Papua dan Bahaya Laten Rasisme

Kerusuhan massa yang kian memanas di tanah Papua sebagai aksi protes atas perlakuan  sekelompok mahasiswa di Surabaya dan Malang oleh pihak aparat tidak berdiri sendiri dalam persoalan tunggal saja, hanya karena persoalan rasisme.

Rasisme hanyalah “pemantik” dari berbagai latar sosial ekonomi yang selama ini sudah menggunung, rakyat Papua seolah anak tiri dari NKRI, diabaikan namun harta dan kekayaan alamnya kian hari digeruk habis, dieksplorasi hingga dieksploitasi.

Aksi rasisme yang bermula ketika asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan No. 10, di Surabaya itu, dikepung oleh empat kelompok, TNI, polisi, Satpol PP, dan anggota Ormas. Mohon maaf kalau saya mengatakan, pemicu awalnya sehingga tanah Papua menjadi ricuh bukan karena adanya oknum yang mengucapkan kata-kata bernada rasis, melainkan semuanya dimulai dari sikap menjadi hakim sendiri.

Sebuah pikiran telah terjajaki dan tercekoki akan kepastian bersalahnya seseorang tanpa mengedepankan proses penegakan hukum. Dengan serta merta, karena telah ditemukan pembuangan bendera merah putih di got, berdekatan dengan asrama mahasiswa Papua, mahasiswa Papua-lah secara langsung sebagai pelakunya. Tidak ada alternatif atau kemungkinan yang lain misalnya, bagaimana kalau pelaku dibalik penistaan simbol negara itu, bukan mahasiswa Papua, melainkan didalangi oleh orang lain yang sengaja ingin menyeret mahasiswa Papua agar berhadap-hadapan dengan aparat penegak hukum dan kelompok Ormas lainnya.

Itulah hukum di era postruth, apalagi bersilang sengkarut dengan masalah rasisme, maka cenderung latah demi menciptakan bahaya laten disintegrasi bangsa. Seseorang dijadikan bersalah bukan lagi berbasis data dan fakta, melainkan rasa. Pada titik itu “nasionalisme” pun potensial disalahgunakan, apalagi dengan menggunakan instrumen media sosial, Sara semakin gampang dijadikan sebagai alat propaganda hadirnya kembali hukum purba, saat mana seseorang lebih senang mengutamakan sidang jalanan daripada persidangan yang sesungguhnya.

Mengapa dalam insiden pembuangan bendera merah putih di Surabaya itu, tidak diberikan kepercayaan penuh kepada pihak kepolisian untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan guna menentukan peristiwa pidana sebagai langkah awal membuat terang-benderang siapa serta apa motif pelakunya. Mengapa harus hadir di sana pihak TNI, padahal kasus tersebut domainnya bukan dalam konteks pertahanan negara. Mengapa pula hadir Ormas yang turut berjibaku dengan pihak kepolisian, seolah-olah pihak kepolisian tidak mampu menjalankan tugas dan fungsi kamtibmasnya.

Belum lagi dengan persimpangan hukum yang muncul satu persatu dibalik kasus itu. Belum selesai kasus penghinaan terhadap simbol negara, bendera merah putih, muncul kasus penghinaan terhadap identitas kesukuan. Belum selesai penghinaan berlatar rasisme, muncul lagi kasus siapa dalang pemicu kerusuhan berhadap-hadapannya mahasiswa Papua dengan empat pihak di Surabaya hingga kerusuhan di tanah Papua, menyebarkan berita bohong dan ujaran kebencian.

Mutasi kasus yang tiada henti bahkan mempertontonkan penegakan hukum yang cenderung diskriminan. Oknum aparat yang terindikasi melakukan penghinaan berlatar kesukuan tidak mendapat perhatian, penyelidikan dan penyidikan, hanya sanksi skorsing. Namun di saat yang sama ada penetapan tersangka rasisme dan hoaks terhadap seorang perempuan yang bernama Tri Susanti alias Susi.

Tri Susanti jauh lebih dikedepankan untuk diproses gegara unggahan pengumuman di sebuah grup Whatsapp, karena dianggap sebagai pihak yang memicu terjadinya kerusuhan demi kerusuhan. Padahal kalau mau ditelaah dengan cermat dan jernih, persoalan pokok sebenarnya ada pada peristiwa pembuangan bendera merah putih yang kemudian berlanjut dengan tindakan oknum aparat yang mengeluarkan kata-kata bermuatan penghinaan terhadap suku saat aksi penggrebekan terjadi di asrama mahasiswa Papua, Jalan Kalasan No. 10, Surabaya.

Untuk meredam aksi massa di tanah Papua yang sudah memuncak hingga perusakan pada sejumlah infrasktruktur pemerintahan, adalah tidak cukup dengan himbauan menyudahi semuanya, mari saling memaafkan, hentikan rasisme.

Di atas segalanya penegakan hukum secara equal harus dikedepankan. Pertama-tama, pihak kepolisian harus mengungkap siapa pelaku sesungguhnya dalam peristiwa pembuangan bendera merah putih di Surabaya itu. Pihak kepolisian harus mengutamakan pengungkapan rentetan kronologi peristiwa dan pelaku, dengan mengenyampingkan identitas pelaku entah sebagai orang Papua atau bukan, semuanya sama di hadapan hukum.

Kemudian jangan dilupakan pula untuk melakukan pemeriksaan terhadap oknum TNI yang terindikasi melakukan penghinaan bernuansa rasis dalam kasus itu. Sedianya mereka yang dalam jabatan TNI memang harus terproses melalui hukum pidana militer, penyelidikan – penyidikan oleh polisi militer dan oditur, tapi bagaimanapun kalau terbukti dalam kasus penghinaan berlatar Sara, juga harus diganjar dengan sanksi pidana sebagaimana penduduk sipil yang melakukan perbuatan serupa.

Amuk dan kemarahan rakyat Papua tidak dapat dilepaskan dari tekanan psiko-sosial yang multikompleks. Saat aparat negara telah berbuat tidak sepantasnya, memaki dan mendiskreditkannya, maka saat itu ia merasa dianaktirikan, ancaman disintegrasi pun kembali terkumandangkan.*

Oleh:

Amir Ilyas

Dosen Ilmu Hukum Unhas

You may also like...