Revisi KUHP dan KUHAP Perlu Harmonisasi

DPR dan Pemerintah tetap bersikukuh melanjutkan pembahasan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sikap ini disampaikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; Amir Syamsuddin. Ia mengatakan Pemerintah tidak memiliki niat apapun untuk melemahkan KPK. RUU KUHP dan RUU KUHAP merupakan ketentuan umum (lex generalis) sehingga tidak menghilangkan kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

gedung-dpr-mpr

Sumber Gambar: hominoids.blogspot.com

Pernyataan Amir Syamsuddin memang ada benarnya, karena dalam perumusan dan pembahasan RUU tidak boleh keluar dari asas pembentukan hukum. Asas hukum merupakan jantungnya norma, yang dari padanya akan lahir ketentuan-ketentuan hukum dalam bentuk pasal-pasal, untuk mencapai tujuan dasar pembentukan undang-undang tersebut. Sederhananya, yang namanya bunyi asas pasti mengalahkan bunyi undang-undang.

Kalau seperti itu, berarti revisi KUHP dan KUHAP jangan sampai melabrak asas dalam perumusannya, sebab undang-undang tersebut akan menjadi sia-sia. Hingga pada akhirnya, tidak dapat diterapkan terhadap semua elemen yang dituju dari undang-undang itu.

Lex Specialist

Niat baik pemerintah bersama dengan DPR untuk menyelesaikan Revisi KUHP dan  KUHAP selayaknya diapresiasi. Namun waktu pembahasannya saja tidaklah tepat. Bahwa perubahan Undang-undang yang menyangkut hajat hidup orang banyak, lalu hanya ingin diselesaikan secara terburu-buru, sejatinya melanggar asas kepantasan dan kepatutan. Waktu yang tersisa bagi anggota DPR sebagai pembahas RUU KUHP dan RUU KUHAP tersebut, jika dihitung-hitung, kini tersisa kurang lebih 100 hari. Apakah dengan waktu yang singkat itu, dalam pembahasan dan pelembagaannya,  dapat mengakomodir semua kepentingan? Jawabannya; pasti tidak.

Apalagi pembahasan RUU KUHP dan KUHAP tersebut juga akan dilakukan kodifikasi dan unifikasi terhadap tindak pidana di luar KUHP, termasuk hukum acara pidana yang tersebar di luar KUHAP juga akan dilakukan penyesuaian. Artinya, semakin memperkuat saja “alibi” bahwa dengan banyaknya undang-undang di luar KUHP, harus menjadi bagian pembahasan oleh DPR pula, waktu 100 hari yang tersisa tidaklah cukup.

Pada intinya, revisi KUHP dan KUHAP terkait dengan masalah pengkodifikasian dari  semua tindak pidana di luar KUHP yang termuat dalam UU (Undang-Undang) tersediri. Tidak semuanya UU yang berlaku khusus (lex specialist) dapat dikodifikasi kedalam UU yang berlaku umum (lex generalist). Ada kalanya UU kemudian dinyatakan berlaku khusus, disebabkan oleh tiga hal. Pertama, memang dalam UU yang berlaku umum tersebut tidak ada ketentuan hukumnya, sehingga perlu dibentuk UU yang akan berlaku khusus. Kedua, ada diatur dalam UU yang berlaku umum namun dalam UU itu belumlah lengkap atau tidak sempurna, maka dibentuk UU yang berlaku khusus untuk melengkapinya. Ketiga, karena hukum yang mengalami dinamisasi. Dinamisasi yang dimaksud di sini, adalah tindak pidana tersebut kemudian dianggap sebagai kejahatan yang memiliki dampak luar biasa. Sehingga, meskipun  sudah diatur dalam UU yang dinyatakan berlaku umum, tetapi tetap perlu dibentuk undang-undang yang berlaku khusus.

Untuk poin pertama dan kedua sebagai dasar pembentukan UU khusus di atas, dapat mengalami pengkodifikasian dalam UU yang berlaku umum. Sebagai contoh, tindak pidana pemilu, tindak pidana perikananan, tindak pidana dibidang Hak Kekayaan Intelektual dan lain-lain dimungkinkan masuk dan  terintegrasi dalam pasal-pasal KUHP.

Berbeda halnya untuk poin ketiga, karena dinamisasi hukum, kemudian sebuah tindak pidana dinyatakan memiliki dampak luar biasa. Sifat keberlakuan khususnya tetap penting dan perlu untuk dipertahankan. Di sinilah tindak pidana seperti korupsi, narkotika, dan terorisme mendapat tempat, tetap layak  untuk dipertahankan ke-khasannya yang luar biasa. Dengan demikian, jenis pidana, sanksi, dan proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutannya dapat berbeda seperti yang diatur dalam undang-undang yang berlaku umum.

Dari sini pula keberlakuaan asas lex specialist derogate legi generale (ketentuan khusus mengenyampingkan ketentuan umum) penting untuk dimaknai, sekalipun KUHP dan KUHAP menganjurkan agar undang-undang yang terkait dengan “dirinya” harus menyesuaikan. Tetapi penyesuaiannya harus dalam bentuk “pengecualian”. Taruhlah misalnya, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK), UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan UU Pengadilan  Tipikor, kalaupun harus menyesuaikan dengan revisi KUHP dan KUHAP, jika sanksi tindak pidana korupsi dikenal pengembalian kerugian Negara, kemudian KUHP tidak mengaturnya, maka UU Pemberantasan Tindak Pidana korupsi tetap harus mengaturnya, dan tidak perlu mengikut ke pengaturan KUHP. Demikian pula dalam hal kewenangan penyadapan bagi KPK harus  mendapatkan izin dari hakim komisaris (sebagaimana diatur dalam revisi KUHAP) sebelum dilakukan penyadapan. UU KPK, juga dapat menentukan lain dari apa yang ditentukan oleh KUHAP, tanpa izin hakim komisaris, KPK dapat melakukan penyadapan terhadap perkara korupsi yang sedang (akan) ditanganinya.

Perlu Harmonisasi

Maka  dari itu, sikap “kukuh” Pemerintah bersama DPR untuk tetap menggolkan revisi KUHP dan KUHAP bukanlah perkara gampang, semuda membalikan telapak tangan. Mengapa tidak gampang? Sebab revisi tersebut juga akan melibatkan pembahasan undang-undang lain, yang terkait dengan tindak pidana yang diatur dalam KUHP, termasuk pula ketentuan-ketentuan hukum acara yang tersebar dalam undang-undang yang berlaku khusus.

Cara yang paling tepat, tidak ada jalan lain, memang pembahasan revisi KUHP dan KUHAP saat ini mesti ditunda, dan menunggu fase DPR yang terpilih berikutnya untuk membahas undang-undang tersebut. Agar konsentrasi dan penelahaan semua undang-undang yang hendak dikodifikasi dan melakukan penyesuaian. Semua dapat terakomodir dalam revisinya.

Terakhir, jangan dilupakan bahwa undang-undang yang berlaku khusus dan memiliki dampak luar biasa, terutama UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU KPK harus menjadi agenda pembahasan DPR nantinya dalam satu program legislasi nasional (Prolegnas). Sehingga  revisi KUHP dan KUHAP, akan mengalami harmonisasi terhadap UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU KPK.

Jika harmonisasi KUHP dan KUHAP diperhatikan, terhadap segala undang-undang sektoral pemberantasan korupsi.  Tidak mungkin KPK “takut” terlucuti kewenangannya, apalagi revisi KUHP dan KUHAP, dicuriga akan membubarkan KPK sebagai lembaga nomor satu pemberantas koruptor kelas kakap di negeri ini. *

 

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...