DPR “Sandera Anggaran” KPK

DPR memang tidak hentinya mengobrak-abrik lembaga antikorupsi (KPK). Mulai dari isu pembubaran KPK karena dianggap tidak efektif. Hingga mengubah Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi “Komisi Pencegahan Korupsi” . Suatu upaya “mengompongkan” harimau yang siap menerkam.

Setelah tidak mampu menjinakkan KPK. Kini, DPR akhirnya mengeluarkan senjata pamungkasnya. Melalui fungsi anggaran, DPR mencoba “menyandera” KPK. Hal yang wajar anggota DPR sering menjadi bulan-bulanan KPK.

KPK jilid III memang gencar mengusut kasus-kasus yang melibatkan politisi di Senayan. Di bawah pimpinan Abraham Samad, lembaga ini berhasil mengendus penyalahgunaan anggaran yang mengakibatkan kerugian negara. Baik kasus Wisma Atlet, Hambalang sampai  kasus mafia anggaran. Belum lagi rekening mencurigakan anggota DPR temuan PPATK yang sudah berada ditangan KPK.

Meski Anggota DPR membantah penyanderaan tersebut. Tetapi, publik sudah melihat adanya upaya tersebut. Sejarah mencatat permohonan gedung baru KPK sudah berlangsung pada tahun 2008. Tetapi tetap saja anggota DPR tidak “menggolkan” usulan tersebut. Sampai pada tahun 2012 usulan ini tetap saja disematkan tanda “bintang”. Berbeda halnya dengan lembaga penegak hukum lainnya seperti kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Sehingga tidaklah salah bila DPR dianggap telah melakukan diskriminasi soal anggaran.

Selain dari terkatung-katungnya anggaran gedung KPK. DPR juga berdalih kalau KPK tidaklah terlalu membutuhkan gedung baru. Padahal bila melihat kapasitas gedung dengan jumlah personil KPK, harusnya gedung baru tersebut segera terealisasi. Gedung KPK saat ini sudah berumur kurang lebih 30 tahun. Jumlah personil KPK juga berjumlah 700 orang sedang daya tambung gedung hanya 300 orang. Belum lagi disetujuinya tambahan personil baru KPK oleh Pemerintah. Sehingga gedung baru KPK menjadi sebuah harga mati.

Jumlah personil KPK dan dukungan gedung baru harusnya tidak dipersoalkan. Sedikit perbandingan di negara lain, lembaga antikorupsi seperti Independent Commission Against Corruption (Hongkong) dan Badan Pencegah Rasuah (Malaysia) jumlah personilnya mencapai ribuan orang. Selain dari jumlah personil yang besar juga sangat didukung dengan sarana (gedung) yang memadai. Hal tersebut karena komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi sangatlah besar. Sehingga baik Hongkong maupun Malaysia menjadi negara yang cukup berhasil menekan praktik korupsi. Sangat berbanding terbalik dengan kondisi di Indonesia.

Dilema KPK

Indonesia sebagai “surga bagi koruptor” harusnya bisa berkaca dengan negara-negara lain. Jumlah praktik korupsi yang sudah menjangkiti negeri ini sudah tumbuh subur. Praktik menggarong uang negara terjadi di pusat sampai ke pelosok desa. Hingga menempatkan Indonesia sebagai negara gagal. Berdasarkan hasil survey lembaga Internasional yang menggunakan praktik korupsi sebagai salah satu variabel dalam mengukur berhasil tidaknya  suatu negara.

Di sisi lain, KPK juga harus diperhadapkan kepada tingginya harapan dan tuntutan seluruh rakyat Indonesia dalam memberantas korup;si. KPK telah mendapatkan kepercayaan besar sebagai lembaga yang tetap komitmen dalam pemberantasan korupsi. Berbeda halnya dengan lembaga-lembaga penegak hukum konvensional lainnya.

Ironis memang, bila lembaga KPK yang menjadi tumpuan harapan rakyat Indonesia justru diganjal para wakil rakyat. DPR yang harusnya mewakili aspirasi rakyat justru berbalik arah. Menyerang dan cenderung mempersulit KPK. Hal inilah yang terlihat dari upaya mempermainkan anggaran gedung KPK.

“Sawer” gedung KPK           

Lain lubuk lain ikannya. Pepatah ini bila diplesetkan manjadi lain gedung KPK lain pula gedung DPR. Bila usulan gedung baru DPR ditolak masyarakat. Justru usulan pembagunan gedung baru KPK didukung rakyat Indonesia, meski usulan anggaran gedung KPK dicekal DPR. Dukungan tersebut dapat dilihat dari antusias masyarakat menggalang dana (sawer) untuk pembangunan gedung baru KPK. Saweran uang gedung KPK bukan hanya mengalir dari LSM penggiat antikorupsi tetapi juga dari perkumpulan pedagang kaki lima. Suatu pemandangan yang mengundang tanda tanya besar. Ada apa dengan KPK? Mengapa KPK lebih “disayangi” dibanding para wakil-wakil rakyat di Senayan?

Jawaban dari pertanyaan ini tentunya sangatlah mudah. KPK jilid III yang masih seumur jagung telah mampu meraih simpatik rakyat Indonesia. Lembaga ini cukup berhasil dalam pengusutan kasus-kasus korupsi yang telah lama melilit bangsa ini. Kasus-kasus korupsi yang tergolong sangat rumit (political corruption). KPK juga telah memperlihatkan lompatan kinerja dengan memprioritaskan pengungkapan korupsi kelas kakap. Meski sarana dan prasana yang dimilikinya masih sangat minim. Tetapi pencapaiannya telah memperlihatkan hasil yang baik.

Tentunya bila DPR merupakan wakil rakyat. Maka mereka (DPR) haruslah sehati dengan rakyat yang diwakilinya. Rakyat yang selalu memberikan dukungan terhadap lembaga pemberantasan korupsi. Jangan sampai hanya persoalan anggaran gedung baru KPK, anggota DPR tidak dipercaya lagi untuk pemilu berikutnya.***Salam Antikorupsi

 

Jupri, S.H

Lahir di Jeneponto (Sulsel) dari keluarga sederhana. sementara aktif mengajar di Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo. selain memberi kuliah untuk mahasiswa fakultas hukum juga aktif menulis di www.negarahukum.com dan koran lokal seperti Fajar Pos (Makassar, Sulsel), Gorontalo Post dan Manado Post..Motto Manusia bisa mati, tetapi pemikiran akan selalu hidup..

You may also like...