Menangkal Suap Politik Pilkada

Pasca dikeluarkannya regulasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dari Undang-Undang Pemerintahan Daerah, telah mengalami perubahan dan penetapan sebanyak empat kali. Namun pada kenyataannya “suap politik” sanksi pidananya sebagian masih mengacu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan sebagiannya lagi sudah ada yang ditentukan dalam Undang-Undang Pilkada tersendiri.

Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 Tentang Pilkada, suap politik terklasifikasi dalam dua bagian.

Pertama, suap politik yang diberikan kepada Partai Politik karena sebagai partai pendukung Calon Kepala Daerah, bisa dilakukan (pelaku pemberinya) melalui Calon Kepala Daerah, orang lain dan/atau lembaga (badan hukum) yang bekerja sama (dalam bentuk turut serta), memberikan suap kepada Partai Politik tertentu. Dalam bahasa trend-nya bentuk suap politik yang pertama ini sering disebut “mahar politik”. Kedua, suap politik yang model pemberiannya diberikan kepada Pemilih, inilah yang disebut money politic. Pelaku pemberinya sama dengan kategori “suap politik” yang pertama.

Sanksi Pidana

Untuk kategori suap politik kepada Partai Politik dalam UU Pilkada, penangkalan hukumnya melalui sanksi pidana denda saja yaitu dikenakan denda sebesar 10 (sepuluh) kali lipat dari nilai imbalan yang diterima (Pasal 47 ayat 6 UU No. 8 Tahun 2015).

Pertanyaannya; apakah Partai Politik yang menerima mahar tersebut masih memugkinkan dijatuhkan pidana pokok lainnya, terutama pidana penjara bagi Ketua atau Pengurus Partai Politik yang terlibat misalnya? Jawabannya: tidak bisa, sebab selain UU Pilkada yang bersifat lex specialist yang hanya membuka sanksi pidana denda, dalam KUHP juga tidak menyebutkan “badan hukum tertuju pada Ketua atau Pengurus Partai politik” sebagai penerima suap dapat dipidana.

Hal ini tentu berbeda dengan praktik suap politik yang dilakukan terhadap Pemilih. Nyata dan tegas berdasarkan Pasal 73 UU No. 1 Tahun 2015 cara menangkal perbuatan suap politik tersebut dapat melalui ancaman pidana penjara atau melalui pidana denda; “Bahwa Calon dan/atau Tim Kampanye yang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi Pemilih dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan”.

Tafsir sistematikalnya Pasal 73 UU Pilkada sudah pasti merujuk kembali pada Pasal 149 KUHP: “(1) Barang siapa pada waktu diadakan Pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya atau supaya memakai hak itu menurut cara tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling lama empat ribu lima ratus rupiah; (2) Pidana yang sama diterapkan kepada Pemilih, yang dengan menerima pemberian atau janji, mau disuap.”

Sumber Gambar: beritakotakendari.com

Sumber Gambar: beritakotakendari.com

Mendiskualifikasi

Selain penangkalan suap politik melalui bentuk-bentuk pemidanaan (denda atau penjara, masih terdapat metode tangkal hukum yang disediakan oleh UU Pilkada dan KUHP.

Jika dicermati berdasarkan dasar-dasar pemidanaan hingga corak pemidanaan, ternyata bentuk pemidanaan yang disediakan melalui UU Pilkada terhadap Partai Politik dan Calon Kepala Daerah manakalah terbukti melakukan/terlibat dalam suap politik merupakan pidana tambahan dalam bentuk pencabutan hak. Oleh UU Pilkada dalam termin politik pencabutan hak ini lazim disebut “pendiskualifikasian” sebagai peserta Pilkada.

Pencabutan hak demikian tertuju  baik kepada Partai politiknya maupun calon kepada Kepala daerahnya.  Partai Politik atau gabungan Partai Politik terbukti menerima imbalan maka Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama (Pasal 47 ayat 2 UU No. 8 Tahun 2015).

Demikian juga dengan Calon Kepala Daerah; Calon yang terbukti melakukan pelanggaran (menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi Pemilih) berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dikenai sanksi pembatalan sebagai Calon oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota (Pasal 73 ayat 1 dan ayat 2 UU No. 1 Tahun 2015).

Hal yang patut diperhatikan terkait dengan suap politik dalam UU Pilkada ini, terutama hakim pengadilan, harus cermat untuk mencantumkan dalam amar putusan atas tindak pidana a quo; selain memutuskan pidana pokok (penjara atau denda) juga sudah harus mencantumkan pidana tambahan yang relevan berdasarkan ketentuan UU Pilkada.

Pentingnya pidana tambahan demikian untuk melindungi KPUD dari tindakan yang akan dianggap sewenang-wenang dalam menerbitkan Surat Keputusan (SK) “mendiskualifikasi” Partai Politik dan/atau Calon Kepala Daerah tersebut..

Selain itu, sistem peradilan pidana Pilkada juga terdapat ketentuan hukum acara yang khusus pula. Bahwa limitasi untuk memperoleh putusan inkra atas tindak pidana dalam Pilkada terbatasi dalam kurun waktu kurang lebih 42 hari. Dan hanya sampai pada tingkat banding (di Pengadilan Tinggi) putusannya telah berkekuatan hukum tetap.

Memang, sangatlah beralasan mekanisme demikian dipersingkat agar tidak mengganggu tahapan Pemilihan Kepala Daerah yang akan dilaksanakan secara serentak nanti. Tetapi singkatnya waktu yang diberikan kepada hakim untuk memeriksa, mengadili dan memutus segala perkara tindak pidana Pilkada tidak boleh menjadi kendala untuk melahirkan putusan yang akan menjamin Pilkada serentak berjalan secara demokratis.

Di atas segalanya, kompleksitas dari penangkalan suap politik Pilkada sungguh dibenarkan bagi hakim untuk menjatuhkan pidana tambahan kepada Calon Kepala Daerah dan Partai Politik manakala telah terdapat pidana pokok (penjara atau denda). Sebab selain UU Pilkada, Pasal 153 ayat 2 junto Pasal 35 ke-3 KUHP juga memberi penegasan “dalam hal pemidanaan kejahatan (barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya atau supaya memakai hak itu menurut cara tertentu) dapat dikenakan pidana pencabutan hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum.”*

Telah Muat diharian Tribun Timur 10 Juni 2015

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...