Dilema Penjabat Kepala Daerah

Khairul Fahmi, Dosen Hukum Unand (sumber gambar: forumsumbar.com)

Sesuai regulasi yang ada, pemilihan kepala daerah (pilkada) tak akan dilaksanakan pada 2022 dan 2023. Sementara terdapat 101 kepala daerah yang jabatannya berakhir pada 2022 dan 170 kepala daerah berakhir pada 2023.

Artinya, akan terjadi kekosongan jabatan kepala daerah definitif di 271 daerah provinsi, kabupaten/kota dalam dua tahun mendatang. Sebagai jalan keluarnya, UU No 10/2016 mengatur, kekosongan jabatan kepala daerah diisi oleh penjabat kepala daerah melalui proses pengangkatan.

Dalam perkembangannya, kebijakan hukum ini mendapat kritik dari sebagian masyarakat. Hal itu didasarkan alasan ketiadaan kepala daerah definitif akan menyebabkan terganggu- nya penyelenggaraan pemerintah otonom dan terhambatnya sirkulasi elite pemerintahan daerah yang mendapatkan legitimasi rakyat. Pada saat yang sama, juga dikhawatirkan bisa disalahgunakan untuk memperkuat agenda sentralisasi kekuasaan rezim pemerintahan.

*Debat konstitusionalitas pengangkatan*

Sekalipun telah menjadi pilihan kebijakan pembentuk UU, peniadaan pilkada 2022-2023 dan pengangkatan penjabat kepala daerah sebagai jalan keluarnya tetap menyisakan ruang perdebatan. Kebijakan itu memunculkan pertanyaan, apakah pengangkatan penjabat kepala daerah untuk alasan kekosongan jabatan karena penundaan pemilu dapat dibenarkan menurut UUD 1945?

Hal ini mengingat ketentuan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menyatakan, gubernur, bupati dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Secara eksplisit norma konstitusi mengamanatkan agar kepala daerah otonom itu dipilih, bukan diangkat. Bila dilacak risalah perubahan konstitusi, khususnya diskusi seputar perubahan Pasal 18 UUD 1945, frasa ”dipilih secara demokratis” hanya diletakkan dalam dua alternatif: dipilih secara langsung atau dipilih melalui DPRD.

Jika berpijak pada dalil ini, pada dasarnya tak tersedia ruang untuk mengisi jabatan kepala daerah melalui proses pengangkatan. Dengan demikian, kebijakan hukum pengisian kekosongan jabatan kepala daerah melalui pengangkatan sama sekali tak memiliki pijakan konstitusional. Hanya saja, apakah kebijakan hukum dimaksud bisa dibenarkan untuk kepentingan mendesain keserentakan pilkada sebagaimana dituangkan di UU No 10/2016?

Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, jabatan kepala daerah yang diisi penjabat kepala daerah pada dasarnya hanya ditujukan untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang berhenti sementara atau diberhentikan dalam masa jabatannya karena alasan hukum dan pada saat bersamaan terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah.

Artinya, penjabat kepala daerah hanya menjalankan tugas jabatan kepala daerah dalam masa di mana kepala daerah yang dipilih tak dapat melaksanakan tugasnya. Sementara penjabat kepala daerah yang diangkat sesuai UU No 10/2016 bukan dalam konteks mengisi kekosongan sementara jabatan kepala daerah, melainkan untuk mengisi jabatan kepala daerah yang telah berakhir masa jabatan dan pilkada tidak atau ditunda pelaksanaannya.

Jika dilihat dalam perspektif ketentuan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, keberadaan penjabat kepala daerah yang diangkat untuk mengisi kekosongan sementara dapat dibenarkan karena pada prinsipnya jabatan kepala daerah tetap diisi oleh kepala daerah yang dipilih. Adapun penjabat kepala daerah yang diangkat sesuai UU No 10/2016 bukanlah untuk mengisi kekosongan sementara, melainkan mengisi jabatan kepala daerah yang kosong secara permanen karena tidak dilaksanakannya pilkada. Oleh karena itu, pengangkatan itu pun memiliki sisi lemah jika dilihat dari sisi norma konstitusi.

Jika dibaca risalah perubahan UU No 10/2016, diskusi terkait itu nyaris tak muncul. Fokus perdebatan lebih pada aspek desain keserentakan pilkada. Pada gilirannya, penundaan pilkada 2022-2023 yang diiringi dengan kebijakan pengangkatan penjabat kepala daerah tak mempertimbangkan cermat aspek konstitusional pengangkatan penjabat kepala daerah.

Kedua, gubernur, bupati, dan wali kota merupakan kepala daerah otonom, di mana legitimasi kekuasaannya berasal dari rakyat melalui proses pemilihan. Oleh karena itu, siapa pun yang akan melaksanakan tugas jabatan kepala daerah, ia harus mendapatkan mandat dari rakyat daerah. Mungkin akan muncul lagi pertanyaan, bukankah negara kita adalah negara kesatuan, di mana pemerintah pusatlah yang bertindak sebagai pelaksana kedaulatan rakyat?

Dengan kedudukan seperti itu, bukankah boleh saja pemerintah pusat mengangkat kepala daerah atau penjabat kepala daerah? Tak dapat disangkal bahwa Indonesia adalah negara kesatuan, bukan federal, sehingga pemerintah pusat yang memegang kendali pelaksanaan kedaulatan rakyat.

Hanya saja, dalam kerangka negara kesatuan, konstitusi telah mengatur prinsip otonomi dalam hubungan pusat dan daerah, di mana salah satu konsekuensi turunannya adalah kepala daerah diisi melalui proses pemilihan. Apabila pemerintah pusat hendak menetapkan sebuah kebijakan hukum seperti mendesain keserentakan pilkada, prinsip dasar pengelolaan kekuasaan pusat dan daerah sebagaimana dituangkan di konstitusi tetap harus diperhatikan.

Dalam konteks ini, boleh saja pemerintah pusat mengatur desain keserentakan pilkada sebagaimana dituangkan dalam UU No 10/2016. Namun, kebijakan pengisian jabatan kepala daerah yang kosong harus memperhatikan aspek mekanisme pengisian kepala daerah yang diatur UUD 1945.

Terkait hal ini, setidaknya ada dua alternatif cara. Pertama, pengisian jabatan kepala daerah dilakukan dengan memperpanjang masa jabatan kepala daerah yang telah berakhir. Pilihan ini didasarkan alasan bahwa kepala daerah yang akan berakhir masa jabatannya dipilih rakyat. Dengan demikian, jika dilakukan perpanjangan masa jabatan, legitimasi kekuasaan tetap berasal dari rakyat daerah yang memilihnya.

Kedua, pengisian jabatan kepala daerah dilakukan dengan menyerahkan pemilihan kepada DPRD. Dalam konteks ini, pemilihan oleh DPRD pun masih dalam pemilihan yang dibenarkan menurut ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.

Dua alternatif ini akan dapat mengurai perdebatan ihwal bagaimana agenda keserentakan pilkada tetap dapat dijalankan, sementara jabatan kepala daerah tetap diisi sesuai koridor yang diamanatkan konstitusi.

*Pemda 2022-2023*

Jika jabatan kepala daerah untuk 2022-2023 diisi melalui mekanisme perpanjangan masa jabatan kepala daerah atau dipilih melalui DPRD, pelaksanaan seluruh aspek pemerintahan daerah selama dua tahun ke depan di 271 daerah otonom akan dapat dijalankan secara penuh sesuai prinsip otonomi.

Sebaliknya, jika diisi melalui proses pengangkatan sebagaimana diatur dalam UU No 10/2016, pemerintah daerah akan dijalankan dengan segala keterbatasan seiring batas kewenangan yang dimiliki penjabat kepala daerah. Bila dibaca secara saksama, UU No 10/2016 tak mengatur secara jelas bagaimana pengangkatan penjabat kepala daerah dan batas wewenang yang dimilikinya.

Apabila dirujuk PP No 49/ 2008, keberadaan penjabat kepala daerah yang diatur hanyalah penjabat kepala daerah yang diangkat untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang berhenti sementara atau berhenti dalam masa jabatannya. Untuk penjabat kepala daerah yang dimaksud UU No 10/2016 sama sekali belum terdapat pengaturan lebih jauh.

Ini bisa dipastikan akan jadi salah satu masalah dalam penyelenggaraan pemerintah daerah menjelang dipilihnya kepala daerah definitif. Karena itu, agar pemerintah daerah otonom tetap berjalan secara optimal, opsi mengubah mekanisme pengisian kekosongan jabatan kepala daerah sebagaimana diatur UU No 10/2016 perlu dipertimbangkan.

Jika pilihan ini tak hendak diambil, langkah memperjelas pengaturan terkait mekanisme pengangkatan dan wewenang penjabat kepala daerah menjadi pilihan yang tak dapat ditawar, sekalipun ia akan menyisakan polemik konstitusionalitasnya.

 

Oleh:

KHAIRUL FAHMI

Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pemilu Fakultas Hukum Universitas Andalas

KOMPAS, 4 April 2022

 

Sumber : https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/04/03/dilema-penjabat-kepala-daerah

You may also like...