Surat Edaran MA (Tidak) Berimplikasi Hukum
Mahkamah Agung (MA) tidak tinggal diam atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dianggap mengebiri kewenangannya, ketika MK menegaskan bahwa MA dapat mengadili pengajuan PK atas perkara pidana lebih dari satu kali. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 seolah “dibungkam” oleh MA sendiri, melalui SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) No. 7 Tahun 2014. SEMA No. 7 Tahun 2014, pada intinya menyatakan kalau putusan MK yang membuka PK (Peninjauan Kembali) lebih dari satu kali tidak mengikat bagi MA. Dasar sekaligus argumentasi hukum yang melandasi MA, adalah masih tersedia UU (Undang-Undang) Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung membatasi baginya, untuk menerima pengajuan PK hanya sekali saja.
Memang benar adanya Putusan MK merupakan putusan yang final dan mengikat, bahkan lebih dari itu putusan MK dengan segala kedigadayaan, konstitusional putusannya berlaku secara general, tidak hanya mengikat sepihak (interpares), namun berlaku umum berdasarkan prinsip erga omnes. Hal ini tentu akan berbeda, jika diteliti dan dicermati lebih lanjut SEMA yang diterbitkan oleh MA, SEMA hanya mengikat secara internal kelembagaan agar ditaati dan dipatuhi hingga jajarannya ke bawah (Pengadilan Negeri).
Dalam perspektif hukum adminitrasi negara, sesungguhnya SEMA hanyalah legislasi semu (pseudo wetgeving), tetapi pada kenyataannya peraturan tersebut dirasakan mengikat secara umum, sebab masyarakat yang terkena peraturan (SEMA) itu harus mengikutinya. Oleh karena itu, berdasarkan polemik berkembang atas SEMA dari berbagai pengamat dan para penstudi hukum saat ini, tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan kekacauan sistem peradilan nantinya. Maka penting untuk ditelaah implikasi hukum yang ditimbulkan oleh SEMA tersebut.

Sumber Gambar: inilah.com
Implikasi Hukum
Benarkah SEMA No. 7 Tahun 2014 dapat berimplikasi terhadap batalnya putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013, sehingga pada akhirnya PK atas perkara pidana dibatasi hanya sekali dalam Pasal 268 ayat 3 KUHAP (sebelumnya) dapat menjadi hidup kembali? Jawabannya tidak mungkin. Sebab jika ini yang terjadi justru sistem perundang-undangan dan segala asas hukum akan menjadi kacau-balau. Dapat dibayangkan misalnya MK yang sudah “mati-matian” melakukan pembacaan moral (moral reading) terhadap landasan konstitusinal suatu ketentuan, tetapi ternyata putusannya sebagai “sistem aturan” yang tertinggi, pada akhirnya disimpangi.
Pada hakikatnya SEMA No. 7 Tahun 2014 sama sekali tidak memiliki implikasi hukum sehingga harus mengikat, hal ini dengan bersandar pada empat alasan.
Pertama, dalam ruang lingkup hukum administrasi negara, penting untuk diketahui filosofi penerbitan SEMA, dapat saja hadir jika memang sama sekali tak ada kewenangan atributif yang diberikan terhadap lembaga tersebut untuk melaksanakan undang-undang, terutama dalam menjalankan tugas-tugasnya secara konkret. Sedangkan apa yang terjadi saat ini dengan SEMA, tidaklah lahir oleh karena terjadinya kekosongan hukum yang mengatur masalah hukum tentang upaya PK dalam perkara pidana. Telah terang-benderang ditegaskan bahwa PK diatur dalam Pasal 268 KUHAP, yang telah ditafsirkan oleh MK; “PK dapat diajukan lebih dari satu kali.”
Kedua, bagaimanapun putusan MK sudah pasti mengikat umum dengan sifatnya yang final and binding berdasarkan pada Pasal 24 C ayat 1 UUD NRI 1945. Dan pada prinsinya juga dengan berlaku erga omnes principle untuk diikuti dan ditaati oleh siapa-pun, termasuk MA sendiri. Sehingga justru yang terjadi saat MA mengeluarkan SEMA, terdapat indikasi “ketidaktaatan” terhadap kekuatan mengikat dan erga omnes putusan MK tersebut.
Keempat, metode penafsiran MA terhadap Pasal 268 ayat 3 KUHAP yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan SEMA No. 7 Tahun 2014, dengan menggunakan Pasal 24 UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 UU MA, pada dasarnya model penalaran demikian tidaklah mengikuti “postulat” hukum sebagai satu kesatuan perundang-undangan yang hierarkis.
MA di sini telah melanggar asas hukum yang sudah diterima berdasarkan konsensus sejawat para ahli hukum, “lex specialist derogate legi generale—–ketentuan khusus lebih diutamakan dari pada ketentuan umum.” Sebab klausula peninjauan kembali hanya dapat diajukan sekali dalam UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA, ketentuan tersebut merupakan ketentuan umum (lex generale), yang dapat diberlakukan untuk semua jenis perkara: baik pidana, perdata, Tata Usah Negara, dst. Baik UU Kekuasaan Kehakiman maupun UU MA yang tegas menyatakan PK hanya berlaku sekali telah dikhususkan (specialist) untuk perkara pidana melalui klausula yang terdapat dalam Pasal 268 ayat 3 KUHAP. Dan bunyi Pasal 268 KUHAP tersebut adalah seperti yang pernah “diperbaiki” melalui putusan MK. Dengan demikian, memang seharusnya MA tunduk pada putusan MK tersebut.
Perlu Ditindaklanjuti
Mencermati kekhawatiran oleh berbagai kalangan atas putusan MK yang “dituding” dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, lalu pun dengan ruang yang terbuka lebar PK memungkinkan tidak ada batas pengajuannya. Kiranya kecurigaan tersebut tidak boleh dibiarkan begitu saja.
Hukum sebagai instrumen pemecahan masalah, tidak pernah bermain di ruang hampa, PK lebih dari satu kali merupakan conditional constitution yang tidak boleh berlaku dengan serta merta. MA dapat memperketat alasan pengajuan PK yang ditentukan dalam KUHAP.
Dalam hal pengetatan pengajuan PK, di sinilah MA dibenarkan dan pantas untuk mengeluarkan SEMA, sebab memang perlu pengkonkretan dan limitasi atas syarat-syarat PK yang dibenarkan.
Dapat pula diambil langkah berikutnya, walaupun pekerjaannya membutuhkan waktu yang relatif panjang. Ketentuan mengenai PK ini, perlu diakomodasi dalam revisi KUHAP di masa mendatang, antara lain mengenai persyaratan dan pembatasan pengajuannya. Semua itu penting dilakukan agar tercipta kesimbangan hukum diantara keadilan dan kepastian. *