Rumus Pemilu Menemukan Negarawan
Era reformasi sudah berjalan hampir lima belas tahun. Namun mengapa hingga hari ini. Belum juga lahir pemimpin yang kredibel di negeri yang katanya sudah menganut demokrasi dan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Siapa sesungguhnya yang salah memilih pemimpin, apakah partai politik yang disalahkan secara “total” karena organisasi inilah sebagai supply pemimpin (iron stock) yang paling berperan ? Ataukah kita sebagai pemlih yang salah dalam memilih pemimpin yang pantas mengelola Negara dengan sebaik-baiknya.
Untuk menelaah permasalah demokrasi di negeri ini. Sepertinya tidak bisa disamakan dengan sistem pemilihan umum yang sudah dianut di negara-negara maju. Yang mana Negara tersebut dari segi kulitas sumber daya manusianya, sudah tergolong di atas rata-rata. Warga di Amerika misalnya sebagai kiblatnya demokrasi rata-rata penduduknya adalah warga Negara yang berpendidikan. Maka bukan hal yang ganjil, jika mereka menganut prinsip one man one vote.
Seperti ini pula yang diterapkan di Indonesia, tapi nyatanya makin sulit melahirkan pemimpin yang ideal hingga sekarang. Penggadaian one man one vote, satu suara seorang sarjana, bahkan seorang professor sama saja suaranya dengan seorang preman, sama saja suaranya kelompok petani yang tidak pernah mengecap bangku sekolah, tidak pernah melihat tayangan media. Lalu dengan sempoyongan mereka “dipaksa” untuk memilih calon-calon yang sama sekali mereka tidak pernah kenal. Pemilih dalam situasi ini ibarat kerbau yang dengan gampang saja dicokok hidungnya. Tidak tahu apa tujuan pencokokan itu, yang jelas pemilih dibuat lemah posisinya dalam menentukan nasibnya, atas hak-haknya yang harus dijamin oleh Negara.
Dibandingkan dengan Negara berkembang sekelas Negara Indonesia. Warga negaranya yang masih banyak melek huruf, bahkan jumlah penduduk yang kurang lebih dua ratus juta itu. Rata-rata pendduk kita lebih banyak dalam angka pendidikan sekolah menengah pertama ke bawah. Sehingga kalau mau disejajarkan dengan prinsip pemilu yang dianut di negeri maju, sulit untuk melahirkan negarawan yang tangguh, kredibel, professional dan berintegritas.
Rumusnya adalah bagaimana mungkin pemilih bisa menentukan kredibel tidaknya seorang bakal calon anggota legislatif dan eksekutif missalnya. Sementara pengetahuan yang harus menyokong, untuk menentukan calon-calon pejabat yang akseptabel berdasarkan rekam jejak para caloncalon tersebut tidak ada.
Memang gagasan ini terkesan “melanggar ham” karena suara seseorang ditentukan berdasarkan tingkat pendidikan atukah profesi mereka. Tetapi pertanyaan kemudian harus dijawab, mana yang lebih diutamakan suara rakyat akan melahirkan pemimpin yang berkualitas ataukah bertahan dengan hak-hak individual setiap orang tapi toh pada kenyataannya, pemimpin yang terpilih tidak mampu menunaikan kesejahteraan rakyat. Bukankah juga dalam konstitusi warga Negara dijamin haknya untuk mendapat kesejahteraan. Kalau begitu, lebih baik mengedepankan terlebih dahulu lahirnya pejabat berkualitas.
Dalam konteks ini kinerja lembaga survei patut diapresiasi dalam hal penentuan pemimpin yang negarawan dengan survey yang menggunakn top mind leader. Mencari calon-calon pemimpin sebagai kredibel alternatif, melalui survei pada seluruh responden yang dipilih hanya dari tingkat elit, yaitu kalangan professor, pengamat, tokoh, dan ulama. Yang memunculkan beberapa nama baru seperti Anis Baswedan, Dahlan iskan, Mahfud MD.
Gagasan tersebut Tidak hanya sebagai gagasan dan berhenti pada harapan, agar calon-calon tersebut dipinang oleh partai politik. Tetapi mesti dilihat juga dari keniscayaan dari pemilih sebagai ujung tombak penentu masa depan Negara ini. Karena itu, mesti melahirkan formulasi penentuan jumlah suara berdasarkan kaulitas pemilih. Kalau pemilihnya semua berkualitas maka otomatis juga pilihan-pilihannya akan berkualitas. Berarti untuk sementara tidak boleh dianut prinsip one man one vote. Cara penentuan suara bisa dipilah-pilah berdasarkan tingkat pendidikan, dan profesi pemilih. Sebagai contoh cara itu bisa ditempuh dengan cara pengklasifikasian seperti ini: (1)Untuk kalangan Professor hingga strata satu hak suara sebanyak lima suara; (2) Untuk kalangan tokoh agama, ulama, rohaniawan, pendeta, juga memiliki hak suara sebanyak lima suara; (3) Untuk kalangan profesi Polisi, TNI, Guru, juga meiliki hak suara sebanyak lima suara; (4) Untuk mantan pejabat legislatif, “eksekutif” dan yudikatif memiliki hak suara sebanyak tiga suara; (5) Untuk kalangan lulusan sekolah menengah atas hak suaranya sebanyak tiga suara; (6) Untuk kalangan lulusan sekolah menengah pertama ke bawah hak suaranya sebanyak satu suara saja.
Formulasi kebijakan ini tidak juga mesti dipertahankan selamanya. Ibarat kebijakan afirmatif, hanya berlaku untuk sementara. Seiring waktu, kalau semua pemilih sudah masuk dalam kategori pemilih dengan kecerdasan di atas rata-rata nantinya. Kita bisa kembali ke prinsip one man one vote. Tentunya masih banayak cara pengklasifikasian pemilih ke depannya, tinggal kita merumuskan berdasarkan standar yang logis saja. Agar rumusan kebijakan tersebut tidak diskriminatif.
Disamping rumus mencari pemimpin ideal di atas dapat melahirkan pemimpin yang ideal. Juga dapat diperoleh beberapa manfaatnya antara lain, susah lagi untuk terjadi money politic kalau pemilih yang berpendidikan mau disuap, tipologi pemilih kritis, apatis, dan pemilih rasional tidak lagi memilih jalan terakhir untuk golput (karena merasa suaranya diperhitungkan) bersamaan dengan itu pula massa mengambang akan gugur satu persatu karena partai politik harus keja keras pada pertarungan gagasan (ideology) ketimbang mengandalkan finansial saja. Praktis Party Id (identification party), kedekatan konstituen dengan partai akan semakin meningkat pula.
Saya kira tidak ada yang tidak bisa diubah di negeri ini, kita jangan terlalu gegabah untuk mengimpor apa yang terjadi di Negara-negara maju, sementara Negara ini belum siap atau tidak cocok dengan desain pemilu yang terjadi pada Negara-negara utara tersebut. Ideology bangsa kita saja, bisa berbeda dengan dua ideologi penguasa dunia, liberal dan sosialis. Tapi kita menganut demokrasi pancasila. Lalu mengapa mendesain pemilu untuk melahirkan pemimpin ideal sebagai sumbu utama lahirnya Negara kesejhateraan kita tidak desain sendiri.(*)