MK: Badan Peradilan Khusus Pilkada

Damang Averroes Al-Khawarizmi
(http://makassar.tribunnews.com)
Misi utama saya menuliskan artikel ini, yaitu mengabarkan kepada khalayak agar tidak perlu lagi khawatir untuk Pilkada serentak 2024. Tanpa saluran hukum, andaikata terjadi pelanggaran atas hasil suara pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
MK telah mempermanenkan dirinya sebagai “single court” yang akan mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Kedudukannya itu, tidak lagi bersifat sementara atau transisional sampai dibentuknya badan peradilan khusus Pilkada, sebagaimana telah dibacakan oleh sembilan majelis hakim konstitusi dalam Putusan Nomor: 85/PUU-XX/2022 atas uji materiil Pasal 157 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 UU Pemilihan.
Tidak Ngambek Lagi
Perjalanan panjang penyelesaian perselisihan perolehan suara Pilkada, sesungguhnya tidak cukup, hanya dapat diamati dengan kacamata teropong yuridik. Sejak pertama kalinya, semua berkas sengketa Pilkada yang masih dan sedang berproses saat itu di MA, telah diserahterimakan kepada MK tertanggal 29 Oktober 2008. MA yang tidak lagi menjadi pengadil atasnya, tidak semata-mata dilatari Pasal 236 C UU No. 12/2008 (perubahan kedua UU No.32/2004 tentang Pemda) Juncto Putusan MK Nomor: 072 – 073/PUU-II/2004.
Latar sosio historisnya, yaitu ada dua Pilkada pada tahun 2007 menjadi sorotan nasional. Adalah Pilkada Depok dan Pilkada Sulsel yang diputuskan oleh MA untuk kembali digelar pemilihan ulang di beberapa daerah, menuai kontroversi berkepanjangan dan unjuk rasa silih berganti. UU No. 32/2004 waktu itu yang tidak mengatur upaya hukum peninjauan kembali atas sengketa hasil Pilkada, pun demikian diterobos yang akhirnya menghasilkan praduga, MA “masuk angin” dan takut dengan tekanan publik, sehingga kembali menganulir putusan dahulunya yang sudah bersifat final dan mengikat.
Jika kabar “masuk angin” MA, sehingga legowo kewenangannya dialihkan ke MK hanya dalam selentingan isu. Lain cerita untuk MK, dengan melalui putusannya Nomor 97/PUU-XI/2013 yang mengeluaRkan dirinya sebagai pengadil sengketa hasil Pilkada, dilatari oleh fakta konkrit. Yaitu pucuk pimpinannya, Akil Mochtar dicokok oleh komisi antirasuah gegara suap beberapa penanganan sengketa Pilkada (Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Pilkada Lebak Banten, Pilkada Empat Lawang, dan Pilkada Kota Palembang).
Saya mencoba menangkap suasana kebatinan MK waktu itu, terutama dari ketua MK Hamdan Zoelva. Ada semacam sikap mojjo (ngambek), tidak mau lagi mengadili sengketa hasil Pilkada. Seolah ia berkata; “Kami sudah kewalahan menangani banyak perkara, berikut kami lagi berada dalam tekanan publik, yah sudahlah, kami tidak mau lagi mengadilinya.”
Beruntung waktu itu, dari hasil tawar-menawar DPR dengan MK. MK terbujuk untuk tetap mau menangani sengketa Pilkada dalam sifat kesementaraan. Berikut dengan hadiah kewenangan bisa “merontokan” banyak permohonan cukup melalui ambang batas perselisihan suara.
Dan ibarat anak semata wayang yang pernah ngambek. Dengan melalui Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022, kini ia sudah merasa nyaman selama kurun waktu menangani sengketa Pilkada 2015, 2017, 2018, dan 2020. Mempan pula bujuk rayu itu, seorang ibu dengan kasih sayang selalu merawat dan memberi makan anaknya, manalah mungkin sang anak akan ngambek selamanya. MK juga pastinya begitu.
Siapa Aktornya
Kabar MK yang kini menjadi mahkamah permanen badan peradilan khusus Pilkada. Kiranya menjadi penting pula diungkap siapa aktor-aktor diantara dua kutub rezim Pemda dan Rezim Pemilu sebagai catatan yang mendasari berwenang tidaknya MK mengadili sengketa hasil Pilkada.
Sesungguhnya ada tiga aktor utama dibalik sejarah penanganan sengketa hasil Pilkada. Jimly Asshiddiqie, saya mendeteksinya sebagai aktor arbiter di antara rezim pemilu dan rezim pemda. Makanya dahulu dalam Putusan Nomor: 072 – 073/PUU-II/2004, tidak mempersoalkan sengketa Pilkada siapa yang berwenang mengadilinya, bisa oleh MA, bisa juga oleh MK. Datang Hamdan Zoelva yang menggantikan Akil Mochtar, begitu kental hasil pemikirannya ia bawa ke MK sebagai salah satu pembahas di PAH amandemen UUD 1945. Ia letakkan secara terpisah Pilkada bukan bagian dari rezim pemilu, jadilah sengketa Pilkada bukan kewenangan MK.
Berbanding terbalik dengan Hamdan Zoelva. Saldi Isra yang jika kita telusuri artikel dan sejumlah catatan hukumnya tentang pemilu. Terompet penunggalan Pilkada sebagai rezim pemilu, demikian ia sudah bunyikan di Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019. Sehingga soal permanennya MK sebagai pengadil sengketa hasil Pilkada, dari dahulu saya sering mengatakan, itu hanya soal waktu, kapan ada yang mengajukan judicial review atas Pasal 157 UU Pemilihan, MK sebagai “single court” PHP Kada, InsyAallah pasti kabul.
Banyak Perkara
Namun bagi saya, MK sebagai pengadil tunggal PHP kada kabarnya tidaklah terlalu menggembirakan. Ada 541 daerah (33 Pilgub dan 508 Pilbup/Pilwakot) akan menggelar Pilkada secara serentak pada 27 November 2024 nanti. Kalau dalam hitungan normal dari pengalaman perkara Pilkada di MK tiga kurun waktu terakhir, sebagai jumlah keseluruhan daerah yang menyelenggarakan Pilkada (Pilkada 2015 ada 152 perkara, Pilkada 2017 ada 60 perkara, Pilkada 2018 ada 72 perkara). Berarti, potensi perkara Pilkada 2024 nanti di MK, ada di kisaran angka 284 perkara.
Apa konsekuensinya kalau terlalu banyak perkara yang ditangani MK? Akan berkurang tingkat kecermatan dalam menelisik perkara satu-persatu disebabkan karena faktor kelelahan dan kewalahan di tengah waktu penanganan yang sangat singkat (hanya 45 hari). Lumrah adanya bagi manusia biasa, kalau berhadapan dengan pekerjaan yang banyak dengan waktu yang terbatas, ada kecenderungan ingin menyelesaikan dengan cepat, meski hasil tidak maksimal dan memuaskan.
Saya memiliki pengalaman menarik tentang masalah ini. Dahulu, dalam perkara Pilkada Paniai yang ditangani oleh teman saya, sempat menerobos ambang batas, gara-gara tinggal itu satu-satunya perkara yang diperiksa MK, berhubung pendaftaran perkaranya belakangan gara-gara terjadi penundaan pemungutan suara, padahal dalil-dalilnya tidak terlalu meyakinkan. Saat yang sama ada perkara lain yang harusnya lolos, bahkan mestinya kabul, yaitu Pilkada Deiyai malah terpelanting lebih awal di ambang batas PHP Kada karena terdaftar di waktu yang normal.
Tentu faktor sumber daya, keterampilan, dan kecerdasan hakim juga menjadi faktor dibalik semua masalah ini. Karena boleh jadi seandainya misalnya Pilkada Sinjai 2018 berada dalam sengketa Pilkada 2020 di MK, mungkin akan kabul PSU-nya. Karena menyangkut suara pemilih yang dibatalkan sekitar 40 ribu suara oleh KPU Kabupaten Sinjai, sejalan dengan kabulnya PSU di Pilkada Morowali 2020 oleh MK, demi pengutamaan dan perlindungan hak suara pemilih.