Harus seimbang atau harus proposional antara kepentingan yang dibela dan cara yang dipakai di satu pihak dan kepentingan yang harus dikorbankan.

Misalnya, jika dengan menodongkan pistol saja atau dengan menembak tangannya saja sudah cukup maka menembak mati si penyerang tidak melepaskan si penembak  dari tuntutan hukum.

Noodweer Exces

Sama halnya dengan pembelaan terpaksa (noodweer), Noodweer Exces (pembelaan darurat yang melampaui batas) sebagaimana yang diatur dalam pasal 49 ayat (2) KUHP, diisyaratkan harus ada serangan yang mendadak atau mengancam ketika itu juga.

Pembelaan pelampauan batas diperkenankan oleh Undang-Undang, asal saja disebabkan oleh goncangan perasaan yang hebat, yang timbul karena serangan tersebut. Goncangan perasaan yang hebat dimisalkan perasaan marah sekali, biasa dikatakan “mata gelap”.

Merujuk pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 868/Pid.B/2021/PN.Jkt.Sel junto Putusan Mahkamah Agung Nomor: 938 K/Pid/2022, dalam amar putusannya majelis hakim pada pokoknya menyatakan bahwa, perbuatan terdakwa terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Primair Penuntut Umum, akan tetapi terhadap terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana karena didasarkan pada pembelaan terpaksa (noodweer) dan pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer exces)

Berdasarkan fakta hukum yang terungkap di muka persidangan, anggota laskar FPI terlebih dahulu melakukan penyerangan, penodongan dan penembakan ke arah mobil yang ditumbangi anggota kepolisian (terdakwa), atas tindakan tersebut, anggota kepolisian membalas tembakan ke arah mobil anggota FPI

Peristiwa selanjutnya, anggota FPI telah mencekik, menonjok, mengeroyok dan menjambak rambut serta berusaha merebut senjata salah satu anggota kepolisian. dalam rangka membela diri atas serangan anggota FPI, anggota kepolisian melepaskan tembakan ke arah anggota FPI yang mengakibatkan tewasnya anggota FPI yang melakukan penyerangan.

Atas tindakan kepolisian, majelis hakim berpendapat bahwa anggota kepolisian yang melakukan penembakan terhadap anggota FPI terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan, akan tetapi tidak dapat dijatuhi pidana karena pembelaan terpaksa (noodweer) dan pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer exces)

Bukan Pembelaan Terpaksa (Noodweer)

Penyerangan yang dilakukan oleh 3 nelayan, dengan cara memukul tangan kiri Bripka A dan hendak merebut senjata laras panjang milik Bripka A, serta mencoba untuk menenggelamkan bodi batang (perahu) nelayan, sedangkan satu nelayan lainnya hanya membuang material bahan peledak (bom ikan) ke laut, dibalas dengan serangan yang tidak berimbang oleh Bripka A.

Dengan menggunakan senjata api berupa senjata laras panjang, yang ditembakkan secara beruntun oleh Bripka A, telah menembak korban Macho, Allung, Putra dan Ucok. Dua diantaranya mengenai dada sebelah kiri sedangkan dua lainnya mengenai bagian paha dan bokong

Serangan dengan cara menembak menggunakan senjata laras panjang, disamping tidak sebanding dengan serangan yang dilakukan oleh para korban, yang hanya menggunakan dayung dan tangan, tembakan beruntun Bripka A juga mengarah sejajar dengan posisi para korban, yang seharusnya Bripka A masih mempunyai kesempatan dan dapat menembakkan senjata laras panjangnya ke arah atas atau setidak-tidaknya agak mengarah ke bawah, agar tidak mengenai bagian vital dari tubuh korban, jika hanya ingin untuk melumpuhkan serangan para korban

Dengan demikian, perbuatan Bripka A bukan merupakan pembelaan terpaksa (noodweer) atau pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer exces). Karena keselamatan Bripka A tidak sedang dalam terancam jiwanya ataupun mengalami luka berat. Dan juga kekuatan para korban yang tidak sebanding dengan kekuatan Bripka A yang diperlengkapi dengan senjata api.

 

Oleh:

Arya Muttaqin Fauzy Rahman

Ketua Pusakko UHO 2017 – 2018

You may also like...