Mereka Penghancur MK
Masih memiliki keterkaitan erat tulisan saya yang lalu-lalu, bahwa tertangkapnya Akil Mochtar patur kita menaruh curiga kalau hal itu merupakan konspirasi dari sekelompok elit, yang sengaja menghancurkan MK, tiada lain bertujuan untuk mendelegitimasi MK, kini saatnya mengatakan kalau benteng keadilan itu tidak mampu lagi menjalankan fungsinya sebagai pengawal demokrasi. Khususnya, untuk sengketa hasil pemilukada yang ditengarai rawan akan suap menyuap terhadap kandidat yang sedang bersengketa di MK. Bagaimana tidak, ruang itu memang sudah dikunci rapat, bahwa semua putusan MK memang bersifat final and binding. Maka menyuap hakim MK, sudah merupakan hadiah penalty, ibarat kemenangan sudah berada di depan mata.
Lagi-lagi pasca SBY mengeluarkan Perppu (peraturan Pemerintah Penggantu Undang-Undang) No 1 Tahun 2013 tentang perubahan UU No 24 tahun 2003 tentang MK, oleh SBY yang terkesan ditunda-tunda. Sebenarnya SBY dalam posisi ini kalau memaknai “alasan kegentingan yang memaksa” sudah tidak tepat, oleh karena Presiden mengeluarkan Perppu selang waktu penangkapan Akil berada dalam masa hitung 14 hari, artinya kalau memang dikatakan ihwal yang memaksa, sepantasnya hanya dalam satu, dua atau tiga hari, SBY mesti dengan cepat menyikapinya dengan mengeluarkan Perppu. Tapi itulah permainan, Perppu yang sedianya menjadi wilayah subjektif presiden toh pada intinya masih meminta saran dari para pakar, ironisnya malah meminta saran pula dari sejumlah politisi.
Saya mengatakan bahwa keluarnya Perppu tersebut merupakan episode kedua untuk menghancurkan MK. Tepatnya episode ini adalah “bola liar Perppu MK untuk DPR”. Dalam situasi yang demikian pembahasan nilai objektif Perppu agar dapat menjadi undang-undang di DPR, hanya akan menjadi “panggung politik” para anggota DPR, fraksi merebut citra serta mengambil keuntungan, memihak untuk MK ataukah tidak. Perppu untuk selanjutnya akan menjadi “mainan kelereng” para fraksi di parlemen, untuk saling menjatuhkan.
Andaikan DPR hendak balas dendam, yang selama ini Undang-undang yang sudah dibahas bersama, ada banyak yang pernah dibatalkan oleh MK, sehingga kian memperburuk citra parlemen yang mengonfirmasi kalau parlemen merupakan sekumpulan pejabat tidak professional dalam merancang dan membahas UU, karena “dengan gampang” putusannya selalu dicabut oleh MK.
Kemungkinan pula pembahasan Perppu oleh DPR, MK justru akan jatuh ditubir kehancuran. Dengan serta merta DPR tinggal menyepakati Perppu tersebut, tanpa perlu lagi mempermasalahkan substansi Perppu tersebut. Inilah awal bagi DPR memulai balas dendam menghancurkan MK yang sedari dulu selalu mengebiri “hasil” kerja keras DPR sebagai lembaga legislasi.
SBY dan Patrialis Akbar: Konspirasi
Tidak perlu dengan perangkat modern, kita bisa menebak kalau sejatinya SBY dan Patrialis Akbar memang punya niat disengaja untuk menghancurkan MK. Ada dua peristiwa yang dapat kita baca momentumnya;
Pertama, memang boleh jadi MK dari dulu banyak mafia bercokol di dalamnya, akan tetapi dua mantan ketua MK pintar menutupi “borok” tersebut, maka dikirimnya Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi, dialah dalang yang akan “membongkar” semua dalang kebusukan hakim konstitusi, tentu Patrialis Akbar mesti bersinergi dengan KPK (ini sudah saya tegaskan peristiwa politiknya di tulisan SBY dalang Penghancur MK) agar cepat lembaga itu juga dicerca oleh publik. Pada saat dihabisi oleh Publik, MK hilang wibawanya, muncullah SBY dibalik “tameng” konstitusi mengelurakan Perppu untuk MK, SBY hendak mendulang popularitas pada saat mengeluarkan Perppu karena dia adalah penyelamat MK. SBY ingin menasbihkan dialah saat ini pahlawan.
Kedua, memang tidak ada suap menyuap terhadap hakim MK, tapi sengaja diskenariokan, hingga seolah-olah hadir beberapa actor yang terlibat dalam penyogokan ketua MK. Semua actor seperti CN, WN, mereka adalah orang pesanan guna meyeret institusi MK dalam lembah yang curam. Inipun tidak terlepas dari peran Patrialis Akbar yang mempelajari relasi Akil di MK, lalu diskenariokan Akil seolah-olah disuap atas kasus yang ditanganinya.
Entah apa yang ada dibenak SBY, kenapa Patrialis Akbar yang boleh dibiang tidak pernah memiliki prestasi apa-apa selama menjabat kementerian Hukum dan HAM, bahkan dicap mendapat rapor merah. Lalu ditasbihkan sebagi hakim MK. Sebuah fakta yang bertolak belakang ketika prasyarat negarawan yang bisa menjadi hakim MK, lalu Patrialis Akbar diajukan sebagai hakim MK, bahkan terkesan ditutupi pengusungannya. Ada apa dibalik itu, dimana letak kenegarawanan Patriais Akbar ketika memiliki rapor merah hingga akhirnya didepak dari kursi kementerian, namun tetap diloloskan sebagai hakim konstitusi.
Saya tidak perlu mengulas banyak di sini lagi momentum yang bisa terbaca ketika patrialis Akbar kelihatan memiliki rencana dari awal untuk menghancurkan MK atas pesanan SBY. Parahnya lagi, apa yang terjadi kalau DPR dan presidenlah bekerja secara kolektif mengirim Patrialis Akbar, agar mensimulasikan kejahatan untuk MK. Karena selama ini MK selalu dipuja-puja, toh dibalik pujian atas MK, malah banyak merugikan DPR dan Presiden.
Kesimpulan yang lebih meyakinkan kalau patrialis Akbar adalah penghancur MK. Kali ini lagi-lagi kelihatan akal “kancilnya”. Setelah menghadiri konferensi penentuan status tersangka Akil Mochtar di KPK kini keceplosan lagi. Entah disengaja atau tidak, seorang hakim MK yang sedianya menunjukan independensinya, dan tidak boleh terlalu banyak bicara terkait dengan institusinya. Tapi mengapa Patrialis Akbar hadir di gedung KPK seolah-olah merestui KPK menangkap Akil Muchtar.
Dalam peristiwa yang lain pada momen kedua justru Patrialis Akbar malah berkomentar lagi atas Perppu Nomor 1 tahun 2013 yang dikeluarkan oleh Presiden. Dengan gagah berani Patrialis Akbar merespon baik semua isi Perppu tersebut. Sedianya di sini Patrialis Akbar harus sadar diri jangan terlalu banyak berkomentar atas Perppu itu, karena bersentuhan langsung dengan Insitusinya, tapi Patrialis Akbar memang tidak mampu menahan diri, sehingga terkuaklah sudah kalau memang Patrialis Akbar telah berkonspirasi dengan istana untuk menghancurkan MK.
Sasarannya: Pemilukada Tak Langsung
Semua konspirasi itu dibangun, bahwa pembahasan revisi UU Pemda yang mengutamakan pada pemilukada tidak langung agar gol di parlemen dan tidak menimbulkan “reaksi” oleh rakyat itu sendiri. Kehancuran MK yang telah direkayasan sedemikian rupa, dianggap juga tidak mampu mengawal sistem pemilukada langsung.
Adalah kembali ke model pemilukada tak langsung satu-satunya menjadi solusi terbaik. Sederhana saja kita berpikir, kalau sudah dikembalikan sistem pemilukada tak langsung, yang mana kepala daerah dipilih oleh DPRD, tentu tidak memunculkan lagi masalah sengketa tentang hasil suara. Dibalik itu pula praktik memanipulasi anggaran antara anggota DPRD dan kepala daerah akan semakin sulit dikontrol, anggota DPRD sebagai perwakilan partai dipastikan dengan gampang berbagi jatah anggaran. Ujung-ujungnya semua anggaran semata digunakan untuk membesarkan partai politik. Kalau saat ini muncul formula transparansi penggunaan anggaran di perwakilan DPR, memang partai politik semakin sulit untuk berbagi anggaran lagi pada tahun-tahun berikutnya.
Selangkah lebih maju, anggota DPR yang notabene adalah anggota partai politik, mereka tidak mau kehilangan sumber pendanaan partai dari Negara yang diperoleh dari kementerian terkait. Kalau itu susah dilakukan pada tahun-tahun berikutnya, mereka akan berimigrasi ke bawah (ke daerah) mencari dana partai melalui kongkalikong anggota DPRD dengan kepala daerah.
Apapun partainya jika ditelaah secara cermat semuanya, saat ini semua partai politik berhimpun dalam sebuah komunitas, ramai-ramai menghancurkan MK. SBY di bawah kendali PD meruntuhkannya melalui Perppu, Golkar adem-adem saja suatu waktu, memang sengaja memberikan kadernya CN untuk menjebak Akil Mochtar, sembari membiarkan politik dinasti dikritik terus menerus dari kader Golkar Ratu Atut, karena salah satu isu dominan dalam revisi UU Pemda adalah menghentikan dinasti, sisi positif itulah yang ingin dimunculkan, sehingga kita lupa pada permainan para aktor politik menyelipkan sistem pemilukada tak langsung, yang justru akan semakin menghancurkan sendi-sendi demokrasi nantinya. (*)