Pemberantasan Korupsi dan “Criminalized State”

Dalam tulisannya di Majalah TEMPO edisi November 2013 lalu, Todung Mulya Lubis mengulas tentang “criminalized state”, merujuk pada pendapat Robert Legvod tentang negara kriminal (criminal state). Dalam criminal state, negara melakukan tindakan kriminal sebagai kebijakan untuk menjarah uang.

Todung kemudian memperluas tasir criminal state ini dengan tesis criminalized state dalam kasus Indonesia. Jika dalam teori negara kriminalnya, Robert Legvod merujuk pada Rusia, maka criminalized state Todung merujuk pada Indonesia. Criminalized state merujuk pada kondisi saat negara dibajak oleh sekelompok orang yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri melalui berbagai tindakan, seperti membuat kebijakan, regulasi, peraturan daerah dan putusan pengadilan. Tesis ini valid dan otentik. Siapa yang bisa membantah jika selama 32 tahun dibawah rezim Orba yang korup, Indonesia adalah negara criminalized state seperti yang disebut Todung?

Sumber Gambar: photos1.blogger.com

Sumber Gambar: photos1.blogger.com

Kriminalisasi

Masih nampak relevan, kelanjutan criminalized state ala Orba masih berlanjut hingga kini. Orba memang telah runtuh, meski tidak sepenuhnya punah jika merujuk pada sistem politik kekinian yang mewarisi mental Orba (Fadjroelrrahman, Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat; 2008). Orba masih hadir dalam mental dan praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang banyak dilakukan penyelenggara negara dan penegak hukum.

Kondisi demikian terjadi dalam kasus skenario pelumpuhan KPK yang dimainkan dengan sangat rapi. Ketika hukum tidak berjalan diatas nalar kemanusiaan, maka tirani hukum atas nama keadilan terjadi. Satu persatu Pimpinan KPK, penyidik dan pegawai (KPK), Guru Besar Ilmu Hukum UGM, Prof Denny Indrayana, mantan Kepala PPATK, Yunus Husein, dosen UNAND Padang, Feri Amsari dan Charles Simabura dilaporkan ke Polisi. Mereka dilapor karena dianggap mengganggu “kepentingan negara”. Ini adalah sebuah masa, saat negara melakukan kriminal (criminalized state) karena menghukum warga negara yang (sesungguhnya) sedang membela kepentingan negara.

Ini adalah kejahatan dengan negara sebagai pelakunya. Legitimasi kuasa negara yang diperoleh dari mandat demokrasi melalui pemilu langsung, berubah menjadi tirani kuasa berselubung doktrin “penegakan hukum”. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Nilbaskara, bahwa “law is a tool of crime” perbuatan jahat dengan hukum sebagai alatnya adalah kejahatan yg sempurna, sulit dilacak, karena diselubungi oleh hukum dan berada didalam hukum (Nilbaskara, 2000).

Tirani hukum terjadi dalam beberapa kasus. Pertama, putusan hakim PN Jakarta Selatan yang mengabulkan praperadilan Budi Gunawan melawan KPK. Putusan ini mengacaukan nalar hukum positif yang dianut. Putusan hakim Sarpin yang masuk pada pokok perkara dengan mengatakan BG bukan penegak hukum dan penyelenggara negara sehingga KPK tidak berwenang mengusut menjadi bahan olok-olok dosen dan mahasiswa hukum yang baru menginjak semester pertama.

Tidak hanya itu, putusan ini juga kental beraroma politis. Penyelidikan KY menemukan faka jika ternyata Sarpin bukan hakim yang ditunjuk untuk menangani gugatan praperadilan BG. Dalam catatan KY, Sarpin termasuk hakim bermasalah. Anehnya, Sarpin yang ditunjuk menjadi hakim praperadilan, dan akibatnya fatal. Tafsir ngelantur Sarpin dalam putusan itu melabrak semua teori dan asas hukum pidana yang dianut. Dan anehnya, negara seolah melindungi keputusan itu. MA menolak kasasi KPK serta tidak mendorong pemeriksaan terhadap hakim Sarpin.

Kedua, kriminalisasi Pimpinan, penyidik dan pegawai KPK. Abraham Samad dan Bambang Widjojanto dikriminalisasi saat sedang mengusut kasus korupsi. Dua Pimpinan KPK lain; Adnan Pandu Praja dan Zulkarnaen juga terancam dikriminalisasi. Johan Budi dilapor pidana atas kasus yang sudah clear di Komite Etik KPK pada beberapa tahun lalu. Penyidik KPK Novel Baswedan dijadikan tersangka atas kasus yang terjadi pada 20006, sembilan tahun lalu. Dan dua puluh satu penyidik KPK yang sedang mengusut kasus korupsi juga terancam dikriminalisasi. Seakan belum lengkap, Komisioner Komnas HAM juga terancam pidana saat disomasi oleh Bareskrim Polri terkait penyelidikan kasus penangkapan BW yang dianggap melanggar HAM.

Anehnya lagi, bukan memberi solusi, Presiden Jokowi malah menambah masalah dengan menerbitkan Perpu dan mengirim 2 Plt Pimp KPK yang dianggap membawa hidden agenda. Belakangan terkuak, jika keduanya adalah ‘titipan’ untuk mengamankan beberapa kasus korupsi yang sementara disidik KPK. Rekomendasi Tim 9 bentukan Presiden yang beranggotakan tokoh masyarakat juga tidak dijalankan.

Pegiat anti korupsi juga dipidana karena komentarnya. Guru Besar UGM, Denny Indrayana dilapor pidana atas sangkaan korupsi dalam kebijakan payment gateaway dalam program Sistem Pelayanan Paspor terpadu (SPPT) online di Kemenkumham saat menjabat sebagai Wamenkumham. Aneh bin ajaib, mempidanakan kebijakan yang tujuannya baik, untuk menghapuskan pungutan liar dalam pengurusan paspor. Tapi negara malah mempidanakannya.

Dalam konteks ini, sulit untuk menyangkal tuduhan jika negara, melalui institusi penegak hukum, parpol, dan lembaga kepresidenan sedang berkonspirasi melemahkan agenda pemberantasan korupsi. Bertumpuk UU, Inpres dan Stranas pemberantasan korupsi yang ada di meja Presiden ibarat kertas pembungkus kacang, menjadi hukum yang tumpul saat Presiden yang diharap mendukung pemberantasan korupsi, nyatanya pro korupsi. (WS)

Artikel Ini Juga Muat di Majalah Geotimes

Wiwin Suwandi, S.H., M.H.

Advokat, Pegiat Tata Negara dan Antikorupsi di ACC Sulawesi

You may also like...