Menelaah Dugaan Suap Ketua DPD
Satu lagi buruk citra melengkapi catatan buram parlemen di negeri ini, Irman Gusman (IG) pucuk pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dicokok oleh komisi anti rasuah, KPK.
Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada tanggal 16 September 2016, sekitar pukul 22.15 WIB, KPK mengamankan uang Rp 100 juta. Diduga, uang itu merupakan pemberian dari XSS bersama MMI, dan WS kepada IG terkait pengurusan kuota gula impor yang diberikan oleh Bulog kepada CVSB pada tahun 2016 untuk Provinsi Sumatera Barat.
Tulisan ini bukan bermaksud mengukur kinerja KPK, di tengah ramainya kritik nitizen yang menyayangkan kalau KPK hanya mampu menjaring korupsi kacangan, bernilai Rp. 100 juta saja. Namun penulis akan menitikberatkan pada 2 (dua) poin permasalahan: (1) Apakah pembelaan IG sebagaimana yang diberitakan dari berbagai media, dengan menolak penyuapan tersebut, dirinya tidak termasuk sebagai pelaku tindak pidana korupsi berupa suap?; (2) Apakah KPK berwenang menangani kasus penyuapan terhadap IG, yang nilainya hanya Rp. 100 juta?

Sumber Gambar: merdeka.com
Dugaan Suap
Salah satu pembelaan IG soal penangkapan dirinya sebagaimana ia sampaikan melalui stafnya, Gugun Gumilar, Sabtu (17/9/2016): “…Maka terhadap tamu yang datang pada hari ini (ada beberapa), mungkin saja ada yang membawa uang. Tapi saya berhak menolak dan telah saya tolak.”
Pernyataan tersebut jika dirangkai dengan kronologis yang dirilis KPK, berarti ketika XSS sebagai direktur Utama CVSB yang mencoba menyuap IG, ia sudah tolak. Tentu, bagi IG penolakan tersebut, menjadi dasar bagi dirinya, tidak menerima suap.
IG disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b dan atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor.
Pada hakikatnya Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, dan Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor memang dibutuhkan persetujuan calon penerima suap agar deliknya dapat dianggap sempurna atau disudahi. Mutatis mutandis delik suap sebagai kejahatan personal (tanpa korban), tidak akan mungkin terwujud tanpa adanya persesuaian kehendak antara si pemberi dan si penerima. Dengan kata lain, kalau salah satu pihak mengurungkan atau mundur diri secara suka rela, tidak akan terwujud perbuatan pelaksanaannya. Kondisi yang seperti ini, memungkinkan salah satu pihak tidak patut dihukum.
Tentu berbeda jika perbuatan pelaksanaan itu terhenti karena peristiwa di luar kemauan pembuat, dalam kasus ini misalnya IG langsung menolak pemberian itu, karena ketahuan oleh KPK. Ini sudah termasuk percobaan tindak pidana suap yang memiliki alasan yang patut untuk dipidana (Vide: Pasal 5 UU Pemberantasan Tipikor).
Sebagai catatan yang menjadi penting untuk diperhatikan, untuk percobaan tindak pidana suap, memiliki pengecualian reaksi pertanggungjawaban pidana sebagaimana yang digariskan dalam KUHP. Jika KUHP mengurangi pertanggungjawaban pidananya, hukuman penjara dikurangi 1/3 (sepertiga), hukuman pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Sementara UU Pemberantasan Tipikor, antara pelaku percobaan dengan pelaku delik sempurna, tidak ada pengurangan yang demikian.
Mau tidak mau, terlepas dari ancaman pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang menyalahi postulat “culpae poena paresto”— hukumlah seorang setimpal dengan perbuatannya, percobaan tindak pidana suap tetap akan dihukum berdasarkan UU Pemberantasan Tipikor, yakni antara selesai tidaknya perbuatan itu, sama saja hukumannya. Hal ini disebabkan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana khusus telah mengecualikan ketentuan pidana materilnya yang terdapat di dalam KUHP. Asas lex specialist derogate legi generale telah mengunci semuanya. Tampaknya berdasarkan UU Pemberantasan Tipikor juga berlaku terhadap pelaku pembantu, turut serta, tidak mengalami pengurangan ancaman pidana.
Khusus kasus yang menyeret IG, posisi kasusnya tidak dapat difokuskan pada diterima atau tidaknya uang RP. 100 juta itu. Sebagaimana kelaziman dan kewenangan khusus KPK yang dapat melakukan penyadapan, boleh jadi persesuaian kehendak antara pemberi dan penerima dalam wujudnya sebagai “perbuatan pelaksanaan selesai” telah terferivikasi dalam kominikasi via telephone. Sangat langkah, dan bahkan tidak pernah terjadi, OTT yang didalangi oleh KPK, tersangka kemudian akan dibebaskan oleh putusan Pengadilan Tipikor.
KPK Berwenang
Satu dan lain hal, banyak pula yang mempertanyakan OTT KPK terhadap ketua DPD itu: Apakah KPK memiliki kewenangan melakukan penangkapan, padahal KPK hanya berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Tipikor yang menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1 Milyar? Pada sesungguhnya KPK tetap berwenang, pembatasan yang dimaksudkan itu hanya pada korupsi APBN/APBD (uang negara), tetapi korupsi berupa gratifikasi tidak membatasi KPK berdasarkan jumlah nilai suapnya, untuk melakukan penindakan hingga tingkat penuntutan.
Korupsi sebagai kejahatan endemic, terorganisir, tidak lagi mengenal sedikit/banyaknya jumlah uang sebagai instrumen kejahatannya. Jangankan “uang haramnya” yang diberikan kepada pejabat negara, baru sebatas janji saja yang patut diduga mempengaruhi kewajiban seorang pejabat negara, sudah diancam dengan kejamnya bilik penjara. Maka dari itu, jangan pernah coba-coba korupsi.*