Benturan Paradigma UU Penyiaran Vs UU Ciptaker

Sumber Gambar: sultengmembangun.com

Saat ini DPR sedang memproses rencana perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, sedangkan pemerintah sibuk menggodok rencana perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 11, 12, dan 13 Tahun 2005 tentang Penyiaran Publik. Di tengah dinamika regulasi yang cukup tinggi, kita dihadapkan pada pertanyaan, UU Penyiaran manakah yang akan menjadi rujukan utama baik bagi DPR maupun pemerintah untuk melakukan perubahan.

Pertanyaan tersebut muncul karena ada benturan paradigma penyiaran antara yang terkandung dalam UU No 32/2002 dengan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja, khususnya Paragraf 15 bidang Teleko­mu­ni­ka­si, Pos, dan Penyiaran (Postelsiar). Paradigma penyiaran di kedua UU tersebut saling berlawanan dan sulit untuk dikompromikan sehingga dibutuhkan ketegasan, manakah yang akan menjadi rujukan utama ketika hendak melakukan perubahan regulasi di bidang penyiaran.

Undang-Undang Penyiaran 2002 lahir sebagai implementasi Pasal 28F, 31, 32, dan 33 UUD 1945 tentang hak konstitusional untuk berkomunikasi, pendidikan, kebudayaan, dan kedaulatan ekonomi. Oleh karena itu, penyelenggaraan penyiaran dimaksudkan untuk menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi sebagai perwujudan hak asasi manusia; menjaga integrasi nasional, kemajemukan masyarakat Indonesia dan terlaksananya otonomi daerah. Penyiaran juga dimaksudkan untuk menjamin terciptanya tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (lihat konsideran).

Dengan idealisasi yang demikian, penyelenggaraan penyiaran bertujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia (Pasal 3).

Undang-Undang Penyiaran 2002 lahir dalam situasi reformasi sehingga paradigma yang diusung adalah demokrasi dengan mendorong terciptanya keberagaman kepemilikan (diversity of ownership) dan keberagaman isi (diversity of content). Itu sebabnya dibentuk empat pilar lembaga penyiaran, yaitu penyiaran publik nasional/lokal, penyiaran komunitas, penyiaran swasta, dan penyiaran berlangganan.

Dua kategori pertama dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan publik baik dalam cakupan nasional, lokal, dan level komunitas tanpa adanya intervensi politik dan ekonomi. Sementara penyiaran swasta dimaksudkan untuk memberi ruang bagi kepentingan komersial melalui jaringan terestrial yang dapat diakses secara gratis (free to air). Adapun siaran berlangganan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan khalayak kelas menengah atas yang membutuhkan akses program berkualitas tinggi secara berbayar.

Meskipun ditempatkan sebagai usaha ekonomi, tetapi penyiaran swasta dan berlangganan wajib menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Ketentuan tersebut sebagai bentuk penegasan bahwa dalam perspektif UU Penyiaran, lembaga penyiaran merupakan institusi budaya.

Sebaliknya, UU Cipta Kerja lahir dengan spirit untuk mengimplementasikan Pasal 27 Ayat (2) tentang hak konstitusional untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak; Pasal 28D tentang hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, maupun hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Bertitik tolak dari pemikiran tersebut UU Cipta Kerja lebih dimaksudkan untuk memberikan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejah­teraan pekerja demi terwujudnya sinkronisasi dalam menjamin percepatan cipta kerja.

Berdasarkan spirit yang melandasi lahirnya UU Cipta Kerja, lembaga penyiaran dianggap hanya sebagai institusi ekonomi atau badan usaha yang tidak ada bedanya dengan pabrik sepatu, kembang gula, mainan anak-anak, dan produk pabrikan lainnya. Jadi, sama sekali tidak ada perspektif sosial kultural di dalamnya sehingga tidak ada pembedaan antara Lembaga Penyiaran Publik (LPP), Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK), Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), dan Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) karena semua dianggap entitas yang sama. Hal itu menunjukkan bahwa paradigma penyiaran dalam UU Cipta Kerja lebih ke ekonomi/kapitalisme. Padahal Pasal 14 dan 21 UU Penyiaran secara tegas menyatakan bahwa LPP dan LPK bersifat non komersial.

*Implikasi*

Benturan paradigma tersebut berimplikasi pada beberapa aspek. Pertama, aspek keberagaman isi. UU Penyiaran 2002 mengatur tentang keberagaman isi melalui ketentuan Pasal 33 Ayat (2) bahwa pemohon izin siaran wajib mencantumkan nama, visi, misi, dan format siaran yang akan diselenggarakan.

Format siaran adalah bentuk kepribadian suatu stasiun penyiaran (radio/TV) yang ditentukan oleh dominasi unsur materi program dengan pendekatan karakteristik target khalayaknya. Secara umum ada tiga basis materi untuk menentukan format siaran, yaitu berita/informasi, edukasi, dan musik/hiburan. Dengan adanya ketentuan mengenai format siaran, kekhususan tiap-tiap lembaga penyiaran akan mudah dipetakan sehingga keberagaman isi siaran dapat dijamin pelaksanaannya.

Namun, melalui UU Cipta Kerja ketentuan pada Pasal 33 UU Penyiaran tersebut seluruhnya dihapus dan digantikan dengan tiga ayat baru. Ayat (1), menegaskan bahwa penyelenggaraan penyiaran dapat diselenggarakan setelah memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat. Ayat (2), lembaga penyiaran wajib membayar biaya perizinan berusaha yang diatur berdasarkan zona/daerah penyelenggaraan penyiaran yang ditetapkan dengan parameter tingkat ekonomi setiap zona/daerah. Ayat (3), ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan berusaha sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah dengan cakupan wilayah siaran penyelenggaraan penyiaran dapat meliputi seluruh Indonesia.

Dalam ketentuan yang baru, perizinan siaran sama sekali tidak ada kaitannya dengan isi siaran. Padahal di negara mana pun, regulasi media penyiaran sangat ketat untuk menegakkan keberagaman isi.

Kedua, kepentingan dan kenyamanan publik tidak lagi menjadi dasar pertimbangan dalam mengeluarkan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP). Sebab, ketentuan mengenai hal itu dalam Pasal 33 Ayat (3) UU Penyiaran telah dihapus. Kini, untuk mendapatkan IPP, pelaku Usaha cukup mengajukan laik operasi penyiaran, membangun dan/atau menyediakan sarana dan prasana penyiaran (Pasal 70 PP No 46/2021), tanpa memedulikan kepentingan dan kenyamanan publik.

Ketiga, terjadi penurunan (downgrade) eksistensi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Menurut UU Penyiaran 2002 KPI merupakan lembaga negara yang independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran seperti pengaturan infrastruktur bidang penyiaran, membangun iklim persaingan yang sehat, dan menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran.

Ketentuan tersebut menegaskan bahwa posisi KPI, meskipun relatif terbatas, berperan sebagai regulator penyiaran bersama pemerintah. Akan tetapi, melalui UU Cipta Kerja dan PP Nomor 46 Tahun 2021 tentang Postelsiar (Pasal 91), posisi KPI hanya sebagai pengawas isi siaran.

Keempat, hilangnya akses keterlibatan publik. Dalam Pasal 33 Ayat (4) UU 32/2002 disebutkan bahwa untuk mendapatkan IPP maupun perpanjangannya perlu dilakukan Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) antara pemohon dengan KPI. Tradisi yang berlangsung selama ini, proses EDP senantiasa melibatkan perwakilan publik di luar komisioner. Namun, kini untuk mendapatkan IPP dan/atau perpanjangannya tidak perlu lagi ada EDP karena semua tergantung pada pemerintah sehingga publik tidak lagi memiliki akses untuk ikut terlibat dalam penentuan IPP maupun perpanjangannya.

Kekacauan dalam peraturan dan perundangan di bidang penyiaran yang terjadi saat ini perlu mendapat perhatian semua pihak mengingat dunia penyiaran memiliki multi-efek yang luas. Bahkan sebaiknya, kluster UU Penyiaran dikeluarkan saja dari UU Cipta Kerja agar tidak mendistorsi fungsi penyiaran sebagai institusi kultural.

 

Oleh:

DARMANTO

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dengan Peminatan Kebijakan Komunikasi

KOMPAS, 11 Maret 2022

Sumber : https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/03/09/benturan-paradigma-uu-penyiaran-versus-uu-cipta-kerja

You may also like...