Atut dan Dinasti Politik Predatorisnya
Tidak ada hal yang mengagetkan bagi publik, kita semua, ketika tiba-tiba jumat kemarin (20/12) Ratu Atut Chosiya akhirnya ditahan oleh komisi anti rasuah KPK. Indikasi, terlibatnya Atut atas penyuapan Akil Mochtar oleh adiknya sendiri, Tubagus Wardana untuk memenangkan gugatan calon Bupati Lebak Amir Hamzah di MK, sudah banyak yang menduga lebih awal. Meski KPK terkesan terlambat mencokok Atut, juga sebagai koruptor kelas kakap di provinsi sumber industri baja itu.
Merunut kebelakang, memutar surut arah jarum jam, penetapan Atut sebagai tersangka seolah mengingatkan kita pada sebuah film yang berjudul Max Havelar. Film tersebut diadopsi dari novel dengan judul yang serupa, ditulis oleh Multatuli, merupakan nama samaran dari Eduard Douwes Dekker, ketika penulis sedang ditugaskan sebagai asisten residen di Lebak pada masa penjajahan Belanda. Dikisahkan dalam Novel setebal 337 halaman itu (fersi belum terjemahan), bahwa Max Havelaar memilih jalan yang berbeda, dengan melawan kesewenang-wenangan Bupati Lebak Karta Natanagara atas support Residen Banten Brest van Kempen. Melalui latar dan seting yang sama yaitu Lebak, diketahui kalau peran yang dimainkan oleh Tubagus Wardana juga adalah dalam rangka memenangkan calon bupati Amir di lebak, agar desain pengaruh kekuasaan Atut makin langgeng. Kesamaan yang lain pula nampak melalui kronologis ketamakan Atut dalam menguasai kantong-kantong kekayaan daerah, tanpa pembangunan adil dan merata juga pernah dilakukan oleh raja dan para demang melalui rezim kolonialisme belanda. Max Havelar dan rakyat di zaman itu sama-sama dipaksa agar menerima korupsi dan dinasti yang sewenang-wenang, berlanjut terus menerus, tanpa ada pilihan memilih pemimpin yang bisa melayani.
Dinasti Beradaptasi
Dinasti Politik sebagaimana yang dikemukakan Pablo Querubin (dalam Muhtadi, 2013) `a particular form of elite persistence in which a single orfew family groups monopolize political power‘, terbukti atas kekuasaan yang dipanggul oleh Atut selama ini. Secara bertahap, terjal walau banyak hambatan yang harus dilalui, oleh Atut berhasil membangun dinasti politiknya. Bisa dilihat dari Ratu Atut “menobatkan” kakak kandungnya sebagai Wakil Bupati Serang yaitu Ratu Atut Chasanah. Kakak tiri Atut sebagai Walikota Serang; Tb Haerul Jaman. Kakak ipar Atut, Walikota Tangerang Selatan; Airin Rachmi Diany, dan anak tirinya menjabat sebagai Wakil Bupati Pandeglang; Hervani. Anak kandung Atut sendiri, Andika Hasrumy anggota DPD RI saat ini, juga digadang-gadang menjadi caleg DPR RI 2014 – 2019. Hanya Hikmat Tomet merupakan suami dari Atut tidak dapat mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI 2014 – 2019 lagi, karena “terpaksa” berlalu dijemput maut sebelum pemilu 2014 sedianya dihelat.
Fenomena dinasti politik, sebenarnya bukan hal yang baru, bukan hanya terjadi di Banten, tetapi juga terjadi di Sulsel dan Sulut. Maka dibutuhkan penelahaan yang cermat untuk mengamputasinya. Selalu dikatakan oleh para kerabat kekuasaan, mereka pada intinya dipilih dengan cara yang demokratis, dipilih sesuai dengan mekanisme hukum dan landasan konstitusioal yang berlaku. Inilah pembeda yang terjadi di zaman kolonial dibandingkan era sekarang. Dulunya, rata-rata dinasti bisa langgeng karena faktor kekuasaan ningrat dan bangsawan semata, kini malah ia bermain-main dalam panggung arena demokrasi.
Hal ini menunjukan kalau dinasti politik mampu bertahan dan bercokol dalam sistem pemerintahan apapun, baik itu oligarki, aristokrasi, maupun demokrasi. Dinasti politik mampu menyelipkan diri, tersembunyi hingga beradaptasi dalam cuaca pemerintahan yang sekalipun itu diklaim sebagai pemerintahan demokrasi yang stabil.
Predatorisme Atut
Sebab musabab dari langgengnya dinasti politik di alam demokrasi selayaknya yang terjadi pada kasus Atut tidak lain karena kemampuan menancapkan pengaruhnya dalam berbagai dimensi. Kondisi ini semakin diperparah karena juga ditunjang oleh waktu dan kesempatan yang luang untuk mempengaruhi massa, mengakuinya sebagai pemeritahan yang memiliki kekuatan legitimitas, melalui penguasaan terhadap sendi-sendi perekonomian daerah. Dengan jalan menempatkan kerabat dekatnya melalui penetrasi politik yang terkesan demokrasi abu-abu (pseudo demokrasi).
Ada dua dimensi yang menjadi causa prima, sehingga kita terkadang tidak sadar kalau dinasti politik sedang dimainkan oleh oknum kekuasaan. Pertama, penguasaan sumber daya—dengan cara memonopoli sumber daya yang ada terutama APBN/ APBD, maka dengan gampang memberikan pengaruh terhadap atribut demokrasi yaitu rakyat. Dilakukan baik secara terang-terangan maupun tersembunyi. Secara terang-terangan misalnya dengan bagi-bagi amplop, money politic. Ataukah yang tersembunyi dikemas dengan bantuan Sembako, pembangunan jalan, mesjid, sekolah, dan lain-lain. Wajar saja sindrum bagi-bagi uang ini dalam rangka melanggengkan dinasti politik tidak bisa diputus mata rantainya, karena di negeri kita didukung pula oleh kondisi perekonomian rakyat yang relatif belum stabil. Sebagaimana yang terjadi pada pemerintahan Atut, kondisi sumber daya negara yang dimainkan oleh Ketua DPP Partai Golkar wilayah Banten Itu, terbukti berdasarkan rilis ICW. Terjadi peningkatan angka fantastis pada 2011 di Banten untuk angaran hibah dan bansos, kurang lebih Rp 400 miliar. Jelas angka itu menanjak tidak lain dalam rangka memenangkan Atut kembali sebagai Gubernur. Hal ini berbeda misalnya jika dibandingkan dengan anggaran sebelumnya, pada 2009 dan 2010, dana hibah dan bansos masing-masing dianggarkan sebesar Rp74 miliar dan Rp290,7 miliar.
Kedua, faktor petahana—calon incumbent jelas memiliki pula dampak untuk melanggengkan dinasti politik bernuansa predatoris. Di samping sudah menguasai aset daerah, faktor popularitas juga dengan gampang ditancapkan untuk ceruk pemilih, apalagi kelompok pemilih tradisional. Persoalan elektabiltas, sebagai salah satu syarat untuk dipilih kembali, juga dipilih para keluarganya, setidaknya walau mereka tidak berintegritas bisa dibarter dengan uang, modal popularitas, dan pertalian darah semata. Atut, keluarga dan para koleganya (seperti calon bupati lebak, Amir) dipastikan menggunakan faktor petahana, ikatan darah, dan sumber daya Negara, sehingga tak pelak di Banten terkuak dinasti politik yang bernuansa predatoris. Anggaran Negara dihabiskan untuk kepentingan kekuasaan atas nama keluarga, bahkan lebih jauh proyek-proyek daerah tidak lepas dari bagian aset kekayaan yang tersimpul dalam satu keluarga.
Di atas segalanya, kasus yang menimpa Atut dan rakyat yang serba dimiskinkan di Banten. Patut menjadi catatan buat Menteri Dalam Negeri, para elit politik saat ini untuk memikirkan ulang, pantaskah kita kembali menganut sistem Pemilukada tak langsung ? Justru dengan melihat kasus Atut di atas, predatorisme politik dimungkinkan akan lebih menggurita dari apa yang terjadi hari ini kalau sedianya kembali pada sistem pemilihan tidak langsung. Logikanya, kalau terpilih kepala derah melalui pemilihan tidak langsung (dipilih oleh DPRD), cukup para aktor dinasti menancapkan pengaruhnya di DPRD saja. Ketika DPRD sudah tutup mulut, rakyat hanya akan menjadi pelengkap penderita saja. (*)
Artikel Ini Juga di Muat di Harian Tribun Timur Makassar, 21 Desember 2013