Konsep Negara Hukum

Konsep Negara HukumNEGARAHUKUM.COM___Konsep Negara hukum dalam sejarahnya tetap akan kembali pada aliran hukum alam (natural law).  Yakni konsep “Nomoi” sebagai cita pembentukan konsep negara hukum yang memihak pada kepentingan rakyat. Dalam bukunya La Politica Aristoteles (259) mengajukan  tiga kualifikasi yang diperlukan terhadap mereka yang menempati jabatan tertinggi yaitu loyalitas kepada konstitsui yang ada, kapasitas administrasi yang besar, dan nilai kehormatan serta keadilan yang berlaku bagi seluruh pemerintahan, karena keadilan belum tentu sama bagi semua jenis pemerintahan.

Sejalan dengan itu, sejarah embrio dari konsep Negara hukum melalui konsep “Nomoi” yang digarisbawahi oleh Plato. Dalam konsep Nomoi, hakikat penyelenggaraan Negara yang baik adalah yang didasarkan pada pengaturan hukum yang baik. Sementara Aristoteles konsep Negara hukum diawali dengan terminology “Politica”. Aristoteles mengemukakan bahwa  Konsep Negara hukum yang baik adalah Negara yang diperintah berdasarkan konstitusi. Dalam Negara hukum yang dimaksudkan untuk memerintah bukanlah manusianya melainkan pemikiran yang adil dari manusia tersebut. Agar dapat berpikir dengan adil, tentunya harus dipagari dengan konstitusi.

Konsep Negara hukum yang dipelopori oleh Plato kemudian dipertegas oleh Aristoteles dilhami dari keadaan negaranya pada waktu itu yang dipimpin oleh orang yang haus kekuasaan, harta, dan gila kehormatan.

Negara hukum yang dicita-citakan oleh kedua polopor tersebut, suatu Negara yang bebas dari pemimpin Negara yang rakus dan jahat tempat keadilan dijunjung tinggi. Dengan maksud agar segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan Negara atau penguasa semata-mata berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum.

Perjuangan dari Plato dan Aristoteles  untuk menghapus sistem pemerintahan absolut. Tidak berhenti sampai di situ, pada abad-bad selanjutnya tetap muncul Negara dengan sistem pemerintahan dikator. Bentuk Negara yang lalim bertahan terus sampai beberapa abad hingga munculnya konsep Negara hukum formal dan Hak Asasi Manusia yang mesti dilindungi.

Machiavelli (1469) seorang sejarahwan dan ahli Negara telah menulis bukunya yang terkenal “II Prinsipe (The  Prince) tahun 1513. Beliau hidup pada masa intrik-intrik dan peperangan yang terus menerus di Florence, dimana pada waktu itu tata kehidupan berbangsa dan bernegara lebih mengutamakan kepentingan Negara. Tata keamanan dan ketenteraman, di samping keagungan Negara harus merupakan tujuan Negara, supaya Italia menjadi suatu Negara nasional. Dalam usaha untuk mewujudkan cita-cita itu raja harus merasa dirinya tidak terikat oleh norma-norma agama ataupun norma-norma akhlak. Raja dianjurkan supaya jangan berjuang dengan menaati hukum, raja harus menggunakan kekuasaan dan kekerasan seperti halnya binatang. Dianalogikan penguasa harus berlagak kancil untuk mencari jaring dan  singa untuk mengejutkan serigala.

Jean Bodin juga menganjurkan absolutisme raja. Raja harus mempunyai hak mutlak membuat undang-undang bagi rakyatnya yang diperintah. Namun bagi Jean Boedin raja itu terikat dengan hukum alam. Jean bodin memandang bahwa kekuasaan yang terpusat pada Negara yang makin lama makin tegas tampak pada bentuk kekuasaan raja. Oleh karena itu disimpulkannya, bahwa dasar pemerintahan absolut terletak dalam kedaulatan dan kekuasaan raja yang superior.

Berlanjut ke era Thomas Hobbes yang berpendapat bahwa manusia sebelum hidup dalam lingkungan bermasyarakat, bernegara, manusia itu hidup dalam alam. Dalam keadaan alamiah itu manusia mempunyai hak alami yang utama yaitu hak untuk mempertahankan diri sendiri. Dalam situasi tersebut manusia merupakan musuh bagi manusia yang lainnya dan siap saling menerkam seperti serigala, akibatnya yang terjadi merajalelanya peperangan semuanya melawan semua. Namun, karena manusia dibimbing oleh akalnya manusia akhirnya mengerti bahwa bila keadaan demikian itu diteruskan, semuanya akan binasa. Oleh karena itu manusia lalu bergabung memilih penguasa yang menjamin hukum melalui suatu perjanjian sosial.

Perjanjian masyarakat yang dikemukakan oleh Hobbes sebenarnya bukanlah kesepakatan sosial yang diserahkan dari kaidah-kadiah yang mereka inginkan, tetapi memberikan kekuasaan secara mutlak kepada raja. Dalam kondisi demikian raja tetap akan berlaku absolut.

Tindakan sang penguasa/ raja sedikit demi sedikit kemudian dikurangi setelah, niat dari pakar ketatanegaraan melakukan perlawanan terhadap kekuasaan mutlak dari raja dengan memperjuangkan sistem konstitusional. Oleh John Locke mengemukakan kekuasaan raja tersebut harus dibatasi oleh leges fundamentalis.

Menurut O. Notohamidjojo (1967; 12) mengemukakan  perjuangan Konsep Negara hukum melalui perjuangan konstitusi banyak dipengaruhi oleh berbagai perkembangan diantaranya: reformasi, renaissance, hukum kodrat, dan timbulnya kaum bourgeoisse beserta aliran pencerahan akal (aufklaerung).

Seiring dengan perkembangan pola untuk melindungi Hak Asasi Manusia yang dipelopori oleh pemikir Inggris dan Perancis menandai tumbangnya absolutisme dan lahirnya Negara hukum. Di Inggris terjelma dengan pertikaian terus-menerus antar King dan Parliament yang melahirkan piagam-piagam diantaranya:  Magna Charta (1215), Petition of Right (1628), Habeas Corpus Act (1679), Bill of Right (1689).

Demikian juga yang terjadi di Perancis, perkembangan Renaissance dan reformasi berkembang dengan baik. Perjuangan hak-hak asasi manusia memuncak dalam  Revolusi Perancis pada tahun 1789, yang berhasil menetapkan hak-hak manusia dalam “Declaration Des De I’homme Et De Citoyen, dimana pada tahun itu ditetapkan oleh “Assemble Nationalle” Perancis serta pada tahun berikutnya dimasukkan dalam Constitution. Dalam waktu yang sama di Amerika Serikat juga dirumuskan piagam HAM melalui “Declaration Of Independence

Berdasarkan lintasan sejarah di atas, melalui perjuangan pembatasan kekuasaan melalui konstitusi, perlahan ide untuk mewujudkan prinsip Negara hukum semakin mantap, dan menemukan akarnya untuk semakin diperjuangkan dalam perkembangan Negara-negara modern.

 

 

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...