Penangkapan Para Jenderal Polisi

Sumber: jabarhits.com

Hanya dalam situasi perang seorang jenderal punya kemungkinan untuk tertangkap. Negeri kita adem ayem, tentu saja ini tidak terbantahkan, meskipun ancaman krisis global dikhawatirkan akan mempengaruhi kondisi stabilitas nasional. Tapi, di negeri yang adem ayem ini, dalam kurun yang singkat, tiga jenderal dari lingkungan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) ditangkap karena terlibat kasus kriminal.

Masih jadi buah bibir perihal Irjen Pol Ferdy Sambo, mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Mabes Polri, yang ditangkap karena diduga terlibat kasus pembunuhan ajudannya sendiri, Brigadir Joshua. Pada Jumat (14/10), giliran Irjen Pol Teddy Minahasa, mantan Kapolda Sumatra Barat, ditangkap karena diduga menjual barang bukti berupa narkoba.

Beberapa bulan sebelumnya dua perwira tinggi (pati) Polri itu ditangkap, Irjen Pol Napoleon Bonaparte sudah lebih dahulu dipenjarakan. Mantan Kadiv Hubinter Mabes Polri ini terbukti melakukan penganiayaan terhadap tersangka kasus kriminal, dan tindakan tersebut didakwa melanggar Pasal 351 ayat 1 juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP dan Pasal 361 ayat 1 KUHP. Padahal, di lingkungan Polri dan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab guna menegakkan hukum, diskresi dibenarkan. Tapi, apa yang dilakukan Napoleon Bonaparte justru disalahkan secara hokum.

Apapun alasan hukumnya, kita layak mempertanyakan bagaimana bisa tiga jenderal Polri terlibat tindak kriminal selama tahun 2022. Apakah sistem yang memproduksi pati di lingkungan Mabes Polri telah mengalami kesalahan fungsi (malfunction), sehingga perlu dilakukan perbaikan sistem agar produk akhirnya benar-benar sesuai dengan ekspektasi bersama. Ataukah, sistem yang ada telah melampaui produksi yang seharusnya sehingga terlalu banyak pati sementara kebutuhan untuk menutupi posisi dan jabatan yang ada sangat minim, sehingga pati-pati di Korps Bhayangkara saling bersaing antara satu dengan lainnya untuk mendapatkan posisi dan jabatan yang tersedia?

Dua persoalan itu tampaknya sangat mempengaruhi kualitas pati di Korps Bhayangkara. Kita tahu, salah satu metode untuk menilai kelayakan mutasi dan promosi para pati Polri adalah catatan personel yang dibuat oleh Divisi Propam Mabes Polri. Selama 2022, Divpropam Mabes Polri yang sangat substansial keberadaannya sehingga sering diposisikan sebagai “benteng terakhir Polri”, dipimpin oleh Irjen Pol Ferdy Sambo.

Dengan kata lain, Irjen Pol Ferdy Sambo yang kini jadi tersangka dalam kasus kriminal itu, punya catatan tentang personel pati Polri yang dimutasi atau dipromosikan selama 2022. Artinya, kita bisa membayangkan akan seperti apa kualitas pati yang dipromosikan dan dimutasikan sementara pihak yang melakukan penilaian justru terkait kasus kriminal.

Memang, ada 13 komponen penilaian dalam melakukan mutasi dan promosi pati Polri, dan catatan personel oleh Divpropam Mabes Polri hanya salah satunya. Masih ada 12 komponen lain, sebagian berdasarkan faktor individu atau profesional pati Polri, sebagian lainnya sangat tergantung pada faktor eksternal seperti keseimbangan organisasi Polri, Assessment Center Polri, Sidang Dewan Pertimbangan Karier Polri, dan lain sebagainya yang mengacu pada Perkap Nomor 16 Tahun 2012 tentang Mutasi Anggota Polri.

Dengan kata lain, sistem yang dibangun untuk memproduksi pati di lingkungan Polri mengalami kesalahan fungsi akibat sumber daya manusia (SDM) yang terlibat dalam sistem tidak sepenuhnya bebas dari laku kriminal. Kasus Irjen Ferdy Sambo hanya sebuah contoh yang terungkap kepada publik, dan kondisi ini memprihatinkan mengingat posisi Divpropam Mabes Polri itu sangat sentral sebagai benteng Korps Bhayangkara.

Divpropam Mabes Polri tidak boleh terlibat kasus kriminal apapun sebagaimana dijelaskan dalam Blue Print Divpropam Mabes Polri yang disusun pada masa Kadiv Propam Mabes Polri dipimpin oleh Irjen Pol Budi Gunawan, sehingga personel-personel Korps Bhayangkara yang dipromosikan atau dimutasikan ke lingkungan Divpropam Mabes Polri haruslah orang-orang yang sanggup menjaga nama baik institusi Polri bersih dan bersih dari tindak kriminal.

Penangkapan Irjen Pol Ferdy Sambo sebagai tersangka kasus kriminal berdampak serius terhadap penurunan citra Polri di mata masyarakat. Citra Polri hancur karena Irjen Pol Ferdy Sambo merupakan sosok personel Korps Bhayangkara yang selama ini dicitrakan seorang profesional polisi yang sering mendapat reward karena berprestasi luar biasa sehingga lompatan kepangkatannya mampu melampaui para senior yang pernah menjadi atasannya di lingkungan Polri. Superstar di lingkungan Polri ini ternyata punya andil luar biasa untuk meruntuhkan citra polisi yang susah payah dibangun sejak keluar dari lingkungan ABRI/TNI pada tahun 2000 lalu.

Namun demikian, lonjakan kepangkatan Irjen Ferdy Sambo menjadi bukti bahwa tidak sulit memproduksi pati di lingkungan Polri. Meskipun jumlah pati pada 2020 di masa kepemimpinan Kapolri Jenderal Idham Azis terjadi surplus sebanyak 213 pati, namun Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo dengan mudah memproduksi pati yang baru. Ferdy Sambo yang alumni Akpol 1994 dan baru menjadi brigadir jenderal pada 2019, bisa langsung diangkat menjadi inspektur jenderal pada 2020. Padahal, senior Ferdy Sambo di Akpol 1990, 1991, 1992, dan Akpol 1993 banyak yang berprestasi mentereng dan menjadi rising star di Akpol.

Artinya, persoalan surplus sebanyak 213 pati pada 2020 terjadi karena produksi pati Polri tidak sebanding dengan keseimbangan organisasi manajemen Polri, sehingga ada pati yang kemudian tidak punya jabatan. Kondisi ini semestinya dicarikan solusinya, namun dibiarkan berlangsung sehingga para junior di lingkungan Akpol bisa melampaui para seniornya. Realitas ini membenarkan apa yang pernah disinggung Maurice Punch dalam bukunya Police Corruption: Deviance, Accountability and Reform in Policing (2009) bahwa “soal sebenarnya bukan apel yang busuk. Soal sebenarnya adalah kebun apel itu yang busuk.”

Dengan kata lain, buruknya kualitas pati di lingkungan Polri hingga para jenderal ini terlibat kasus kriminal barangkali tidak hanya disebabkan faktor individu anggota Korps Bhayangkara. Besar kemungkinan, anggota Polri tidak bisa menjadi sosok yang profesional karena sistem yang ada lebih mendorong mereka untuk melakukan malpraktik.

Tidak mengherankan jika Polri memiliki personal yang cenderung ingin melakukan tindak pidana meskipun mereka sangat menguasai kitab-kitab hukum yang berlaku.

Mereka menganggap pelanggaran terhadap peraturan perundangan-undangan itu merupakan imbas dari sistem yang berjalan di luar fungsi sebenarnya. Artinya, personel Polri tidak bisa mengharapkan sistem mutasi dan promosi berjalan sebagaimana mestinya, karena seorang junior bisa melambung kariernya melampaui para seniornya tanpa indicator-indikator yang terukur.

Oleh:

Budi Hatees

pengamat kepolisian dan pemolisian, penulis buku ‘Ulat di Kebun Polri

DETIKNEWS, 25 Oktober 2022

Sumber: https://news.detik.com/kolom/d-6367380/penangkapan-para-jenderal-polisi.

You may also like...