Secangkir Kopi Mencari Keadilan
Sidangnya sudah berbulan-bulan. Terdakwa juga sudah menjadi bulan-bulanan media. Para ahli dari berbagai disiplin ilmu telah dihadirkan guna membuka “kotak Pandora” perihal siapakah penabur racun anida di dalam seruput kopi es vietnam itu. Ini bukan sidang untuk Wayan Mirna Salihin, bukan juga sidang untuk Jessica Kumala Wongso, tetapi sidang dari secangkir kopi yang sedang mencari keadilan.
Hanyalah dengan mengatakan “secangkir kopi sedang mencari keadilan” maka persidangan yang diketuai oleh hakim Kisworo di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu, mungkin bisa berlangsung secara fair alias tidak memihak. Asas praduga tak bersalah dengan sendirinya pun bisa ditegakkan semaksimal mungkin, jika demikian adanya.

sumber Gambar: i.ytimg.com
Secangkir Kopi
Kopi bukan hanya minuman yang menjadi kawan sejati disaat bersantai, tetapi dengan satu tegukan, dua tegukan, hingga habis semuanya, konon akan memacu adrenalin berpikir dari para penikmatnya. Bedalah kemudian dengan kopi pencari keadilan ini, nasibnya bukan berakhir oleh penikmatnya seorang, tetapi telah menjangkau penikmat ilmu dari berbagai aspek. Ada ilmu kejiwaan, ilmu kedokteran, ilmu forensik, ilmu racun, telematika, dan tak ketinggalan ilmu hukum itu sendiri.
Ketika kopi tak lagi menjadi milik penikmatnya saja, kopi sudah membawa maut, nyatanya keadilan semakin menunjukan gradasi yang semakin sulit tersentuh oleh daya jangkau nalar sehat manusia. Rasio akan kebenaran, apalagi kebenaran materil, kebenaran yang sesungguhnya, kebenaran di atas keragu-raguan, menjadi makin pelik menemukan persesuaian dengan realitas, ketika realitas itu sendiri tertutupi oleh dinding kecurigaan. Ada paper bag di atas meja, hanya itu yang berhasil tertangkap oleh CCTV. Di belakang paper bag, kita tidak tahu apa yang sedang terjadi di sana.
Adakah si Jessica yang kini duduk di kursi pesakitan terdakwa sebagai penabur racun anida di balik paper bag itu? Anda bisa menjawab “iya” tetapi itu hanya terka-terka dari sebuah pengamatan yang sifatnya masih spekulatif. Bisa benar, bisa tidak. Lagi-lagi “hukum” dalam nuansa “keadilan” tak memperkenankan keraguan yang semacam itu.
Belum lagi fakta yang kemudian terkuak di persidangan, bahwa waktu Jessica sedang menggerakan tangan di balik paper bag tersebut, tiada lain ia sedang berkomunikasi via bbm dengan Mirna. Artinya apa? Jessica di waktu itu, bukanlah sedang menaburkan racun ke dalam secangkir es kopi Vietnam, tetapi justru sedang berselancar dalam via bbm bersama dengan Mirna.
Jika kemudian ada yang bertanya, mengapa kasus ini diekspos terus, ditayangkan secara langsung episode per episode oleh salah satu TV swasta? Saya mau menjawabnya, bukan dengan nada sinis, apalagi suudzon dengan media tertentu. Kasus “secangkir kopi mencari keadilan” ini merupakan kasus unik.
Letak keunikannya, yaitu: Pertama, tak ada saksi mata dan tak ada siaran CCTV yang dapat menceritakan kembali kalau Jessica sebagai penabur bubuk racun anida ke dalam kopi itu. Kedua, mungkin ini baru pertama kalinya terjadi di dunia, terdapat secangkir kopi mengandung racun yang dinikmati oleh dua orang, satu meninggal (Mirna), tetapi yang satunya (Hani) malah sehat-sehat saja.
Dua peristiwa keunikan tersebut harus disadari bersama, bahwa di situlah signifikansinya kasus ini menjadi penting untuk diketahui oleh publik. Jeli dan peka mengikuti kasus “secangkir kopi sedang mencari keadilan” anda akan dibawa dalam pusaran, hukum tak boleh sembarangan mempidanakan seseorang.
Hukum pidana memang kejam, tetapi dalam melampiaskan kekejamannya diurungkan terlebih dahulu sebelum ada keyakinan sedalam-dalamnya. Dan keyakinan itu tiada berdiri sendiri tetapi harus didukung oleh dua alat bukti yang mencukupi. Jika tiada keyakinan, dengan kata lain masih tersimpan keragu-raguan, maka lebih baik seorang yang dinyatakan terdakwa tidak bersalah, mutatis-mutandis harus pula ia dibebaskan.
Mencari Keadilan
Sidang “kopi bersianida” belumlah tiba di ujung vonis. Sudah banyak alat bukti yang digelar di meja persidangan, ada keterangan saksi yang diperoleh dari pegawai kafe, markas penjual kopi itu, ada keterangan ahli dari berbagai lintas disiplin ilmu, ada bukti petunjuk berupa “secangkir kopi mengandung racun sianida” dan CCTV yang merekam alur kejadian kematian sang korban, Wayan Mirna Salihin.
Ironisnya, antara satu alat bukti tersebut dengan alat bukti laiinya sepintas lalu dalam rekaman dan analisis memori publik, berat rasanya mendapatkan persesuaian kalau sang terdakwa yang kini duduk “di kursi pesakitan, sebagai pelakunya.
Secangkir kopi tiada mungkin berbicara, apalagi memberikan kesaksian. Sang penabur racun tiada mungkin pula akan mengaku, sebab siapalah penjahat yang mau mengakui aksi bejatnya. Nasib secangkir kopi sedang mencari keadilan kini ada di tangan palu godam “tiga hakim” Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang akan mengakhiri kasus yang penuh simpang siur ini. Jika kepada sang hakim merasa ragu, perihal penabur bubuk racun bersianida itu. Ada baiknya membiarkan “kopi sendiri yang berbicara” di akhirat nanti. Lebih baik membebaskan sepuluh orang bersalah dari pada menghukum satu orang yang tiada bersalah.
Dan jika memang benar Jessica Kumala Wongso sebagai pelaku pembunuhan berencana dengan instrumen kejahatan “racun bersianida” itu, tetapi jutsru dibebaskan oleh vonis hakim pengadilan. Maka Jessica-lah yang akan menanggungnya nanti di hadapan Tuhan. Sebab sang hakim sudah berusaha menegakkan hukum dengan seadil-adilnya.*