Parpol Korupsi (Dapat) Dibubarkan

Kasus yang menohok Partai Demokrat hingga menjungkirbalikan Anas Urbaningrum  dari kasta tertinggi singgasana kekuasaannya, pasca ditetapkan sebagai tersangka dan kini telah ditahan oleh KPK, tidak bisa dikatakan kasus demikian “berdiri sendiri”,  murni dimonopoli oleh Demokrat. Ada pula partai-partai lainnya yang memiliki “jatah kekuasaan” juga melakukan praktik sedemikian rupa. Taruhlah misalnya Golkar yang tercoreng dengan korupsi pengadaan Al-qur’an, dan PKS yang dihantam korupsi pengadaan impor daging sapi.

Apa yang menimpa partai politik saat ini, menunjukan betapa partai politik berada dalam jebakan sistem yang dibentuknya sendiri.  Ketika anggaran yang dikelola oleh partai politik sedemikian bobroknya.

Celakanya, regulasi yang diciptakanpun  tidak  sempurna menghindari terjadinya korupsi politik. Hal inilah, menyebabkan meskipun pengurus sejatinya dapat dijerat dengan tindak pidana korupsi, tetapi untuk partai politiknya mustahil terlaksana.

Korupsi Politik

Sebagaimana Klitgard mengemukakan bahwa rumus korupsi itu sederhana; monopoli kekuasaan (monopoly of power) plus diskresi pejabat (discretion of official) minus acuntability.

Karikatur-Politik-Transaksional

Image: jusman-dalle.blogspot.com

Rumus tersebut, ternyata terjadi pada partai politik. Memang ada kesengajaan partai politik diberikan corong menempati jabatan kenegaraan baik dibidang legislatif maupun eksekutif, melalui kader-kadernya yang sudah terpilih, kemudian diberi kewenangan untuk mengelola anggaran Negara. Pada titik ini, bukan rahasia lagi, kader yang berada disentrum kenegaraan dijadikan penyuplai terbesar anggaran partai, yang dikemas sebagai sumbangan kader.

Parahnya, UU Partai Politik yang sudah mengalami revisi berkali-kali terkait dengan pengaturan pendanaan. Khususnya pemasukan dana  partai, minus transparansi. Apalagi kalau kita mau berbicara tentang pengeluaran/ pembiayaan partai memang sama sekali tidak ada regulasi dan ketentuan pasal yang mengikatnya. Sehingga balada korupsi yang terjadi pada kader yang sekaligus melibatkan Parpol, merupakan “warisan klasik”, yang sudah terlanjur menghukum Parpol itu sendiri. Dan bukanlah hal mengagetkan, hingga saat ini walau pemilu kiat dekat waktunya, satu persatu kader partai menjadi pesakitan KPK.

Pembubaran Partai

Tidak berhenti disitu, Undang-undang yang diharapkan untuk memberi “efek jera” terhadap laku korupsi politik,  terbangun kesan formulasi kebijakan UU, kalau Parpol dilepaskan dari jerat hukum.

Mari kita cermati misalnya Pasal 40 ayat 3 UU Parpol, bahwa partai politik dilarang menerima sumbangan dari pihak tertentu, baik dari pihak asing, orang, maupun badan usaha yang tidak jelas asal-usulnya. Parpol juga dilarang menerima sumbangan melebihi batas  atas sumbangan dari BUMN/ BUMD dan fraksi di parlemen. Namun melalui UU Parpol, justru yang bisa dijerat melalui sanksi pidana hanyalah individu atau pengurus partai politik, sedangkan partai politik sebagai badan/ institusi tidak dapat dijerat pidana. Ketidaksinkronan ini nampak sekali “terang benderang” jika ditelisik melalui UU TPPU dan UU Tipikor. Kedua UU tersebut, badan hukum seperti partai politik dapat dijatuhi pidana, bahkan sanksi pembubaran.

Dua fenomena di atas, yang menyeret partai, mulai dari pengelolaan anggaran hingga tidak ada jerat korupsi politik untuk institusi Parpol itu sendiri, merupakan masalah yang saling berkelindan. Praktis, berharap untuk menghilangkan balada korupsi politik hanya akan menjadi sia-sia.

Kalau begitu, masihkah kira-kira dimungkinkan Parpol dapat dibubarkan melalui jalur lain seperti melalui peradilan konstitusi? Lagi-lagi  penghukuman  institusi Parpol dari laku korupsi politik, ternyata melalui jalur peradilan tidak memungkinkan. Oleh karena yang dapat diajukan sebagai alasan atau dalil untuk membubarkan Parpol hanya dapat dilakukan kalau partai politik melakukan kejahatan terhadap keselamatan dan keutuhan negara serta menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme. Untuk perkara korupsi yang melibatkan institusi partai bukan menjadi syarat, kalau parpol sedianya dapat dibubarkan.

Kemudian, berharap kepada publik, seperti LSM yang mewakili atas nama rakyat dapat menggugat pembubaran partai di MK, peluang itu sudah tertutup rapat. Hanyalah pemerintah sebagaimana yang digariskan dalam Pasal 68 Ayat 1 (UU No 24/ 2003 tentang MK) dapat mengajukan pembubaran terhadap partai politik.

Nampaknya, ada situasi yang diciptakan sedemikian rupa, memisahkan antara partai politik dengan rakyat. Sebuah kondisi yang seolah-olah mengeliminisi keterlibatan rakyat dari elemen demokrasi. Bahwa rakyat dapat mengevaluasi layak tidaknya Parpol sebagai wasit demokrasi, dalam rangka menentukan nasib daulat rakyat itu sendiri sudah diamputasi oleh UU MK.

Oleh sebab itu, di tengah “balada” korupsi politik yang kian hari mengaburkan kepercayaan rakyat, karena telah menggerogoti uang Negara. Perlu diciptakan regulasi, agar Parpol yang ikut dalam kandidasi demokrasi adalah partai-partai “sehat” yang memperjuangkan hajat hidup rakyat.

 Saaatnya, Parpol harus dituntut menciptakan pembiayaan partai yang terbuka, yang dapat  diatur melalui UU khusus seperti sistem pendanaan Parpol yang transparan dan akuntabel disertai dengan sanksi yang tegas terhadap siapapun yang melanggarnya, termasuk partai politik sebagai institusi dapat dibubarkan jika terbukti menikmati sumber keuangan dari perbuatan korupsi politik. Hingga dengan sendirinya atas pengaturan demikian, berikut UU Tipikor  dan TPPU sudah sejalan dengan sanksi yang bisa diberikan kepada Parpol untuk dibubarkan. Jelas di posisi ini, tidak ada pilihan lain, kecuali UU Partai Politik harus mengakomodasi sanksi yang tegas terhadap Parpol jika turut terlibat menerima aliran dana korupsi.

Di waktu yang sama pula, publik sudah dapat dilibatkan sebagai pihak yang dapat mengajukan gugatan konstitusional. Kalau pada waktunya, ternyata atas putusan pengadilan, Parpol tersebut, terbukti mengelola anggaran dari dana perbuatan korupsi, yaitu dengan revisi UU MK.

Saya kira bukan hal yang keliru jika demikian diberikan kepada rakyat, karena terlibatnya partai politik sebagai wadah demokrasi  adalah hak konstitusional rakyat pula untuk memperbaiki demokrasi yang terlanjur, sudah dirusak oleh  partai politik itu . (*)

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...