Menakar Produk Politik Cagub Sul-Sel
Hari kian berganti, dan tahunpun tidak akan terasa lama lagi memasuki Tahun baru 2013. Tahun 2013 merupakan tahun istimewa buat kita semua, terutama warga Sulawesi Selatan. Bagaimana tidak, 22 Januari 2013 nanti kita semua akan melakoni pemilihan umum Gubernur untuk menentukan nasib Sul-sel ke depannya. Nasib provinsi yang beribu kota Makassar “angin mammiri” itu. Akan ditentukan di tangan-tangan pemilih warganya. Yakni pemilih yang lihai melihat kandidat dapat mengeluarkan kita dari sejuta lilitan persoalan dan PR yang belum terselesaikan. Seperti: jeratan kemiskinan, kebodohan, bahkan ancaman kematian.
Bagai gayung hendak bersambut, Pemilihan Gubernur yang tinggal menghitung bulan saja. Praktis kandidat, para Juru Kampanye dan tim pemenangan harus lebih keras memacu “adrenalin” mereka. Untuk merebut hati dan simpati pemilih. Jika dulunya hanya menjambangi basis daerah yang nyata-nyata massa pendukungnya. Maka kali ini mungkin saja setiap kandidat akan merecoki basis massa lawan politiknya.
Sebuah keniscayaan dalam politik. Bahwa meraih kekuasaan tidak segampang membalikkan telapak tangan. Tidak seperti sihir ala sin salabim, langsung jadi, maka jadilah juga pada saat itu. Ibarat perikatan “jual-beli” maka untuk mendapatkan kursi kekuasaan milik rakyat dia harus membeli kursi tersebut.
Nah pertanyaannya, karena politik itu abu-abu, abstrak, sulit ditebak kemauannya. Maka dengan godaan apa rakyat dapat “dibujuk rayu” untuk menukar kursi kekuasaan itu dengan suaranya ? Jelas jawabannya sang calon pendamba kekuasaan juga harus punya produk yang dapat membarter suara sang pemilik kursi kekuasaan itu (baca: Pemilih).
Politik memang bukan ekonomi. Tetapi antara politik dan ekonomi berjalan searah, bahkan beriringan mencari keuntungan. Bedanya dalam politik, keuntungan yang hendak digapai adalah merebut kekuasaan. Dalam ilmu ekonomi selalu kita mendengar pameo “bahwa ada barang ada uang”. Maka dalam dunia politik pun tidak salah kiranya jika kita mengatakan “ada barang ada suara di TPS.” Permasalahannya sekarang, barang atau produk apa yang ditawarkan oleh setiap kandidat politik (baca: Cagub Sul-sel) kita saat ini, sehingga pantas dibayar dengan mencoblos namanya di TPS kelak ?
Setidaknya kita sudah sering, bahkan berkali-kali mendengar ketiga pasangan Cagub Sul-sel: IA, SAYANG, ,GARUDA-NA memaparkan visi dan misinya. Namun di kalangan awam yang melek politik, mereka sering berujar: kita tidak butuh janji tapi butuh bukti. Kalau begitu, karena butuh bukti maka mari lihat kinerjanya selama menjadi pemimpin.
Antitesa tersebut pantas disematkan terhadap ketiga calon yang bakal memimpin Sul-Sel ke depan. Ketiga-tiganya adalah kandidat yang saat ini masing-masing masih menjabat sebagai kepala daerah. Pasangan nomor urut pertama misalnya, IA: Ilham Arief Sirajuddin alias Aco adalah Walikota Makassar, dan berpasangan dengan Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar yang saat ini menjabat anggota DPD perwakilan Sul-Sel. Pasangan nomor urut dua:. SAYANG: Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu’mang adalah Gubernur dan Wagub Sul-sel. Pasangan nomor urut tiga GARUDA-NA: siapa yang tidak tahu Andi Rudiyanto Asapa sebagai Bupati Sinjai, dan Andi Nawir Pasinring juga dikenal pernah menjabat (baca: mantan) sebagai Bupati Pinrang. Meski terkesan pencalonan ketiga kandidat mentasbihkan “oligarki” kekuasaan. Tetapi regulasi kita yang memang membuka liberalisasi politik demikian. Mau tidak mau kita harus pasrah menerimanya.
Kesehatan dan Pendidikan Gratis Siapa Punya ?
Sebenarnya, bukanlah perkara yang susah amat. Menelanjangi rekam jejak ketiga kandidat Cagub kita. Ketika menjual isu produk politik ala kesehatan dan pendidikan gratis. Karena program tersebut bukan lagi isu baru dan barang yang langkah. Ketiga kandidat tersebut sudah pernah melakoninya. Toh, pada mereka sudah dirasakan kinerjanya oleh sebahagian rakyat/ warga yang pernah dipimpinnya.
. Namun yang janggal adalah “produk” politik program kesehatan dan pendidikan gratis itu. Sama-sama diklaim oleh ketiga kandidat tersebut. Pastinya memunculkan masalah baru bagi calon-calon pemilih. Karena produknya sama, lantas apa bedanya produk tersebut. Jangan-jangan jika ketiga kandidat tersebut selalu mengukur kinerjanya dengan keberhasilan pelayanan pendidikan dan kesehatan gratis. Justru akan menggiring pemilih. Nantinya dalam sikap “anomie” politik. Dan berakhir pada sikap pemilih. Yang memilih Golput.
Fenomena pengklaiman keberhasilan produk politik itu dapat diamati. Pertama pada Kandidat nomor urut tiga Rudiyanto Asapa yang mengklaim lebih awal melaksanakan program pendidikan gratis dan kesehatan gratis dari pada Programnya SAYANG. Bahkan katanya Pak Gubernur mencontek program pendidikan dan kesehatan gratis yang sudah lama di laksanakannya di kabupaten Sinjai. Tidak sampai disitu beliau pernah juga menolak. Untuk menjalankan program pendidikan dan kesehatan gratis dari Gubernur. Karena dinilai tumpang tindih dengan program Jamkesda yang telah ada di Sinjai sejak tahun 2004 lalu. Dari segi program pendidikan gratis Rudyanto juga tak mau kalah. Politisi yang sering berpindah partai ini. Berkali-kali menegaskan di Kab. Sinjai. Mulai dari pembayaran tingkat SD sampai dengan SMA, semuanya bebas pembayaran SPP.
Sang Gubernur Syahrulpun bergeming akibat pengklaiman tersebut. Seorang Juru kampanye dan simpatisan SAYANG. Dalam kondisi seperti itu jelas akan membantah pengklaiman Rudiyanto tersebut. Bahwa percontohan program pendidikan dan kesehatan gratis Rudiyanto hanya dalam skala kecil, skala lokal saja. Amat jauh berbeda, dengan kinerja Syahrul yang menunaikan janji politiknya. Untuk semua Kabupaten dan Kota di Provinsi Sul-Sel. Bahkan rumah sakit SAYANG menjadi ajang pembuktian keberhasilannya. Yang melayani pengobatan murah untuk semua warga Sul-sel. Mungkin hanya dari segi pendidikan bagi SAYANG kita dapat mengatakan tidak berhasil amat. Dan tidak dapat membantah kalau memang dirinya. Dari segi program pembebasan pembayaran SPP untuk semua tingkatan pendidikan formal digratiskan. Bukanlah perkara muda.
Sementara tanggapan IAS dari pengklaiman sepihak Gubernur SAYANG. Justru IAS menilai program pendidikan yang dijalankan saat ini oleh Gubernur belum tepat. Karena tidak ada perbedaan antara yang kaya dan miskin. Kok semua mendapat pelayanan pendidikan gratis, katanya. Mestinya, ada yang membedakan antara yang kaya dan yang miskin. Biar yang miskin saja benar-benar harus mendapat perhatian. Untuk program kesehatan gratis yang dikatakan adalah program murni Syahrul. Kata IAS, bukan semata keberhasilan Gubernur. Karena nyatanya angaran kesehatan gratis lebih banyak di bebankan pada Kabupaten dan Kota (yaitu: 60 % dibebankan ke kabupaten/ kota dan hanya 40 % ditanggung oleh Pem-Prov).
Produk alias program kesehatan dan pendidikan gratis kini siapa sebenarnya yang punya ? Saya kira jawabannya, hanya Warga Sul-Sel yang pantas menilai, siapa yang punya ?. Jika ternyata Ia dianggap berbohong dengan “kualitas” produknya. Maka pemilih cerdas akan menghukum mereka untuk tidak lagi membeli produknya alias tidak memilihnya di hari H nanti.***