Tahun Politik yang Terluka
SINDROM menghinggapi Parpol yang sudah lolos dari lubang jarum, palu godam verifikasi KPU di penghujung tahun politik ini, apalagi kalau bukan kasus korupsi yang melandanya terus menerus, tanpa berhenti memasung dan membuatnya jauh dari pilihan rakyat.
Dua nama besar pucuk pimpinan Parpol yakni Anas Urbaningrum (walaupun masih tersangka) dan Luthfi Hasan Ishaq (LHI) masing-masing pernah menjabat sebagai ketua dan presiden partai, sudah lebih dari cukup menjawab antitesa para penstudi politik, kalau tahun politik ini tidak lain dari pada tahun yang menunjukan, jaringan korupsi politik telah terbuka secara telanjang hingga terang benderang meninggalkan luka, terutama untuk partai politik itu sendiri.
Pasti tidak ada yang memungkiri dua partai yang paling banyak disorot hingga sekarang adalah Partai Demokrat (PD) dan PKS. Dua partai yang lahir pasca reformasi itu dengan slogan anti korupsi, katakan tidak pada korupsi; bersih, professional dan peduli pada akhirnya ditikam sendiri oleh kata-katanya.
Tidak tanggung-tanggung kasus korupsi yang melibatkan dua parpol tersebut tergolong mega korupsi yang tidak ada habisnya menjadi bulan-bulanan media. Partai Demokrat disandera oleh kasus mega korupsi wisma atlet Hambalang, sementara tidak jauh berbeda dengan kawan koalisinya yaitu PKS turut pula meringkus dan membenarkan istilah “politik dagang sapi”, benar-benar terminologi sapi dijadikan objek korupsi, dengan melakukan politik berdagang pengaruh agar terjadi penambahan kuota impor daging sapi oleh kementerian pertanian.
Oleh karena itu, menarik kiranya membandingkan antara PD dan PKS untuk menjadi bahan kajian tersendiri dalam menata kembali dirinya agar kembali dipercaya oleh publik. Tugas ini memang berat, namun tidak ada yang gampang dalam politik, karena memang politik itu sebuah persepsi yang harus dibangun secara perlahan.
Partai Demokrat
Konvensi Capres PD yang telah mengorbitkan sebelas nama-nama capresnya rupanya belum mampu meredam badai korupsi yang melibatkan beberapa eks kader PD yang terlibat dalam skandal mega korupsi wisma atlet Hambalang. Memang, SBY sebagai ketua umum PD selalu berdalih, semua kader dan anggota partainya yang terlibat korupsi diserahkan kepada hukum yang berlaku, dengan membiarkan KPK bekerja secara mandiri dan taat asas. Tapi jangan lupa, mulut Nazaruddin tidak ada yang bisa membungkamnya, hingga kader yang belum tersentuh oleh KPK sering-sering disebut juga turut menerima penggelembungan dana Hambalang.
Kondisi ini semakin tambah runyam dan menjadi pelik karena PD tidak hanya mendapat serangan internal partai. Pasca Anas Urbaningrum dicokok oleh komisi anti rasuah KPK juga harus mendapat serangan sistematis dari luar partai. Ada banyak kader PD yang memilih keluar bergabung dengan Anas kemudian menghantam PD, hingga menghantam pula keluarga Cikeas seperti Ady Baskoro anak SBY, yang tentunya akan mempengaruhi PD menjadi bulan-bulanan media. Tidak ada waktu untuk berbenah dan bersih-bersih dari laku korupsi yang terus menghantam jantung partai biru berlambang mercy itu.
Ada secerca luka yang mau tidak mau juga harus diterima oleh PD, adalah belum diprosesnya kasus Anas hingga sekarang, bahkan oleh KPK Anas masih dibiarkan membentuk Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) yang terus menerus membuka lembaran bukunya, tidak dapat dipungkiri akan melukai PD.
Suatu waktu di tahun pemilu cobaan yang akan dihadapi oleh PD, kelak ketika kasus Anas disorot dan KPK mulai fokus atas kasus tersebut. PD akan menghadapi lagi bulan-bulanan media, sehingga luka tahun politik sebagai luka korupsi PD tidak akan pernah lekas sembuh dari memori kolektif publik.
PKS dan LHI
Tidak jauh berbeda dengan PKS, pasca vonis LHI oleh hakim pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) kemarin selama 16 tahun dan denda Rp 1 milyar. Justru akan membuat konstituen PKS baik yang berada di dalam maupun di luar partai akan melemah kepercayaannya. Ada sekelompok kader yang kemarin kembali menguat, pasca tertangkapnya LHI oleh KPK, ketika presiden terpilih PKS Anis Matta mengumandangkan penangkapan LHI sebagai konspirasi besar ala zionis. Dan setelah vonis LHI dibacakan kemarin oleh hakim Pengadilan Tipikor, itu adalah putusan pengadilan diyakini oleh publik dapat membantah persepsi yang pernah dibangun oleh para elit politik PKS.
Masih segar dingatan publik, elit PKS pernah berhadap-hadapan dengan KPK, ketika KPK melakukan penyitaan terhadap dugaan harta korupsi LHI waktu itu. Praktis ketika KPK berhasil membuktikan dugaannya di persidangan hingga termuat dalam sebuah putusan pengadilan. Publik jelas mengetahui saat ini, siapa sebenarnya yang berbohong, KPK atau PKS?
Serangan para elit dan fungsionaris PKS yang turut membanding-bandingkan vonis LHI dengan beberapa kasus-kasus korupsi lainnya, diantaranya Angelina Sondakh, Nazaruddin, Djoko Susilo, Gayus Tambunan. Patut dicermati oleh elit PKS, bahwa bangunan persepsi demikian akan semakin menggerus kepercayaan publik terhadap PKS sebagai partai yang bersih. Bahkan menghakimi pengadilan akan semakin menambah frekuensi ketidak percayaan publik terhadap partai bulan sabit itu.
Serupa dengan Anas, LHI-pun akan menjadi luka yang akan terbawa-bawa ke tahun pemilu. Jika PKS terus menerus, berlanjut membela LHI hingga di tahun 2014 nanti. Konon semua elit PKS saat ini semua pada sepakat dan mendukung LHI untuk mengajukan upaya hukum banding. Patut diingat ketidakikhlasan menerima putusan tersebut hingga membawanya ke jenjang pengadilan berikutnya, PKS akan terus dihujani “luka korupsi” seiring makin dekatnya pemilu 9 April 2014 mendatang.
Sebaiknya Apa?
Dibalik kasus korupsi yang menimpa dua partai di atas, tidak ada pilihan lain di tahun pemilu nantinya agar sebaiknya meninggalkan semua mantan kadernya yang sudah terlanjur dicokok oleh KPK
Biarkan KPK sendiri yang berjuang habis-habisan bekerja berdasarkan kewenangannya, untuk menuntaskan kasus korupsi itu. Persoalan korupsi kader adalah masalah individu, yang tidak ada lagi sangkut pautnya dengan partai. Sembari berharap kedua partai itu, menggerakan roda mesin partainya, melalui kader yang sudah terdaftar dalam DCT (Daftar Calon Tetap) sebagai peserta pemilu, agar bekerja lebih aktif mentransformasikan ideologi partai, visi dan misinya, hingga program kerja konkretnya ke tingkat elektoral. Hanya cara demikian yang perlu dilakukan oleh dua partai yang pernah meneriakan slogan anti korupsi ini, kalau memang masih berharap namanya hendak hadir di Senayan. (*)