Perppu dalam Subordinat Politik
Dalam memotret hal ihwal Perppu Pilkada yang terus menyita perhatian publik hingga sampai sekarang. Ada proses demoralisasi yang panjang dalam spektrum hukum kita, juga ada sekelumit masalah yang mendukung langgengnya demoralisasi tersebut. Penyebabnya, tidak lain kepentingan kuasa politik itu sendiri, yang telah menjadi “pembelenggu” terhadap normalnya tatanan sistem hukum kita.
Antara politik dan hukum memiliki hubungan kausalitas sebagai sub-sytem, atas apa yang dipahami oleh kaum positivisme, bahwa hukum adalah produk politik. Ini sudah menjadi keniscayaan eternal, jika politik dan hukum selalu berjalan berdampingan dan beriringan. Namun dibalik perpaduan hukum dan politik, juga ibarat saudara kembar, yang hidupnya tidak pernah akur dan jarang sekali bertegur sapa, ketika masing-masing telah menancapkan kuasa atas dirinya.
Hal ini dapat diamati dari kontroversi Perppu No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perppu Pilkada). (Baca Juga: Mempertanyakan Konstitusionalitas Perppu Pilkada)Perppu Pilkada berada dalam dua aras kepentingan untuk mendapatkan legitimitas, yakni antara kepentingan rakyat yang hendak mempertahankan daulat politiknya; dan kepentigan elit politik yang berusaha melanggengkan kekuasaannya. (Baca Juga: Polemik Kekosongan Hukum dalam Pembaralan Perppu Pilkada)
Namun kemudian dua faktor tersebut, sulit dilacak untuk memvalidasi kesahihannya. Pertama, antara Pilkada langsung dan Pilkada tak langsung, atas alibi masing-masing elit politik, bahwa semua sistem ini dianggap demokratis. Kedua, pun elit politik yang memperjuangkan Pikada langsung sehingga Perppu Pilkada harus terterima, pada hakikatnya juga tidak dapat dilepaskan dari episentrum kepentingan untuk meraih simpati publik, sebagai jalan untuk mempermuda dalam “melestarikan” panggung kekuasaannya. Meskipun “oknum” ini dapat dikatakan, trik politiknya masih dalam etika demokrasi yang wajar toleransi.
Politik Subordinasi
Di luar dari konteks dan gejala sosio-politik yang mengawali lahirnya Perppu Pilkada. Adalah sebuah keniscayaan sejarah, telah menandai negeri ini mengalami “kecelakaan konstitusional.” Betapa tidak, Perppu Pilkada yang lahir karena desakan publik semata, ruang konstitusi dan sistematika perundang-undangan, satu-pun tidak dapat ditemukan, kalau ada dasar hukum yang tegas, bahwa penerbitan Perppu dapat mengakhiri keberlakuan Undang-Undang. Termasuk pula, menjadi preseden pertama kalinya, Presiden dapat membatalkan Undang-Undang (Pilkada) tanpa melibatkan DPR sebagaimana yang diamanatkan konstitusi kita.
Tindakan Presiden membatalkan Undang-Undang cenderung menjadi abuse of the power, tetapi tidak dipermasalahkan. Pertanyaannya, kenapa hal itu tidak dipermasalahkan dalam konstitusi normatif UUD NRI 1945? Sudah pasti terjawab, inilah bukti ampuhnya politk subordinasi. Yaitu politik yang mampu “menyatroni” segala kepentingan mayoritas untuk mendapatkan tempat-tempat istimewanya, kendatipun telah “melabrak” sakralnya tatanan konstitusi.
Bukti otentik Perppu Pilkada telah berada dalam jerat subordinat politik, nampak melalui dimensi kekuasaan satu partai, dengan memaksakan kemauannya yang tidak terakomodasi di parlemen. Akhirnya terjawab tuntas dalam pembatalan UU Pilkada melalui “penyortiran” beberapa ketentuannya di Perppu Pilkada.
Pada dasarnya Perppu Pilkada sejak lahir sudah menjadi cacat, tetapi oleh kemudian demi menjaga stabilitas kenegaraan, demi alasan kepastian hukum semata. Maka dalam kacamata hukum-pun “terpaksa” mengamini sahinya Perppu Pilkada, agar berlaku pada saat diterbitkan oleh Presiden. (Baca Juga: Implikasi Hukum Pembatalan Perppu Pilkada)
Dimensi hukum dalam in abstracto memberinya pengakuan postulat “presumptio iusta causa”. Sepanjang tidak ada pembatalan terhadap Perppu tersebut, maka harus tetap dinyatakan sah. Di sinilah politik mendapatkan kedigdayaan dan keistimewaan dibandingkan dengan hukum konsensual yang telah dinormatifkan. Lagi-lagi politik telah menjadi alat subordinasi atas hukum. Di aras politik Perppu Pilkada telah jatuh harga dirinya dalam segmen konstitusi yang seharusnya menjadi pelindung untuknya. Perppu Pilkada sejatinya telah menggugurkan, menjungkirbalikan,bahkan merobohkan tesis Immanuel Kant kalau “segala politik harus bertekuk lutut di bawah hukum.”
Pertama dan Terakhir
Selanjutnya nasib Perppu Pilkada yang terkesan dipaksakan, agar diterima dalam uji objektivitas (legislatieve review) DPR pada rapat paripurna Januari 2015 nanti. Makin menguatkan hukum tak ada apa-apanya di hadapan politik. Hak-hak konstitusional setiap anggota DPR untuk menilai Perppu Pilkada, secara objektif dalam limitasi hukum ketatanegaraan. Jangan harap hal itu akan terjadi di paripurna pembahasan Perppu nanti. (Baca Juga: Demokrat Dukun{g} Perppu Pilkada)
Setiap anggota DPR sudah “distir” alam pemikiran ketatanegaraan mereka oleh “sopir taksi” politik. Suara dan kehendak Ketua Umum partai jauh lebih kuat dari pada hak konstitusional DPR yang telah dititahkan kepadanya. DPR yang telah dipilih oleh rakyat bukan lagi bertindak atas hukum, sebab mereka telah dibelenggu oleh politik yang lebih menjanjikan kelanggengan jabatan, daripada hukum konstitusi yang dianggap sebagai onderdil kekuasaan saja.
Sejak awalnya, memang Perppu Pilkada sengaja dilahirkan sebagai produk politik bargaining position di DPR. Perppu pilkada dijadikan “alat barter politik” untuk medapatkan kekuasaan istimewa DPR, berupa pimpinan dan segala alat kelengkapannya. Bukan semata-mata lahir karena alasan kegentingan hukum yang memaksa. Kalaupun sentimen mayoritas publik dijadikan dasar melegitimasi pembatalan UU Pilkada melalui Perppu. Toh lahirnya UU Pilkada yang dianggap merampas daulat rakyat, hak konstitusional rakyat masih dapat diperjuangkan di arena Mahkamah Konstitusi.
Biarlah Perppu Pilkada kelak diterima oleh DPR. Walaupun Perppu tersebut secara konstitusional nyata-nyata cacat formil. Lalu DPR mengabaikannya, demi aspirasi rakyat yang konon katanya sedang diperjuangkan. Kita juga sudah jenuh atas tontonan politik yang tidak mendidik itu. Yang pasti, semoga kecelakaan politik Perppu demikian, sebagai yang pertama sekaligus menjadi yang terakhir kalinya melanda negeri ini.*