Pasal Penghinaan Presiden Sesat Implementasi
Gegap gempita diskursus pasal karet penghinaan selalu menyita perhatian publik. Kini, pasal itu kembali menjadi polemik tatkala Presiden Jokowi “berkehendak” menghidupkan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam Rancangan KUHP yang sudah dicabut keberlakuan dan kekuatannya oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalih pembungkaman berpendapat dan kritik didengungkan oleh pihak yang kontra atas wacana menghidupkan kembali pasal penghinaan tersebut. Sebaliknya pihak yang pro, bernada lain bahwa “marwah” atau martabat Presiden dan Wakil Presiden harus dijaga sebagai simbol negara.
Putusan MK
Perlu diketahui bahwa pasal penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden yang tertuang dalam Pasal 134, 136, dan 137 KUHPidana telah “dilumpuhkan” oleh MK melalui Putusan No: 013-022/PUU-IV/2006.
Racio decidendi peniadaan pasal a quo diantaranya: Pertama, pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden di KUHPidana adalah warisan Belanda (1915). Di negeri Belanda ketentuan ini untuk melindungi Ratu Belanda yang begitu dimuliakan dan diagungkan dibawah pemerintahan yang monarki. Sedangkan Indonesia sebagai negara republik menjunjung tinggi demokrasi, oleh sebab itu pasal a quo tidak cocok lagi untuk diterapkan. Kedua, pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden cenderung diskriminatif, yakni memberikan “privilege” bagi Presiden dan Wakilnya, karena sanksi pidana yang berat dan termasuk dalam kualifikasi delik umum. Padahal penghinaan terhadap orang (bukan jabatan) sanksinya jauh lebih ringan dan merupakan delik aduan. Ketiga, pasal tersebut berpotensi menghambat kebebasan berekspresi dan berpendapat serta kebebasan informasi .
Racio decidendi di atas pada hakikatnya telah mengunci perdebatan perlu tidaknya menghidupkan pasal yang sama ketika telah dibatalkan oleh MK. Bahwa “teks” yang sama atau setidak-tidaknya substansinya sama akan dihidupkan kembali maka tentunya sudah mengangkangi MK. Putusan MK merupakan “living constitution” dalam menyerap persoalan kekinian. Sehingga siapapun diharapkan tunduk pada putusan MK, termasuk lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif
Namun jika pemerintah tetap bersikukuh menghidupkan ketentuan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, kiranya harus memperhatikan beberapa pembatasannya. Pertama, memuat ketentuan yang tidak sama subtansi pasalnya dengan Pasal 134, 136 dan 137 KUHPidana yang telah dibatalkan. Kedua, pemuatan ketentuan tidak boleh diskriminatif dan mengabaikan kebebasan berpendapat. Ketiga, pemerintah harus membuktikan bahwa ada realitas yang berkembang dalam kehidupan bernegara “menghina Presiden” dapat menurunkan wibawa negara an sich mengganggu stabilitas pemerintahan.
Hanya saja mengenai alasan bahwa pasal tersebut perlu dihidupkan untuk menjaga marwah, wibawa Presiden dan Wakil Presiden, hukum positif kita masih memiliki beberapa pasal yang dapat dijadikan tameng untuk menjaga kewibawaan itu. Perbuatan “menghina” bukanlah perbuatan yang bebas dari sanksi. Pasal 310 dan koleganya beserta Pasal 207 KUH Pidana siap menjadi garda terdepan menakuti-nakuti pihak yang merendahkan martabat Presiden.
Sesat Implementasi
Perlu pula dipahami bahwa hal yang paling berbahaya dari pasal penghinaan yakni pada tataran implementasi. Pasal penghinaan merupakan pasal karet (herzaat artikelen), oleh karena tidak ada tolak ukur yang jelas mengenai apa yang dimaksud penghinaan atau mencemarkan nama baik. Sehingga aparat penegak hukum cenderung menerapkannya secara subyektif.
Tindakan preventif agar pasal penghinaan ini tidak disalahgunakan, maka aparat penegak hukum dalam menerapkannya perlu melakukan beberapa tindakan: Pertama mengobyektifisir makna penghinaan atau pencemaran nama baik. Berdasarkan pengalaman penulis dalam “beracara”, aparat penegak hukum seringkali gegabah menyimpulkan telah memenuhi unsur pencemaran nama baik atau penghinaan hanya karena kalimat atau kata-kata yang dikeluarkan telah membuat korban pelapor merasa tersinggung atau terhina. Tentu pendapat dari korban pelapor adalah pendapat yang subyektif. Sejatinya, kalimat atau kata-kata tersebut harus diobyektifisir dengan cara mengujinya pada tokoh masyarakat atau ahli budaya setempat. Apakah kalimat atau kata-kata tersebut dapat membuat tersinggung atau terhina menurut kondisi dan “tempus” budaya lokal setempat.
Kedua, penghinaan tersebut haruslah di kontekstualisasi, lagi-lagi dalam praktik seringkali pula penegak hukum mengkualifisir penghinaan hanya pada “teks” semata tanpa melihat “konteks”. Taruhlah misalnya mahasiswa yang berdemontrasi telah mengeluarkan ribuan kalimat atau kata-kata yang mengkritik kebijakan penganggaran Presiden, namun diantara ribuan kalimat tersebut terdapat satu kalimat yang dikeluarkan oleh mahasiswa “ada korupsi di penganggaran”. Satu kalimat (teks) itulah yang dikategorikan sebagai penghinaan oleh penegak hukum. Dalam kasus ini seharusnya penegak hukum “mengkontekstualisasi” dengan cara melihat maksud atau tema besar dari perbuatan demonstrasi mahasiswa yaitu mengkritik kebijakan penganggaran. Kontekstualisasi adalah tindakan mengaitkan teks-teks dengan rangkaian peristiwa sehingga melahirkan satu diskursus. kontekstualisasi adalah pengamatan secara jeli terhadap diskursus untuk menyimpulkannya entah sebagai kritik, kebebasan berpendapat ataukah benar-benar penghinaan.
Di atas segalanya, kontroversi dibalik niat menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ada baiknya Presiden dalam kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan cukup memberikan pelayanan yang terbaik bagi rakyat (full service), tidak perlulah menghabiskan energi menjaga perasaannya dari cibiran sosial. Ingatlah! pemimpin yang melayani dan memuaskan rakyat pada waktunya akan memanen pujian.*