Kembalikan Marwah DPR
Dua tragedi yang menimpa wakil rakyat kita, yang terhormat. Pertama, mencuatnya kasus lobi tolilet terhadap salah satu anggota DPR tim seleksi hakim agung, diduga anggota DPR dari perwakilan fraksi PKB. Kedua, ditolaknya secara mentah-mentah politisi lawakan Partai Demokrat Ruhut Sitompul sebagai ketua komisi III, menggantikan rekannya Gede Pasek.
Dua peristiwa ini patut menjadi catatan bahwa inilah “sisi gelap” perwakilan rakyat penuh dengan lobi politik sarat akan transaksional.
Hasil rilis Transparenci Internatioanl Indonesia (TII) kalau DPR sebagai lembaga terkorup kedua setelah lembaga Kepolisian bukan isapan jempol belaka. Fakta dilapangan juga terbukti melalaui catatan ICW (Indonesia Corruption Watch), sudah ada 65 legislator di Senayan terseret dalam pusaran kasus korupsi.
Beberapa anggota DPR sudah divonis bersalah, sebut saja Misalnya nama M. Nazaruddin, mantan anggota Komisi III DPR dalam kasus korupsi pembangunan fasilitas wisma atlet SEA Games. Angelina Sondakh, anggota Banggar DPR yang tersangkut korupsi anggaran di Kementerian Pendidikan dan Kemenpora, serta Zulkarnaen Djabar, anggota Komisi VIII DPR yang tersandung korupsi pengadaan Alquran di Kementerian Agama. Selain itu muncul pula nama Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) yang “terbius” dalam suap kouta impor daging sapi.
Lantas kalau begini, apakah DPR mesti dibubarkan oleh karena telah menghianati amanat rakyat. Ditengah isu tak sedap yang kian tahun terus menghantamnya? Jawabannya, jangan! DPR adalah Negara, dan Negara adalah DPR. DPR merupakan fungsi-fungsi Negara yang menggerakan (Logeman, 1982) jalannya pemerintahan.
Mari kita kembali pada statement (Van volen Hoven, 1933), pejabat-pejabat Negara adalah burung yang bersayap yang bisa “terbang bebas” kemana-mana. Dalam kontek ini DPR sebagai kekuasaan legislatif (Montesqiue, 1748) dibatasi melalui “hukum” pula yang berada dalam ranah “pengawasan” rakyat itu sendiri.
Olehnya itu, rakyat tidak dapat dilepaskan hak-hak pengawasannya, walaupun perwakilan rakyat ini sudah terpilih (Rouseau, 1762). Dalam konteks itu perlu membuka “gema” untuk mengebalikan “marwah” DPR, dengan konsisten menjalankan fungsi check and balance, sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi (UUD NRI 1945).
Lobi Toilet
Terkaiat dengan fungsi DPR dalam melakukan “rekrutmen pejabat public” (ini tidak ditegaskan dalam UUD NRI 1945 hanya terdapat fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan) mestilah konsisten sebagai lembaga yang memberikan “pertimbangan”, “persetujuan” tidak perlu turut melakukan seleksi pejabat public melalui fit and proper test, berbeda halnya untuk perekrutan komisioner BPK dan Komisioner KPU, DPR dapat melakukan seleksi karena kewenangan itu diberikan oleh undang-undang (bukan UUD NRI 1945).
Kasus “lobi toilet” hanyalah kasus “kecil” kebetulan bocor oleh seorang wartawan. Kebetulan saja nasib sial ketimpa pada anggota Komisi III asal Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Bahruddin Nashori, masih banyak kasus-kasus lain pastinya yang tidak sempat tercium oleh publik dan mencuat dipermukaan. Sebab itu guna menghindari terulangnya kasus ini, yang tentu merugikan rakyat, seyogianya ke depan dalam perekrutan pejabat publik, DPR tinggal “menyetujui’ misalnya hakim agung yang telah diseleksi oleh Komisi Yudisial (KY). Persoalan integritas, kecerdasan, kapabilitas adalah pekerjaan komisioner KY yang harus dianggap lembaga “independen” menyeleksi hakim agung.
Metode ini tidaklah “salah kapra” dan bertentangan dengan perundang-undangan, apalagi benar adanya kalau DPR dapat melakukan fit and proper test terhadap calon Hakim Agung (CHA), kewenangan itu diberikan oleh UU yakni tersimpul dalam Pasal 8 ayat (2), (3), dan (4) UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, dan Pasal 18 ayat (4) UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY, yang pada dasarnya menegaskan “calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dipilih satu dari tiga nama untuk setiap lowongan”.
Saat ini, muncul ide agar mengamandemen UUD NRI 1945. Saya kira kalau alasan DPR saja yang dilarang melakukan seleksi atas CHA, karena DPR dituding “terjerembab” dalam poltik transkasional. Tentu tidak perlu ada amandeman UUD NRI 1945 yang kelima.
Mari kita perhatikan dengan seksama UUD 1945 ihwal kewenangan DPR dalam hal seleksi hakim agung disebutkan secara eksplisit pada Pasal 24 A ayat (3) hanya berada pada tataran memberikan “persetujuan” (right to confirm).
Redaksi Pasal 24 A ayat (3) tersebut, berarti kewenangan DPR untuk melakukan seleksi atas CHA, boleh dikatakan UU MA dan UU KY bertentang dengan UUD NRI 1945. Nah bagaimana kalau terjadi pertentang seperti ini? Maka kembalikan pada asas Lex supereior derogate legi inferior, UUD adalah ketentuan hukum yang lebih tinggi, sehingga pasal dalam UU MA dan KY itu tidak dapat diterapkan. Tanpa melakukan “judicial review” atas UU MA dan UU KY ke Mahkah Konstitusi (MK), permasalahan hukum ini juga akan selesai.
Entah apa yang terjadi dibalik itu semua, mungkin saja DPR ingin bersembunyi dibalik “penggelembungan” kewenangannya, karena memang sengaja memiliki “itikad buruk”, mengambil manfaat dari keweangannya yang tidak legal. Sehingga tetap menjadikan UU MA dan KY sebagai landasan untuk merekrut Hakim Agung.
Kasus Ruhut
Beralih pada kasus Ruhut, lagi-lagi DPR dibalik fungsi legislasi yang dimilikinya. Selama ini terkait dengan pengangkatan ketua komisi, yang tidak pernah menjadi polemik. Nanti muncul pada kasu Ruhut yang mendapat penolakan rata-rata dari anggota komisi III. Kasus ini membuka mata publik kalau pengangkatan ketua komisi DPR pada intinya selalu berjalan secara illegal.
Pasal 95 ayat (2) UU No 27/2009 tentang MD3 menyebutkan pimpinan komisi dipilih dari dan oleh anggota komisi berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat. Kalau penunjukan pimpinan komisi oleh parpol dan/atau oleh fraksi selama ini sering terjadi, jelas merupakan penyimpangan ketentuan Pasal 95 ayat (2) UU No 27/2009, serta merta juga mengeliminasi amanat dan makna `dipilih dari dan oleh anggota berdasarkan prinsip musyawarah’.
Kalau ada yang berdalih, bahwa penunjukan Ruhut dibenarkan dengan tata tertib DPR. Pendapat yang demikian juga tidak benar adanya. Asas hukum mendalilkan peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Karena itu, argumentasi yang mengatakan dapat diisi jabatan ketua komisi berdasarkan Tatib DPR merupakan praktik menyimpang yang dipelihara oleh DPR selama ini. Ironisnya, jika bersandar pada sumber hukum kebiasaan ketatanegaraan, sebuah argumentasi yang tidak logic, sebagaimana yang sering disatir oleh Ruhut (pacta sunt servanda), Dari segi ketatanegaraan, konvensi merupakan praktik ketatanegaraan untuk kekosongan aturan hukum dalam konstitusi atau hukum dasar. Sementara pada kasus pengangkatan ketua komisi yang berlangsung selama ini (termasuk pencalonan Ruhut) norma dan ketentuan hukumnya sudah jelas, DPR tidak lagi diberi ruang untuk melakukan praktik yang berbeda dari yang diatur oleh UU No 27/2009.
Belajar dari dua kasus di atas, bukanlah hal yang sulit untuk diikuti. Tinggal konsitensi DPR menerapkan perundang-undangan, tunduk pada asas dan norma hukumnya yang telah ada. Jangan karena DPR sebagai lembaga legislasi, lalu dengan gampang mempereteli undang-undang hanya untuk kepentingan satu golongan. Yang pasti kalau wakil rakyat kita memiliki “itikad baik” menerapkan semua perundang-undangan mengembalikan marwah DPR, bukan pula perkara yang sulit.