Mengapa (Perlu) Melibatkan Pemerintah Sebagai Inisiator dalam Islah Ketiga Kubu Organisasi Advokat, PERADI?

DR. IRWAN MUIN 
Praktisi Hukum

Ketika Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Pimpinan Fauzi Hasibuan di Surabaya beberapa bulan lalu saya menyampaikan dengan lantang di forum bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XVI/2018 bertanggal 28 November 2019 yang menegaskan kewenangan PERADI sebagai organ negara pelaksana 8 (delapan) kewenangan Organisasi Advokat (OA) yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) hanya bisa efektif terlaksana apabila ada campur tangan negara melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopohukam). Sebab walau bagaimanapun Organisasi Advokat sebagai organ negara independent yang termasuk dalam struktur dari sistem penegakan hukum negara harus ditata dan dikelola dengan baik dan dengan secara professional karena hal tersebut bersangkut paut langsung dengan fungsi-fungsi peran negara dalam menjamin terselenggaranya pemenuhan dan perlindungan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) warga negara, terkhusus kaitannya dalam akses untuk memperoleh keadilan (access to justice). Para profesional advokat yang terhimpun dalam wadah OA akan diatur dengan penataan dan pengelolaan yang lebih baik dan modern mulai dari proses pendidikan profesi, pemagangan, ujian pengangkatan, penyumpahan sebagai advokat hingga jenjang pendidikan hukum berkelanjutan bagi advokat.

Saya mengetahui dan meyakini adanya pertemuan antara Otto Hasibuan (Dewan Penasehat PERADI), Fauzi Hasibuan  (Ketua Umum PERADI) dengan Professor Mahfud MD beberapa waktu lalu pastilah mendiskusikan tentang hal ini. Dan tentu saja Professor Mahfud MD dalam kapasitasnya sebagai seorang pakar hukum tata negara dan mantan Ketua MK sangat paham dalam menganalisis dan mengelola isu-isu maupun konflik hukum seperti ini.

Oleh karena itu pada saat diselenggarakannya pertemuan informal antara Professor Mahfud MD dan pak Yasona Laoly dengan Fauzi Hasibuan, Junivert Girsang, dan Luhut MP Pangaribuan di Jakarta pada tanggal 25 Pebruari 2020 saya berkeyakinan bahwa keterlibatan pak Mahfud dan pak Yasona saat itu memiliki makna sosiologis-yuridis yang sangat dalam sebab keterlibatan keduanya tentulah membawa “baju” dan misi beliau sebagai pejabat negara yaitu sebagai Menkopolhukam RI dan Menkumham RI. Kalau boleh dibilang pertemuan pimpinan ketiga kubu PERADI tersebut terjadi atas dasar “inisiasi” kedua pejabat negara tersebut tanpa terlepas dari tugas pokok dan fungsinya sebagai menteri-menteri yang membidani sektor pembinaan dan penegakan hukum di Indonesia, termasuk organisasi advokat sebagai stakeholders kedua kementerian tersebut. Kehadiran keduanya dalam pertemuan tersebut adalah merepresentasi sekaligus menegaskan sikap dan pendirian negara dalam menyikapi Putusan MK a quo yang telah menegaskan eksistensi PERADI sebagai manifestasi dari konsepsi wadah tunggal organisasi advokat yang berlandaskan konstitusi.

Sebagai pihak pemerintah tentu saja akan bersikap cermat dan teliti dalam menindaklanjuti putusan MK tersebut sehingga langkah awal yang dirasa perlu segera dilakukan adalah “membenahi” terlebih dahulu dulu organisasi PERADI yang secara faktual “terpecah” kedalam tiga kubu yang telah disebutkan di atas. Sebab tentu pemerintah menilai bagaimana bisa fungsi dan peran PERADI sebagai wadah tunggal OA bisa berjalan efektif jika secara internal PERADI sendiri berada dalam kondisi “kegamangan” menuju “perpecahan”. Sementara putusan MK sendiri hanya menegaskan pengakuannya terhadap organisasi PERADI tanpa menyebut PERADI di bawah pimpinan siapapun. Oleh karena itu menurut hemat saya anggota PERADI di seluruh wilayah Indonesia patut memberi apresiasi positif dan harapan besar terhadap upaya “penyatuan” ketiga kubu PERADI ini.

Jika upaya “penyatuan” ini telah menjadi agenda utama, maka persoalannya kemudian adalah, apa langkah taktis-operasional selanjutnya sebagai follow up dari penyatuan ini? Dalam hemat saya langkah pertama dan utama yang paling mendasar adalah menyelenggarakan Musyawarah Nasional (MUNAS) Bersama PERADI yang konstitusional dan demokratis dengan agenda utama kembali memilih Ketum dan Sekjend PERADI masa bakti 2020 – 2024 dengan mengacu pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PERADI. Sebab walaupun nampaknya terdapat 3 (tiga) kubu PERADI namun AD/ART PERADI sendiri tidak pernah terusik sama sekali oleh ketiganya. Kapan hal ini bisa terlaksana? Ya… tergantung kesepakatan dari Tim Akselarator yang akan dibentuk oleh ketiga PERADI tersebut.

 

Menkoplhukam, Menkumham dan Ketua Mahkamah Agung, Plus Ketua Mahkamah Konstitusi Segera Berkoordinasi Membahas Tentang Penataan Kedudukan Kelembagaan PERADI Sebagai Organ Negara Dalam Sistem Penegakan Hukum Di Indonesia.

Adalah fakta yuridik yang tidak tersangkalkan lagi dari beberapa putusan Judicial Review MK dan yang paling mutakhir adalah Putusan Nomor 35/PUU-XVI/2018 a quo dengan sangat tegas menegaskan kembali bahwa PERADI adalah satu-satunya OA yang memiliki legal standing konstitusionil yang berwenang mengemban 8 (delapan) kewenangan OA yang terdapat dalam UU Advokat.

Dengan mendasarkan pada putusan MK tersebut maka Kementerian Koordinator Polhukam di bawah komando Profeessor Mahfud MD sesuai dengan fungsi dan tugas pokok kementerian dapat menindaklanjutinya kembali dengan menginisiasi pertemuan koordinatif antar Menteri dan Pimpinan Lembaga Negara terkait seperti:  Menkoplhukam, Menkumham, Ketua Mahkamah Agung,  plus Ketua Mahkamah Konstitusi untuk duduk bersama membahas secara arif dan bijaksana tentang penataan eksistensi PERADI sebagai organ negara independen dalam sistem penegakan hukum di Indonesia berdasarkan prinsip-prinsip bernegara dalam bingkai negara hukum Indonesia.

Mengapa hal tersebut penting dilakukan? Jawabannya cukup sederhana, yaitu sebab negara (pemerintah) bertanggungjawab mengatur tata kelola dan sistem penegakan hukum termasuk peran dan fungsionalisasi Organisasi Advokat sebagai bagian dari sistem besar tersebut, yaitu sebagai organ dari subsistem penegakan hukum, yakni Struktur Hukum disamping organisasi penegak hukum lainnya seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman.

Sebagai organ negara independent (independent state organ) maka secara kelembagaan Organisasi Advokat pada prinsipnya adalah “mitra/partner” bagi organ negara lainnya dalam lingkup organisasi penegak hukum lainnya yang lazim disebut “Catur Wangsa” penegak hukum. Bahkan secara fungsional keberadaan OA yang dijalankan oleh para anggotanya adalah juga mitra bagi lembaga negara lainnya baik di eksekutif maupun yudikatif.

Mencermati kondisi kekinian yang telah hampir berjalan selama 5 (lima) tahun dengan munculnya berbagai OA diluar PERADI yang juga menjalankan kewenangan-kewenangan OA seperti melaksanakan Pendidikan Profesi Advokat, Pemaganagan dan Penyumpahan Advokat yang termuat dalam UU Advokat tentulah merupakan hal yang ironis. Jika ditelusuri lebih jauh keadaan hal ini dipicu oleh terbitnya Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 tentang Penyumpahan Advokat. Hal mana dengan berbekal “surat sakti” ini para Ketua Pengadilan Tinggi se-Indonesia melaksanakan sidang pengambilan sumpah para calon advokat yang direkrut oleh oleh OA lain diluar PERADI. SKMA ini jua secara tidak langsung menjadi “pemicu” tumbuh suburnya organisasi advokat lain selain PERADI dan OA para pendiri PERADI (IKADIN, AAI, HAPI, SPI, HKPM, IPHI dan APSI).Tanpa terlalu jauh “menguliti” SKMA tersebut namun nampaknya SKMA itu sendiri sudah tidak sejalan bahkan bertentangan dengan Putusan MK Nomor 35/PUU-XVI/2018 a quo, bahkan sejak awal sebenarnya SKMA ini telah “menabrak” spirit hukum yang terkandung dalam putusan-putusan MK terdahulu yang berkaitan dengan hal tersebut.

Kaitannya dengan upaya tersebut muncul pertanyaan, apakah Menkopolhukam berwenang untuk menginisiasi pertemuan koordinatif tersebut? Dalam hemat saya, tentu saja berwenang sebab berkaitan langsung dengan fungsi dan tugas pokok Kementerian Polhukam. Bahkan  kelak dalam pertemuan koordinasi tersebut kelak Menkopolhukam dapat memberi saran atau pendapat kepada Ketua MA agar mencabut SKMA Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 tersebut. Sebab sejatinya SKMA tersebut bukan hal yang berkenaan dengan perkara (judicial) namun berkenaan dengan fungsi-fungsi administrasi Mahkamah Agung (non judicial). Karenanya dalam konteks kewenangan “non judicial” MA tersebut maka terdapat pertautan erat dengan kewenangan pemerintah/Presiden di bidang eksekutif, khususnya dalam hal fungsi mengatur “mengharmonisasi” kedudukan maupun peletakan dasar eksistensi maupun tata kelola kelembagaan organ-organ negara (organisasi penegak hukum) termasuk organisasi advokat itu sendiri. Hal mana negara/pemerintah tidak boleh bersikap passif atau membiarkan kondisi “karut-marut” kelembagaan OA saat ini. Oleh karena itu dengan mendasarkan pada tafsir konstitusional MK sebagaimana dalam putusannya a quo maka peran negara/pemerintah dengan kewenangannya diharapkan lebih proaktif mendorong upaya profesionalisasi organisasi advokat PERADI tanpa bermaksud mencampuri “rumah tangga” PERADI.

Walaupun akhirnya sikap pemerintah/negara akan lebih pro-aktif mendorong PERADI sebagai wadah tunggal “single bar” sesuai amanat UU Advokat  dan Putusan MK No.35/PUU-XVI/2018 a quo, namun satu hal prinsip yang tidak boleh juga diabaikan oleh pemerintah demi menjaga konsistensi pendirian Kemenkumham yang sebelumnya telah mengakui “menerima” pendaftaran atau keberadaan beberapa OA di luar PERADI adalah sikap pemerintah harus tetap senafas dengan Putusan MK a quo, diantaranya tetap mengakui keberadaan OA-OA lain selain PERADI sebagai bagian dan perwujudan dari kebebasan berekspresi dan berorganisasi secara demokratis, namun wewenang menjalankan 8 (delapan) kewenangan OA yang terdapat dalam UU Advokat adalah murni menjadi kompetensi absolute PERADI.

Makassar, 26/2/2020

Oleh:

Dr. IRWAN MUIN, S.H., M.Kn.

(Wakil Ketua DPC PERADI Kota Makassar)

You may also like...