Desakralisasi MK
INILAH altar suci konstitusi, segala permasalahan ketatanegaraan, konstitusionalisme, mari menyelesaiakannya dengan kepala dingin. Altar ini suci, semua orang harus patuh, sang hakim yang duduk di altarnya dengan “tangan Tuhan” yang dimilikinya, ia patut didengar, diikuti segala titah, kuasa dan perintahnya. Di sanalah anda akan merasakan sebuah ruang kala sang wakil tuhan pada hadir tepat waktu, tidak menunda-nunda persidangan, karena apa yang dipergunjingkan di ruang sakral itu, nasib bangsa, nasib rakyat, nasib warga Negara, dipertaruhkan hidup dan matinya. Anda datang di sana (MK), membawa kasus sengketa Pilkada, perkara yang anda labuhkan di pundak para hakim MK, merupakan tugas berat baginya, ia bisa dipuja tetapi tidak sedikit yang akan mencaci makinya.
Saban waktu ruang suci itu dalam hitungan detik pasca Ketua Majelis Hakim MK Hamdan Zoelva, membacakan putusan perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) kepala daerah dan wakil kepala daerah Provinsi Maluku, Kamis (14/11). Tiba-tiba sekelompok orang yang menyaksikan jalannya sidang dari tribun berteriak- teriak penuh amarah, lalu bergegas turun, menghantam kursi, memecahkan kaca papan pengumuman dan merusak tiga monitor di depan ruang sidang. Tidak berakhir di situ mereka kemudian merangsek ke ruang sidang, menghancurkan alat pengeras suara, dan coba menyerang hakim.
Saya tidak berdeklamasi di awal tulisan ini, ada sekelumit pertanyaan yang kemudian menohok, menghentak alam bawah sadar kita, sudah sedemikian parahkah kebejatan, kekotoran, dan perbuatan nista oleh satu orang yang berbuat “dosa” kemudian menyeret sejumlah kawanan, petinggi hakim MK lainnya? Kemanakah berlabuh, kesakralan altar suci itu, bak hilang ditelan badai korupsi, tiada lagi membumi?
Padahal, ruang sidang itu dihuni manusia-manusia pilihan yang tidak sudi lagi memikirkan nasibnya sendiri. Mereka adalah wakil Tuhan nan agung, bahasa bumi mengatakan dia adalah negarawan, yang harus dipatuhi perintahnya. Tapi punaih sudah kepercayaan itu, MK kini dilanda ketidak percayaan berlanjut. Ada sebuah situasi, masa-masa sulit kini yang harus dilalui oleh MK yaitu; demoralisasi, desakralisasi, de-peradilanisasi, de-judicativisasi. Parade korupsi telah menyeret MK dalam sebuah persepsi, opini publik, oleh apa yang disebut festifalisasi keadilan.
Desakralisasi Peradilan
Penilaian terhadap merosotnya wibawa, sakralitas pengadilan dan profesi yang terlibat di dalamnya. bukan “barang baru” yang terjadi di zaman ini. Secara sadis Ambrose Bierce pernah membuat sebuah lelucon “Litigation is a machine which you go into as a pig and come out as a sausage—-pengadilan adalah suatu mesin dimana anda masuk masih dalam wujud seekor babi, dan ketika anda keluar anda akan berwujud saus.”
Ilustrasi Bierce setidaknya menunjukan kepada kita, kalau hasil putusan pengadilan walau memuat irah-irah “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” di dalamnya sarat akan banyak kepentingan, kepentingan politik, ekonomi, sosial dan budaya (Sibernetik—Talcolt Parson). Kredo ini nampaknya terbukti terhadap deskralisasi yang menimpa MK. Tertangkapnya eks pucuk pimpinan MK, tidak bisa dipisahkan atas terlibatnya kepentingan politik yakni rekayasa pemenangan salah satu calon kepala daerah (Gunung Mas) dengan melibatkan peran partai politik. Sedangkan dampak dari segi ekonomi, ketidaknetralan putusan pengadilan jelas ditimbulkan oleh sebuah “keserakahan” —(greedy)— materil, ekonomi berlebihan, dan Akil Mochtar melakukan itu. Demikian halnya dari segi sosial budaya, budaya msyarakat kita yang tidak sadar hukum pada nilai keadilan, kebenaran (HC. Kellman), dengan gampang menghalalkan segala cara seperti praktik suap menyuap demi prestise dan kekuasaan yang didambakan.
Akil’s Effect
Di sisi lain desakralisasi atas MK bisa juga disebabkan pada faktor eksternal, bukan hanya meluluh dari faktor lembaganya sendiri, boleh juga disebabkan karakter masyarakat kita, belum siap menerima kekalahan sebagai sebuah keniscayaan. Mereka pada belum “matang” untuk bernegara berdasarkan hukum, termasuk berdemokrasi, hingga pangkalnya merusak, menodai altar suci konstitusinya sendiri.
Namun hemat penulis, desakralisasi yang menimpa MK dapat dipetakan dalam dua poin penting. Pertama, MK selalu melahirkan “figure” yang terkesan bersih dan hal itu selalu dipelopori oleh pucuk pimpinannya sendiri, seperti Jimly Asshiddiqie sebagai ketua MK yang pertama menobatkan, MK sebagi pilar konstitusi yang bersih dari parktik Mafioso peradilan. Kemudian dilanjutkan lagi oleh Mahfud MD yang membuat “bendera” MK semakin berkibar. Sehingga, begitu pucuk pimpinannya ditangkap oleh komisi anti-rasuah, Akil Mochtar, mau tidak mau akan menyeret pula nama lembaga, yang mana MK tidak bisa dipisahkan antara pimpinan dan lembaganya sendiri.
Kedua, MK merupakan lembaga peradilan yang paling bersih dari korupsi (noncorrupt), pada masa kepemimpinan Jimly dan Mahfud, bahkan tidak bisa dipungkiri kalau MK di zaman itu sebagai lembaga yang dipersepsikan paling bersih. Pernah “mencuat” tuduhan ada “mafia hukum”yang bermain di MK, yang disuarakan oleh Refly Harun, namun tuduhan tersebut pada akhirnya tidak terbukti. Kasus penyuapan atas AM kemudian datang “menyatroni” MK, hingga melucuti sakralisasi MK yang bersih dari bau tak sedap yang bernama korupsi.
Hingga sekarang, tidak bisa dipungkiri kalau badai korupsi Akil Mochtar akan berefek pada kinerja hakim MK untuk berjalan “sempurna” seperti sedia kala. Akil’s effect’s menyebabkan desakralisasi citra MK yang bersih dan berwibawa tergerus turun, merangsek diangka “minus”. MK tak punya lagi kepercayaan mengusung jargon bersih untuk melahirkan putusan yang sacral nan suci. Karena sekali korupsi melanda langsung menusuk pada jantung orang nomor satu di altar konstitusi itu.
Serangan atas MK yang terjadi pada minggu kemarin, harus menjadi cambuk, terapi kejut bagi MK, melalui upaya sistemik untuk melahirkan putusan yang fair, nonimparsialitas, serta terbuka untuk dinilai, diakses oleh publik guna mengembalikan kepercayaan public, kalau MK merupakan satu-satunya “guardian of constitution” yang akan terus menjadi benteng konstitusi di republik ini.
Akhirnya, mari kita tunggu hasil Pemilu 9 April 2014 nanti, kelak akan banyak perkara merupakan kompetensi MK, di sinilah momentum bagi MK mengembalikan jati dirinya, apakah akan membangun kembali panji-panji keadilan, atau justru sebaliknya, kredibilitas MK makin “hancur” di tengah ancaman hajatan demokrasi yang kini mulai meyeruak karut marutnya. (*)