Apa yang Salah dengan SE Hate Speech?
Publik kembali gaduh, asbabun nuzulnya adalah SE mengenai ujaran kebencian (Hate Speech) yang telah diterbitkan KAPOLRI. Surat Edaran ini dianggap berpotensi memberangus kekebasan berekspresi. Teriakan keras pun bersenandung menentang SE tersebut baik oleh yang benar-benar memahami substansi persoalan maupun yang hanya sekedar “latah” mengikuti arus mayoritas.
Sesungguhnya SE ini lahir karena “desakan” sekelompok aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang resah dengan berbagai kerusuhan berbau SARA. Mereka menganggap pihak kepolisian hanya bertindak pasca terjadinya kerusuhan yang mengakibatkan banyak korban berjatuhan. Padahal Polisi dapat mencegah terjadinya konflik meluas, salah satu caranya adalah dengan mengidentifikasi siapa provokator yang menjadi “hate speaker”. Anjuran kebencian dianggap sebagai pemantik terjadinya konflik dan Pihak Hate Speaker inilah yang harus diredam “Speechnya” untuk mencegah konflik. Kekerasan Massa tidak terjadi dengan sendirinya tapi meledak karena pernyataan tokoh yang menyebar kebencian untuk kelompok lain karena Perbedaan SARA
Polri dibawah komando Badrodin Haiti merespon desakan tersebut, akhirnya terbitlah SE. Namun rupanya Polri punya pandangan tersendiri mengenai Hate Speech yang berbeda dengan aktivis HAM yang mendesaknya. Polri memperluas makna Hate Speech dengan memasukkan pasal penghinaan terhadap individu sebagai bagian dari Hate Speech. Perbedaan pada titik inilah yang memancing riuh publik “latah” mengikuti arus teriakan mayoritas. Yang ingin dibungkam adalah “Hate Speech” tetapi karena SE tersebut memasukkan penghinaan maka publik curiga polisi juga ingin memberangus kebebasan berpendapat seperti yang sebelum-sebelumnya terjadi.
Apa itu Hate Speech?
Mengamati komentar para akademisi hukum, nampaknya mereka tidak mampu membedakan antara penghinaan (Smaad), Fitnah (Laster) pernyataan kebencian/permusuhan (uiting geven) dan Ujaran Kebencian (Hate Speech). Termasuk dalam SE itu sendiri, Polri belum mampu menangkap apa esensi Hate Speech. Secara umum masih banyak yang menganggap Hate Speech adalah bagian dari kebebasan berpendapat sehingga harus dilindungi oleh hukum. Kritik pemerintah, beropini, disamakan dengan Hate Speech. Anggapan ini pula yang nampaknya dianut oleh kepolisian sebelum disadarkan oleh sekelompok aktivis HAM.
Padahal “Kriminalisasi” Hate Speech adalah bagian dari perlindungan hak konstitusional warga negara berupa menjalankan keyakinan dan agamanya atau melindungi golongan tertentu. Meredam Hate Speech berarti memberikan perlindungan bagi kaum minoritas dari potensi pembantaian kaum mayoritas karena disuluh oleh hate Speech.
Sesungguhnya sasaran tembak dari Hate Speech ini adalah tokoh antagonis yang selalu menghasut kaum mayoritas untuk memusuhi kaum minoritas melakukan kekerasan, diskriminasi atau tindakan-tindakan yang mengancam nyawa dan kehormatan kaum minoritas.
Ada tiga (3) komponen utama ekspresi/ujaran kebencian yang bisa dikategorikan sebagai Hate Speech, Pertama Intend (Mensrea) kedua menghasut, ketiga mendorong diskriminasi, kekerasan dan permusuhan atas dasar SARA, Oreantasi Seksual, Difabel. Element utama (Bestandel) Hate Speech adalah Hasutan yang disertai ajakan untuk melakukan kekerasan , Diskriminasi, menjauhi, mengasingkan yang pada pokoknya berakibat pada terampasnya hak-hak golongan tertentu khususnya kaum minoritas. Ketentuan ini merupakan derivasi dari pasal 20 ICCPR yang telah diratifikasi melalui UU 12 Tahun 2005. Hanya saja UU tersebut tidak memuat ketentuan pidana karena ICCPR adalah general rule yang berkaitan dengan hak sipil dan politik.
Ketiga elemen Hate Speech itulah yang membuat pasal 310 tentang Penghinaan (Smaad), pasal 311 (Laster) tentang fitnah pasal 156 tidak memenuhi komponen menghasut untuk mendorong melakukan diskriminasi, kekerasan dan permusuhan atas nama SARA. Term “Hate Speech” yang terdapat dalam pasal 20 ICCPR berbeda dengan Term “pernyataan kebencian dan permusuhan” dalam pasal 156 KUHPidana. Perbedaannya, dalam pasal 156 tidak ada elemen mendorong, melakukan kekerasan, diskriminasi dan atau permusuhan.
Himbauan Kapolri
Secara hukum, sesungguhnya pasal-pasal yang dimasukkan oleh Polri dalam surat edaran tetaplah “hidup” meskipun tidak disebutkan dalam surat edaran tersebut. Sehingga tidak ada relevansi hukum antara Surat Edaran dengan tuduhan membangkitkan pembungkaman kebebasan berpendapat. Publik hanya takut jika pencantuman pasal penghinaan atau fitnah yang bukan bagian Hate Speech akan “disalah gunakan” oleh kepolisian membungkam kebebasan berpendapat atas nama hate speech.
Tapi benarkah SE ini ingin membungkam kebebasan berpendapat. Pada pokoknya Himbauan Kapolri kepada jajaran bawahannya dalam Surat Edaran ini bermaksud baik. Indikasi ini dapat dilihat dari tahapan preventif dan tahapan represif dalam menangani perkara yang berbau Hate Speech. Aparat kepolisian dihimbau memahami bentuk-bentuk Hate Speech , melakukan deteksi dini (early detection) bibit-bibit yang berpotensi menimbulkan kerusuhan, Mendekati tokoh masyarakat, agama dan pemuda. Beberapa himbauan tersebut “secara tekstual” tidak ada yang dapat ditafsirkan sebagai membungkam kebebasan berpendapat.
Jika ditemukan potensi tindak pidana, polisi dihimbau untuk untuk mendetekti bibit pertikaian, melakukan pendekatan terhadap para pihak, mempertemukan para pihak, mencari solusi untuk mendamaikan, dan memberikan pemahaman akibat dari Hate Speech dan konflik sosial. Bukankah langkah-langkah tersebut adalah bagian dari restoratif justice yang selama ini selalu diagungkan sebagai hukum progresif. Bukankah tahapan-tahapan tersebut juga adalah bagian dari prinsip ultimum remidium yang dijunjung dalam hukum pidana.
Justru penulis takut jika maksud baik dari himbauan SE ini tidak ditangkap dan dipahami dengan baik oleh akar bawah kepolisian. Publik takut jika SE dimaknai sebagai upaya represif membungkam kebebasan berkekspresi. Padahal SE ini semata-mata sebagai pedoman untuk mencegah terjadinya kekerasan massa seperti yang terjadi di Tolikara, Sampang Madura dan Aceh Singkil. SE ini adalah jawaban dari peran polisi yang selama ini hanya bertindak pasca jatuhnya korban jiwa.Surat Edaran ini harusnya menghilangkan saja pasal-pasal pidana yang berbau Hate Speech karena sudah diatur dalam UU masing-masing. Muatan Surat Edaran ini cukup mengatur langkah-langkah preventif dalam menangani gejala-gejala Hate Speech yang terjadi dalam masyarakat. Selain itu pemahaman mengenai Hate Speech yang sesungguhnya perlu ditanamkan kepada kepolisian mulai dari tingkat atas sampai ke jajaran paling bawahnya.