Suap Politik Mendiskualifikasi Paslon Kepala Daerah

Berdasarkan pengumuman yang dilansir KPU dan KPUD, sudah terdapat 265 daerah (Provinsi, Kabupaten dan Kota) yang akan menyelenggarakan Pilkada pada 9 Desember 2015 nanti. Namun dari total 265 itu, terdapat 3 daerah yang penetapan Calon Kepala Daerahnya akan dilaksanakan pada 30 Agustus 2015, sebagai konsekuensi perpanjangan masa pendaftaran karena keberadaan calon tunggal. Artinya, saat ini baru terdapat 262 daerah yang benar-benar telah melakukan penetapan Calon Kepala Daerah

Fenomena calon tunggal hanyalah sebahagian kecil yang menjadi problematik dalam perhelatan pilkada serentak saat ini. Pada tahapan penetapan calon dan tahapan kampanye selanjutnya, dipastikan masih akan memunculkan sejumlah catatan yang akan menjadi PR berat bagi KPU/D.

Permasalahan yang dimaksud dalam tulisan ini, yakni suap politik yang terbagi atas mahar politik dan money politic yang tentunya memliki implikasi hukum terhadap Calon Kepala Daerah yang telah melewati tahapan penetapan Pasangan Calon (Paslon). Implikasinya, bahwa ketika Paslon Kepala Daerah terbukti “suap politiknya” berdasarkan vonis pengadilan inkra, maka oleh KPUD harus mendiskualifikasinya.

Sumber Gambar: beritasatu.com

Turut Serta

Hingga saat ini masih terdapat pemahaman keliru dari beberapa anggota KPUD, termasuk Panwaslu yang menganggap pelaku suap politik hanya bisa menjerat Paslon Kepala Daerah dan tim kampanye saja. Sementara kalau ada orang lain yang bukan termasuk dalam pengklasifikasian calon atau tim kampanye yang melakukan suap politik, dianggap tidak dapat dijerat dalam perbuatan pidana.

Pada dasarnya pemahaman tersebut perlu diluruskan. Suap politik dalam kategori mahar politik memang dapat menjerat orang lain yang bukan Paslon Kepala Daerah ketika memeberikan imbalan kepada Partai Politik atau gabungan Partai Politik dalam proses pencalonan Kepala Daerah. Hal ini nampaknya berbeda dalam kategori money politic (Pasal 73 UU Pilkada) yang masih abu-abu untuk dikatakan bisa menjerat orang lain dari bukan Paslon atau tim kampanye.

Padahal cukuplah gampang menjerat pelaku yang dimaksud orang lain tersebut. Yakni, dengan membuat konstruksi Pasal 73 UU Pilkada junto Pasal 55 KUHPidana (KUHP). Sebab Pasal 55 KUHP yang mengatur “penyertaan tindak pidana” sudah menjadi conditio sine qua non untuk tindak pidana di dalam KUHP maupun tindak pidana diluar KUHP. Logikanya, jika hal itu mustahil diterapkan, manalah mungkin KPK selama ini dapat menjerat pelaku tindak pidana yang bukan pejabat negara andaikata Pasal 55 KUHP tidak dapat disandingkan dengan ketentuan pidana yang mengalami pengkhususan.

Oleh karena itu, dari penjelasan tersebut di atas, Panwaslu yang berperan dalam pengawasan pelanggaran penyelenggaraan Pilkada tidak perlu lagi mengulangi kesalahan-kesalahan sebelumnya, dengan tidak memproses orang lain yang sengaja “disusupkan” oleh Paslon ataukah tim kampanyenya, manakalah orang lain tersebut melakukan praktik bagi-bagi uang kepada calon pemilih. Kekuatan tangkal pidananya sudah jelas dengan mengkonstruksinya sebagai tindak pidana money politic berkualifikasi penyertaan.

Dan pada poin itu, menggunakan pasal penyertaan untuk tindak pidana pemilu yang sifatnya menjanjikan dan atau memberikan uang atau materi lainnnya untuk mempengaruhi pemilih, cukup sempurna untuk menjerat pula si Calon Kepala Daerah dan tim kampanye-nya dalam perbuatannya (melakukan, menyuruh melakukan, turut serta, menganjurkan, membujuk, dan membantu melakukan) terhadap orang lain agar melakukan salah satu wujud money politic seperti membagi-bagi uang kepada pemilih.

Mendiskualifikasi Paslon

Permasalahan lainnya dalam UU Pilkada, yaitu perumusan ketentuan pendiskualifikasian atas Paslon Kepala daerah yang terbukti telah terlibat dalam parktik money politic. Di UU Pilkada nyatanya juga tidak menjangkau pasal penyertaan yang telah ditentukan dalam KUHP.

UU Pilkada tidak mengatur secara tegas, andaikata dalam proses hukum acara tindak pidana tersebut, meski pelaku dari orang lain yang telah terbukti berdasarkan vonis pengadilan inkra melakukan praktik money politic, sehingga berimplikasi calon atau tim kampanye bersangkutan yang terlibat dalam penyertaan itu dapat mendiskualifikasi Paslon Kepala Daerah yang sudah ditetapkan oleh KPUD tersebut (vide: Pasal 73 ayat 2 UU Pilkada).

Parahnya lagi dalam ketentuannya, meskipun tim kampanye dari salah satu Paslon Kepala daerah terbukti berdasarkan vonis pengadilan inkra telah melakukan money politic, pun tidak memiliki konsekuensi hukum bagi Paslon Kepala Daerah untuk didiskualifikasi. Padahal jika ius constituendum dari UU Pilkada bertujuan melakukan tindakan preventif dan represif terhadap segala bentuk praktik money politic, maka sudah seharusnya memberikan efek jera bagi Paslon Kepala Daerah melalui proses pendiskualifikasian, kendati tim kampanye-nya yang melakukan praktik money politic.

Maka sebaiknya UU Pilkada dalam konteks ini mengalami penyempurnaan. Baik tim kampanye maupun orang lain yang dilibatkan sebagai perpanjangan tangan Paslon kepala daerah dalam melakukan tindakan-tindakan money politic. Bahwa dengan terbuktinya lebih awal tim kampanye atau orang lain yang dimaksud sebagai penyertaan karena dipisahnya (splitsing) pemerosesan pidananya dengan Paslon Kepala Daerah, sudah dapat menjadi dasar hukum yang kuat bagi KPUD untuk mendiskalifikasi Paslon yang terlibat itu. Sandaran alasannya: Pertama, tidak mungkin dalam ketentuan terkait mahar politik, orang lain saja yang terlibat dalam memberikan imbalan kepada partai politik atau gabungan partai politik dalam hubungannyaa dengan proses pencalonan salah satu kepala daerah membolehkan pendiskualifikasian Paslon bersangkutan, sementara untuk suap politik kategori money politik tidaklah berlaku demikian.

Kedua, tahapan pilkada yang tergolong singkat, terikat dengan waktu, tidak memungkinkan menunggu pula pemerosesan pidana keterlibatan Paslon hingga jatuhnya putusan pengadilan inkra, gara-gara pemisahan perkaranya saja dengan orang lain yang dilibatkan dalam perbuatan yang sudah mendapat pembuktian melalui pengadilan inkra. Boleh jadi KPUD akan kehabisan waktu jika harus menunggu vonis pengadilan inkra dari keterlibatannya paslon kepala daerah tersebut, yang tentunya berujung pada terganggunya tahapan-tahapan pilkada selanjutnya pula.

Ketiga, pijakan hukum dalam tataran praktik niscaya dari terbuktinya salah satu pelaku penyertaan, maka orang yang melibatkan diri di dalam perbuatan pidana yang sama sudah pasti akan terbukti juga bersalah nantinya di pengadilan. Ini hanya soal waktu dan terjadinya pemisahan perkara saja, sehingga terbuktinya orang lain karena perannya Paslon bersangkutan tidak membutuhkan waktu yang lama, dirinya juga akan terseret dalam perbuatan bersalah itu.

Sehingga dari pada mengulur-ulur waktu, toh juga akan bernasib sama dengan “konco-konco politiknya”. UU Pilkada tidak salah jika mengatur soal pendiskualifikasian lebi dini Paslon Kepala Daerah yang telah melakukan serangkain pemufakatan jahat untuk menghancurkan elan-vital demokrasi di negeri ini.*

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...