UU TPKS Melindungi Pekerja Migran Perempuan

Sumber Gambar: magdalena.co
SIDANG paripurna DPR-RI yang mengesahkan RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) 12 April lalu menjadi sejarah penting bagi pemajuan perlindungan perempuan di Indonesia.
Di sisi lain, UU TPKS juga menjadi bagian yang sangat penting bagi penguatan perlindungan pekerja migran perempuan. Hampir 80% dari 9 juta pekerja migran Indonesia (PMI) di luar negeri yang dicatat Bank Dunia merupakan perempuan
Pekerja migran perempuan selama ini memang rentan mengalami kekerasan seksual, bahkan sejak sebelum berangkat ke luar negeri.
Momentum bersejarah ini seperti mengulang sejarah 10 tahun lalu, ketika pada 12 April 2012, melalui sidang paripurna DPR-RI, pemerintah akhirnya meratifikasi International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Their Families setelah 13 tahun didesakkan oleh masyarakat sipil.
Perlindungan PMI, sejatinya telah diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2012 tentang Ratifikasi Konvensi tersebut, juga UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan PMI dan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Namun, ketentuan secara spesifik mengenai perlindungan PMI perempuan dari kekerasan seksual belum dicakup dalam semua regulasi tersebut, kecuali eksploitasi seksual yang merupakan unsur tujuan dalam tindak pidana perdagangan orang. Padahal, realitas memperlihatkan bahwa PMI perempuan selama ini dalam keseluruhan tahap migrasi, yang meliputi pramigrasi, selama bekerja dan purnamigrasi selalu rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan seksual.
Posisi rentan PMI perempuan Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang kerap dialami pekerja migran perempuan sebelum berangkat ke luar negeri ialah pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual nonfisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan sterilisasi, dan perkosaan.
Beragam kekerasan seksual tersebut terjadi pada saat calon pekerja migran perempuan menjalani pendidikan prapemberangkatan, di penampungan-penampungan swasta. Pelakunya individu dan korporasi.
Kejahatan itu sering terjadi karena posisi lemah calon PMI perempuan ketika berhadapan dengan otoritas perusahaan pengirim yang tidak bertanggung jawab. Mereka tidak memiliki bargaining position sama sekali di bawah berbagai bentuk ancaman.
Kasus yang paling banyak terjadi ialah ancaman PMI perempuan tidak dapat cepat diberangkatkan. Terhadap kejahatan-kejahatan tersebut, selama ini terjadi impunitas atau kejahatan tanpa penghukuman terhadap pelakunya karena dalam kategori TPPO, unsur eksploitasinya kerap kali belum terpenuhi sehingga UU TPPO tidak bisa diterapkan.
Ancaman kekerasan seksual kembali dihadapi PMI perempuan saat tiba di negara penempatan, yaitu sejak berada di penampungan agency sebelum masuk ke rumah majikan hingga di rumah majikan masing-masing.
Dalam banyak kasus kekerasan seksual yang mereka alami tak jarang justru menghantarkan PMI perempuan pada ancaman hukuman mati karena tindak pidana yang terpaksa mereka lakukan untuk membela diri.
Pengaturan sembilan bentuk kekerasan seksual dalam UU TPKS yang meliputi pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual nonfisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, penyiksaan seksual, pemaksaan perkawinan, perbudakan seksual, kekerasan seksual dengan sarana elektronik, dan eksploitasi seksual, tentu saja akan menjadi payung hukum bagi perlindungan PMI perempuan dari ancaman kekerasan seksual.
Ancaman pidana yang menjerakan Pelecehan seksual nonfisik selama ini nyaris menjadi praktik yang banyak terjadi di masyarakat tanpa ada hukuman.
Bahkan, biasanya yang terjadi korban malah sering dipermalukan. Dengan UU TPKS, pelaku pelecehan nonfisik dipidana penjara paling lama 9 bulan dan denda paling banyak Rp10 juta. Sementara itu, pelaku pelecehan seksual fisik dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan denda paling banyak Rp50 juta.
Bagi pelaku pelecehan seksual fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan dipidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300 juta.
Bagi pelaku yang melakukan perbuatan memaksa orang lain, menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50 juta.
Jika perbuatan tersebut mengakibatkan korban kehilangan fungsi reproduksinya secara tetap, dipidana karena pemaksaan sterilisasi, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200 juta.
Pemidanaan yang sama juga berlaku bagi pelaku pemaksaan perkawinan. Pemaksaan perkawinan meliputi perkawinan anak, pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya, atau pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku perkosaan.
Perkawinan anak selama ini juga merupakan bagian dari latar belakang calon PMI perempuan. Sementara itu, pelaku eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual dipidana dengan penjara paling lama 15 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1 miliar.
Bagi pelaku korporasi dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp5 miliar dan paling banyak Rp15 miliar. Terhadap korporasi, dapat juga dijatuhi pidana tambahan berupa: a. Perampasan keuntungan dan/atau harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana kekerasan seksual, b. Pencabutan izin tertentu, c. Pengumuman putusan pengadilan, d. Pelarangan permanen melakukan perbuatan tertentu, e. Pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan korporasi, f. Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha korporasi, dan/atau g. Pembubaran korporasi, sedangkan bagi pelaku yang merupakan pejabat, pemberi kerja, atasan tenaga medis, tenaga pendidik, dan lingkup keluarga diperberat dengan ditambah sebanyak 1/3 hukuman.
Ancaman pidana dan denda yang cukup berat dalam UU TPKS ini dapat dijatuhkan kepada pelaku kekerasan seksual dengan hanya berdasarkan satu alat bukti saja sehingga diharapkan UU ini dapat memperkuat peta jalan baru bagi perlindungan pekerja migran perempuan dari ancaman kekerasan seksual pada keseluruahan tahapan migrasi. Pada akhirnya, sebagai bagian dari implementasinya, UU TPKS mesti diselaraskan dengan layanan-layanan migrasi yang disediakan pemerintah daerah, dari desa, kabupaten/kota, hingga provinsi, seperti LTSA (layanan terpadu satu atap), BLK (balai latihan kerja).
Pelayanan migrasi harus memiliki perspektif pencegahan dan layanan korban kekerasan seksual dalam standard operating procedure yang dibangun.
Dengan begitu, pekerja migran perempuan mendapatkan perlindungan sejak dini dari tindak pidana kekerasan seksual.
Oleh:
Anis Hidayah
Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant CARE dan Anggota Jaringan Perempuan Pembela Hak Korban Kekerasan Seksual
MEDIA INDONESIA, 21 April 2022
Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/487393/uu-tpks-melindungi-pekerja-migran-perempuan