Hukum dalam Pusaran Politik dan Kuasa

Ispan Diar Fauzi:
Mahasiswa Fakultas Hukum UNSUR
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) sebagai Konstitusi dan landasan idiil bangsa Indonesia telah menetapkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), tidak didasarkan kepada kekuasaan (machtstaat). Konsekuensi logis dari dijadikannya hukum sebagai landasan negara, maka harus ada jaminan bahwa penyelenggaraan negara didasarkan kepada hukum dan peraturan yang berlaku.
Sebagai negara hukum yang banyak dipengaruhi oleh ajaran positivisme hukum (legal positivism), telah menjadikan hukum tertulis sebagai produk utama pembentukan hukum di Indonesia. Dengan dijadikannya hukum tertulis sebagai produk utama pembentukan hukum, dapat dipastikan bahwa tujuan utama yang hendak dicapai dalam tujuan hukum tersebut adalah kepastian hukum, dengan kepastian hukum sebagai tujuan utama, maka tak jarang dalam penegakan hukum menegasikan tujuan hukum yang lain yaitu keadilan dan kemanfaatan.
Dalam prakteknya pembentukan hukum tertulis atau undang-undang tidak lepas dari peranan legislatif yaitu DPR sebagai pemegang kewenangan legislasi, dan peranan eksekutif/presiden sebagai pelaksana utama pemerintahan. DPR yang mempunyai kewenangan legislasi tentunya mempunyai kuasa penuh dalam proses pembahasan dan penetapan suatu undang-undang.
Masyarakat yang telah mempercayakan kepada DPR sebagai refresentasinya, tentunya menginginkan produk hukum/undang-undang yang populis dan responsif terhadap aspirasi dan ekspektasi masyarakat, bukan undang-undang yang sifatnya elitis, ortodoks atau konservatif yang lebih menguntungkan mereka kaum pemodal daripada rakyat proletar.
Dilematis memang, disatu sisi anggota DPR sebagai wakil rakyat yang harus memperjuangkan kepentingan rakyat, tapi disisi lain anggota DPR tersebut juga berasal dari partai politik yang tentunya segala kebijakan dan keputusan partai harus dilaksakan, yang terkadang kebijakan partai bertentangan dengan harapan dan kemauan masyarakat.
Stigma negatif terhadap anggota DPR yang lebih takut kepada partainya daripada konstituennya masih melekat dikalangan masyarakat. Munculah pertanyaan ketika DPR lebih didominasi oleh kepentingan-kepentingan partai dan kepentingan kekuasaan semata, lalu bagaimana dengan kepentingan-kepentingan rakyat sebagai konstituennya?, dan bagaimanakah kualitas produk legislasinya?.
Dominasi Politik Terhadap Hukum
Untuk mengetahui dominasi dan hegemoni politik dalam proses pembentukan hukum di Indonesia dapat dilihat dari produk UU yang dihaslikan. Kentalnya dominasi dan intervensi politik acap kali menjadikan UU yang dihasilkan tidak sesuai dengan ekspektasi masyarakat, hal tersebut di aminkan oleh pendapat Mahfud MD yang medasarkan pada realitas yang terjadi di Indonesia dimana politik kerap mengintervensi proses hukum.
Bahkan pandangan yang cukup ekstream disampaikan oleh Satjipto Rahardjo (1985 :71) beliau mengatakan bahwa kalau melihat hubungan antara subsistem politik dan subsistem hukum, tampak bahwa politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah. Artinya banyak sekali praktik politik yang secara substansif hal-hal diatas dimaksudkan untuk menegaskan bahwa di dalam kenyataan empirik politik sangat menentukan bekerjanya hukum.
Dalam konteks negara hukum, tentunya hukumlah yang harus dijadikan panglima (supremasi hukum), namun pada kenyataannya supremasi hukum direduksi dan dilemahkan oleh supremasi politik dan supremasi kekuasaan. Lihat saja secara “das sollen” harusnya aktifitas politik tunduk pada ketentuan hukum, namun dari sudut “das sein” hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik dan kekuasaan.
Sebut saja UU Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dalam UU tersebut pengelolaan air diserahkan kepada swasta sehingga peran negara untuk mengelola sumber daya air ditiadakan. Bukankah konstitusi mengatur bahwa sumber daya yang menguasai hajat hidup rakyat banyak harus dikelola oleh negara?.
Penulis memandang adanya indikasi deal-deal politik dalam pembahasan dan penetapan UU tersebut, sehingga UU tersebut lebih menguntungkan pihak swasta dan menegasikan peran negara. Karena UU tersebut dipandang bertentangan dengan UUD 1945, Mahkamah Konstitusi akhirnya membatalkan secara keseluruhan UU Sumber Daya Air tersebut.
Politisasi Penegakan Hukum
Ketika berbicara penegakan hukum (law enforcement) maka tidak lepas dari diskursus bagaimana penegakan hukum tersebut dapat menciptakan keadilan yang substansial (substansial justice). Jika diilustrasikan, keadilan yang substansial adalah bagaimana menghukum seberat-beratnya para koruptor, bukan memproses secara hukum seorang nenek yang mencuri kakao.
Realitas empirik penegakan hukum yang masih tumpul ke atas dan tajam ke bawah, juga adanya “jual beli perkara” nampaknya tak asing lagi dalam penegakan hukum di Indonesia. Kerap kali masuknya kepentingan-kepentingan politik dalam penegakan hukum menjadikan hukum tak berdaya dihadapan mereka para penguasa.
Dapat disimplikasikan bahwa law enforcement di Indonesia lebih kental dominasi politisnya daripada praktek hukumnya, sehingga benar adanya apa yang disampaikan oleh Ronald Katz yang menyebutkan bahwa apa yang terjadi di Indonesia adalah law without law, ada hukum tapi seakan-akan tidak ada hukum.
Upaya yang Dilakukan
Upaya yang dapat dilakukan untuk menciptakan konstruksi hukum yang populis dan responsif, yaitu setidaknya pemerintah harus mereformasi tiga subsistem hukum, ketiga subsistem hukum tersebut sesuai dengan yang dikonsepsikan oleh Lawrence M. Friedman, yaitu substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal sturcture), dan budaya hukum (legal culture).
Problematika yang dihadapi, reformasi hukum yang dilakukan di Indonesia saat ini hanya sebatas pada konteks legal substance, DPR dan pemerintah lebih fokus pada kuantitas ketimbang kualitas UU yang dihasilkan, dengan membuat sebanyak mungkin undang-undang dan peraturan untuk mengatasi persoalan yang terjadi di masyarakat, itu pun seringkali tidak didasarkan pada pembacaan yang sungguh-sungguh atas kebutuhan dan kepentingan masyarakat terhadap undang-undang.
Hal yang paling mendesak dan krusial yang perlu dilakukan saat ini adalah melakukan reformasi secara fundamental terhadap aparat penegak hukum di Indonesia (kepolisian, kejaksaan, Mahkamah Agung), sebaik apapun kualitas teks dan konteks UU, namun apabila mental dan perilaku koruptif penegak hukumnya masih kental, sampai kapanpun UU tersebut hanya sebatas untaian kata-kata tanpa implementasi nyata.
Tak kalah pentingnya juga kedepan nampaknya harus ada upaya bagaimana merubah budaya hukum masyarakat (legal culture), hal tersebut dapat dimulai dengan cara merubah pola pikir (mindset) masyarakat, bahwa mereka mentaati hukum sebagai suatu kebutuhan bukan karena paksaan, dengan demikian masyarakat akan menyadari betapa pentingnya hukum dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara.
OLEH: Ispan Diar Fauzi
Mahasiswa pasca sarjana ilmu hukum Universitas Suryakancana Cianjur