Perintah Jabatan #membedah pemikiran Albert Aries seri 1

Sumber gambar: suara.com
Allbert Aries berpendapat, apapun perintah Pejabat atau Penguasa yang memiliki Otoritas, terkualifikasi sebagai Perintah Jabatan (Sah). Tak Peduli apakah Perintah itu berada dalam wewenang atau diluar wewenang Jabatan Pemberi Perintah. Menurutnya, dalam kasus Joshua Meskipun Sambo tidak punya wewenang memerintahkan Bharada E untuk membunuh, tetaplah Perintah Jabatan Sah. Sebab Sambo memiliki otoritas sebagai atasan Bharada E. Sehingga Bharada E sebagai Penerima Perintah tidak dapat dipidana.
Menelaah pendapat Albert Aries di atas, perlu melihat teks pasal 51 ayat 1 KUHP yang berbahasa belanda sebagai berikut :
Niet strafbaar is hij die een feit begaat ter uitvoering van een ambtelijke bevel, gegeven door het daartoe bevoegde gezag (Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. Profesor (Prof) Mulyatno)
Merujuk teks di atas, Albert Aries tidak menghubungkan Kata ” Een Feit atau perbuatan (yang dilarang) dengan kata “ambtelijke bevel” (Perintah Jabatan). Ia langsung menghubungkan kata Een feit (Perbuatan) dengan bevoegde gezag. Itupun kata bevoegde gezag tidak dimaknai dengan baik. Kata Bevoegde Gezag diartikan secara sempit yaitu hanya semata Pejabat atau pemilik otoritas. Tidak mengaitkan dengan wewenangnya (Bevoegde). Dengan dasar inilah ia menyatakan apapun perintah Pejabat atau Penguasa yang memiliki Otoritas, Tak Peduli apakah Perintah itu berada dalam wewenang atau diluar wewenang Jabatan Pemberi Perintah, Tetap terkualifikasi Perintah Jabatan (Sah). Pemaknaan ini bisa benar jika kata Bevel tidak bersanding dengan kata Ambtelijke dan kata Gezag tidak bersanding dengan bevoegde.
Namun kata Gezag bersanding dengan Bevoegde (Berwenang atau kompeten). Kata bevoegde ini konsekuensi dari kata Ambtelijke Bevel (Perintah Jabatan). Karena dalam jabatan pasti berbicara wewenang. Pembuat undang-undang tidak mungkin serampangan menempatkan kata Bevoegde bersanding dengan Gezag. Serta kata Bevoegde Gezag memperkuat kata Ambtelijke Bevel dalam pasal 51 ayat 1 KUHP.
Kata Een Feit harus dihubungkan dengan Ambtelijke Bevel dan Bevoegde Gezag Sehingga bermakna perbuatan yang dilarang itu adalah Perintah Jabatan yang diberikan oleh pejabat yang berwenang memerintahkannya. Seperti pendapat Noyon-Langemeijer (Het Wetboek 1) mengungkapkan, secara harfiah Ambtelijk Bevel (Perintah Jabatan) adalah Perintah yang bersumber dari ambtelijke Positie (kedudukan jabatan). Senada dengan itu, Prof Van Hamel menyatakan Perintah itu haruslah bersifat Ambtelijk atau perintah berdasarkan (kewenangan) jabatannya. Lebih konkrit, Prof Van Hamel menguraikan bahwa wewenang memberikan perintah kepada bawahan bergantung pada apakah Pemberi Perintah memiliki kewenangan untuk memberikan perintah itu.
Menguatkan alur pikir di atas , secara utuh Lamintang, R.Soesilo, Prof Wirjono, menerjemahkan dengan makna yang hampir sama Pasal 51 ayat 1 KUHP di atas dengan, tidaklah dapat dihukum barang siapa melakukan suatu perbuatan untuk melaksanakan suatu perintah jabatan yang telah diberikan oleh suatu kekuasaan yang berwenang untuk (itu) memberikan perintah jabatan tersebut.
Dari terjemahan ketiga pakar pidana tersebut di atas, diketahui unsur perintah jabatan adalah Pertama, perbuatan yang dilarang itu adalah perintah jabatan. Kedua Pemberi Perintah adalah Pejabat yang berwenang memberi perintah itu. Untuk mengukur bahwa perintah itu adalah perintah Pejabat yang berwenang, Prof Simons dalam Leerboeknya (halaman 294), Prof Van Hamel dan Prof Wirjono menegaskan selama Perintah itu diberikan berdasarkan hukum atau undang-undang (Wettelijk voorschrift).
Lalu apa maksud Perbuatan (dilarang) tapi perintah jabatan? Apa mungkin ada perbuatan (terlarang) merupakan perintah jabatan. Jawabannya ada. Pada dasarnya perbuatan itu terlarang tetapi menjadi Perintah Jabatan. Ilustrasi Kongkritnya, Membunuh, menangkap, menahan, menyita barang orang lain sebenarnya adalah perbuatan dilarang. Namun perbuatan tersebut dapat menjadi perintah (wewenang) jabatan.
Contoh-contoh yang diberikan ahli-ahli pikir pidana, yaitu Kejaksaan memiliki wewenang memerintahkan regu tembak untuk eksekusi mati. Atasan memiliki wewenang memerintahkan polisi menangkap atau menahan seseorang. Hakim dapat memerintahkan Panitera untuk menyita barang milik orang lain. Semua perbuatan terlarang itu tidak menjadi perbuatan pidana karena wewenang jabatan. Perintah-perintah seperti Inilah yang dimaksud dalam Pasal 51 ayat 1 KUHP. Perintah Jabatan Sah.
Jadi KUHP tidak membatasi (menyebut) isi perintah berupa perbuatan yang dilarang, dengan syarat perbuatan yang dilarang itu (apapun bentuknya) menjadi Perintah (wewenang) jabatan. Seperti contoh-contoh di atas.
Sebenarnya Prof Pompe yakin dengan adanya Frasa “Perintah jabatan” dalam pasal 51 ayat 1 KUHP tidak memungkinkan adanya penafsiran lain, selain penafsiran bahwa perintah itu adalah kewenangan jabatan yang dinilai menurut hukum. Keyakinan Prof Pompe ini tidak terbukti. Ternyata ada yang menafsirkan lain.
Oleh karena itu, dalam literatur pidana Konsep pasal 51 ayat 1 KUHP nomenklaturnya “Perintah Jabatan” (Ambtelijke Bevel) bukan perintah Pejabat (atasan), bukan pula perintah pribadi. Pembentuk undang-undang sadar dalam diri seseorang Pejabat, Perintah dapat berdimensi dua entitas. yaitu Perintah jabatan dan Perintah Pribadi. Perintah Jabatan dilindungi oleh Hukum, Perintah Pribadi silahkan meminta perlindungan kepada pribadi Pemberi Perintah.
Albert Aries tidak bisa membedakan Perintah Jabatan dan Perintah Pribadi. Sebab Perintah Pribadi atasan pun ingin dikualifisir sebagai Perintah jabatan (Sah). Padahal maksud Perintah dalam Konsep Perintah Jabatan Sah bukanlah Perintah Pribadi tetapi perintah oleh kekuasaan yang berwenang untuk mengeluarkan perintah semacam itu.
Lamintang dan R.Soesilo menegaskan Jika pemberi perintah tidak memiliki hak atau wewenang, maka penerima perintah yang menjalankan perintah itu tetap dihukum. Kecuali berlindung di pasal 51 ayat 2 KUHP. Agar hal itu tak terjadi, Van Bemmelen mengatakan baik Perintah Undang-undang maupun perintah jabatan, bawahan harus bersikap kritis.
Terlepas dari ragam tafsir diatas, mungkin harus direnungi dari palung nurani, bahwa di norma manapun tak ada Kepatuhan Absolut. Ia selalu dibatasi oleh Hukum atau Agama. Untuk itulah akal dan rasa diciptakan. Bukan patuh membabi buta seperti Makhluk lain.
Oleh: MUH. NURSAL NS
PRAKTISI HUKUM