Ancaman Penundaan Pemilu

MUCHAMAD ALI SAFA’AT (Sumber: telusur.co.id)

PADA 20 Oktober 1997, Harmoko, ketua umum Partai Golkar saat itu, menyatakan dan meminta kesediaan Soeharto untuk kembali maju sebagai presiden. Harmoko mengklaim bahwa seluruh rakyat masih mendukung Soeharto. Soeharto tidak menerima begitu saja. Dia meminta pengurus Golkar mengecek kembali apakah rakyat benar-benar masih menginginkannya menjadi presiden. Saat itu pemilu tetap dilaksanakan lima tahun sekali dan belum ada pembatasan masa jabatan presiden.

Harmoko pun melakukan kunjungan ke berbagai daerah melalui acara ”Safari Ramadhan”. Hasilnya disampaikan pada 13 Januari 1998. Harmoko menyampaikan aspirasi rakyat yang secara bulat mencalonkan kembali Soeharto sebagai presiden RI periode 1998–2003. Namun, Soeharto yang dilantik MPR pada 11 Maret 1998 ternyata dipaksa berhenti oleh rakyat pada 21 Mei 1998.

Peristiwa di atas seolah diulang oleh tiga ketua umum partai politik minggu lalu dengan isi yang lebih mengagetkan. Bahkan, yang diusulkan adalah hal yang bertentangan dengan UUD 1945, yaitu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Ketua umum PKB, ketua umum Partai Golkar, dan ketua umum PAN menyampaikan usul penundaan Pemilu 2024 selama dua tahun.

Usul tersebut tentu serius karena substansinya menabrak konstitusi dan tidak populer di satu sisi. Dan di sisi lain disampaikan ketua umum partai politik yang membutuhkan elektabilitas dalam penyelenggaraan pemilu. Jika tidak serius tentu tidak akan dilakukan. Karena akan menggerus elektabilitas partai maupun ketokohan jika hendak mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden. Masalahnya, semakin serius usul itu, tentu semakin besar ancamannya bagi demokrasi dan prinsip konstitusionalisme. Keseriusan itu perlu diantisipasi dengan memetakan jalan yang akan ditempuh untuk dapat menunda Pemilu 2024.

Jalan Penundaan Pemilu

Pasal 7 UUD 1945 membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden selama lima tahun dan hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Pasal 22E UUD 1945 menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan lima tahun sekali, di antaranya untuk memilih presiden dan wakil presiden. Tidak ada ketentuan UUD 1945 yang mengatur penundaan pemilu. Tidak ada pula ruang yang membolehkan perpanjangan masa jabatan presiden.

Terang sekali, usul penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden menabrak UUD 1945. Secara wajar tidak ada jalan mewujudkan usul itu. Adanya adalah jalan tidak wajar, yaitu mengubah UUD 1945 atau melalui dekrit.

Pasal 37 UUD 1945 mengatur syarat dan mekanisme perubahan UUD. Usul perubahan harus diajukan sedikitnya sepertiga anggota MPR. Sidang MPR yang membahas usul perubahan harus dihadiri minimal dua pertiga anggota MPR. Putusan perubahan harus disetujui minimal 50 persen ditambah 1 dari seluruh anggota MPR.

MPR saat ini memiliki 711 orang anggota yang terdiri atas 575 anggota DPR dan 136 anggota DPD. Dengan demikian, usul perubahan UUD 1945 harus diajukan oleh minimal 237 orang anggota MPR. Sidang pembahasan perubahan harus dihadiri oleh sedikitnya 474 anggota dan putusan perubahan harus disetujui oleh minimal 367 anggota.

Dari sisi peta kekuatan politik di DPR dan MPR, eksekusi perubahan UUD 1945 tidaklah sulit. Jika ketiga ketua umum partai politik yang mengajukan perubahan berhasil memengaruhi semua partai koalisi, kekuatan yang dimiliki adalah 471 anggota. Lebih dari cukup sebagai syarat untuk mengajukan usul perubahan dan syarat persetujuan. Hanya kurang tiga suara untuk memenuhi kuorum.

Namun, jika perubahan itu dilakukan, UUD 1945 akan menjadi konstitusi yang bertentangan dengan paham konstitusionalisme. Alih-alih menjadi konstitusi yang berfungsi membatasi kekuasaan, UUD 1945 justru menjadi landasan bagi kekuasaan yang tak terbatas. Jika ada ketentuan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, siapa pun presidennya akan menggunakannya untuk melanggengkan kekuasaan.

Jalan kedua adalah presiden mengeluarkan dekrit yang berisi penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden dan seluruh pejabat publik yang akan habis masa jabatannya pada 2024. Dekrit adalah bentuk hukum yang digunakan dalam keadaan darurat.

Dekrit diperlukan untuk mengatasi kedaruratan yang mengancam eksistensi dan kedaulatan negara. Dekrit dikategorikan sebagai bentuk hukum tata negara darurat subjektif (subjectieve staatsnoodrecht) yang tidak tertulis dan dapat menyimpangi bahkan mengubah konstitusi. Kondisi kedaruratan itu lazimnya ditandai dengan pemberlakuan keadaan darurat objektif (objectieve staatsnoodrecht) sebagaimana diatur di dalam pasal 12 UUD 1945.

Kondisi saat ini sama sekali bukan kondisi darurat yang cukup memberi legitimasi dikeluarkannya dekrit. Walaupun di masa pandemi, ekonomi tetap tumbuh, program peningkatan infrastruktur berjalan, bahkan agenda besar pemindahan ibu kota negara (IKN) berhasil dipaksakan. Kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan justru menunjukkan bahwa saat ini sama sekali tidak ada kedaruratan yang mengancam keselamatan dan kedaulatan negara.

Mewaspadai Kenekatan

Rasio keadaban bernegara pasti menolak usul penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Selain tak berpijak pada konstitusi, argumen menjaga pertumbuhan ekonomi dan kepuasan terhadap kinerja pemerintahan adalah argumen klasik upaya mempertahankan kekuasaan yang justru menjadi pintu bagi penindasan dan ketidakadilan. Sebaliknya, pemilu selalu menjadi jalan menyelesaikan krisis melalui penyelenggaraan bernegara yang beradab.

Namun, usul tersebut harus diwaspadai oleh rakyat karena mengandung keseriusan, tidak hanya dari sisi pihak yang menyampaikan, tetapi juga dampaknya bagi peradaban bernegara. Kekhawatiran kenekatan layak menguat jika berkaca pada kenekatan pemerintah dan DPR menihilkan keberatan publik terhadap berbagai UU akhir-akhir ini. Sebut saja perubahan UU KPK, UU MK, UU Cipta Kerja, dan yang terakhir UU IKN. Bahkan, pemerintah dan DPR pun nekat tetap menjalankan UU Cipta Kerja, membangkang dari putusan MK.

Pemilu adalah soal keberlanjutan tatanan konstitusional yang mampu menjamin pencapaian tujuan bernegara. Ini tidak boleh dikorbankan hanya karena ketidaksiapan partai berkontestasi pada Pemilu 2024. Tidak boleh dikorbankan sekadar untuk menambah waktu partai dan elite tertentu menikmati zona nyaman.

Alih-alih menjaga pertumbuhan ekonomi, penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden justru akan melahirkan krisis konstitusional dan kemunduran peradaban bernegara. Mundur 62 tahun ke belakang dan harus bersiap kembali di bawah kekuasaan yang otoriter. ●

Oleh:

MUCHAMAD ALI SAFA’AT ; Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS)

JAWA POS, 1 Maret 2022

Sumber : https://www.jawapos.com/opini/02/03/2022/ancaman-penundaan-pemilu/?page=all

You may also like...