Prinsip Kelayakan Hukuman Mati
Kontroversi hukuman mati lagi-lagi kembali menyeruak dan menimbulkan polemik di berbagai kalangan. Dan momentumnya selalu saja bersamaan dengan pelaksanaan eksekusi mati itu sendiri. Tepatnya pada 29 April kemarin, eksekusi gelombang kedua dari delapan terpidana pengedar Napza (Narkotika, Psikoterapika, dan Zat adiktif lainnya) telah dilakukan oleh regu tembak di bawah komando putusan pengadilan inkra.
Kini, tujuh warga negara asing dan satu warga negara Indonesia itu telah menemui ajalnya di depan eksekutor sang juru tembak. Sebagian dari mereka, sudah ada yang dikebumikan. Sebagiannya lagi, jasadnya masing-masing dikembalikan ke negara asal mereka. Demikianlah perlakuan secara manusiawi terhadap terpidana mati yang tetap menjadi tanggung jawab negara untuk melindungi segala hak-hak terpidana. Kendatipun si terpidana tak bernyawa lagi, negara tetap wajib melindungi segala hak-hak yang masih melekat dalam dirinya.
Regulasi tentang pemberlakuan hukuman mati tetap urgen untuk dipertahankan saat ini. Sebab selain masih memiliki legalitas dalam hukum pidana kita, pada dasarnya juga didukung oleh prinsip-prinsip hukum pidana yang fundamental.
Penghapusan
Dalam perkembangannya, hukuman mati bukanlah sesuatu hal yang baru menjadi perdebatan. Tetapi sudah menjadi masalah klasik di berbagai belahan dunia. Salah satu alasan dari kubu yang melakukan penolakan terhadap pidana mati, berkeyakinan bahwa hak untuk menghukum hanya ada pada Tuhan, termasuk pencabutan terhadap nyawa pelaku yang melakukan kejahatan serius sekalipun.
Tepatnya, penolakan yang cukup keras terhadap hukuman mati, datangnya dari seorang pegiat Hak Asasi Manusia, yaitu oleh Cesare Beccaria dalam publikasi karyanya tahun 1764 “Crimes and Punishment”. Dengan luwes Beccaria mengatakan: “Pidana mati pada hakikatnya merusak masyarakat dari contoh kebiadaban yang dihasilkannya. Jika nafsu atau kebutuhan perang telah mengajari manusia mengucurkan darah dari sesamanya, hukum yang dimaksudkan memperbaiki keganasan manusia, seharusnya tidak dengan cara menambah sampel kebiadaban.”
Di lain sisi, Beccaria boleh jadi ada benarnya, ius constituendum yang dinginkan olehnya ibarat ”hukuman harus diejawantahkan dengan gaya mulia”. Tetapi yang namanya hukuman itulah salah satu bentuk pertanggungjawaban dari perbuatan jahat yang pernah dilakukan pelakunya.
Hukuman mati memang merupakan hukuman paling berat (mors dicitur ultimum supplicum) tetapi yang menjadi soal bukanlah hukan matinya untuk dimintai pertanggungjawaban, tetapi perbuatan kejahatannyalah yang telah membuat malu (C’est le crime qui fat la honter, et non pas vechafaus). Sehingga atas perbuatan yang berdampak itu merupakan kewajiban bagi pelaku untuk menunaikan tanggung jawabnya.
Terkait dengan pengklasifikasian hukuman mati secara garis besar terbagi menjadi empat bagian. Pertama, negara-negara yang menghapus pidana mati untuk semua kejahatan tanpa pengecualian. Kedua, negara-negara yang menghapus pidana mati hanya untuk kejahatan biasa; sedangkan untuk kejahatan luar biasa, pidana mati tetap dapat diberlakukan. Ketiga, negara-negara yang menghapus pidana mati secara defacto; artinya, terhadap kejahatan biasa, pidana mati tetap diancamkan dalam Undang-undang, namun dalam praktiknya tidak pernah lagi dterapkan. Keempat, negara yang menerapkan pidana mati secara retensi; yakni, setelah sepuluh tahun seorang terpidana mati jika berkelakuan baik, maka diberikan amnesty atau grasi untuk mengubah hukuman tersebut.
Dalam konteks negara kita, sebenarnya sudah menerapkan penghapusan pidana mati secara retensi, dengan diberikannya hak kepada terpidana mati untuk mengajukan grasi kepada Presiden (Vide: UU No. 22 tahun 2002 tentang Grasi). Hanya saja perjuangan para aktivis HAM selama ini, adalah cita-cita untuk menghapus pidana mati dalam UU, tanpa ada lagi batas pengecualian antara kejahatan biasa atau kejahatan luar biasa.

Sumber Gambar: cdn.klimg.com
Prinsip Kelayakan
Untuk tindak pidana Narkotika dan Psikoterapika dalam menyoroti delapan tereksekusi mati kemarin, sudah tepat pemberlakuannya. Terhadap kurir dan bandar berdasarkan ketegasan Undang-undang yang mengaturnya telah sesuai dengan maxim: culpae poena paresto (hukumlah orang setimpal dengan perbuatannya). Perbuatan jahat para terpidana sebanding dengan kelakuannya menimbulkan “korban jutaan anak manusia” menjadi pecandu berat hingga masa depannya hancur berantakan. Pertanggungjawaban pelaku untuk menyerahkan “nyawanya” adalah kewajiban untuk menanggung dosa dari segala tingkah lakunya mengorbankan banyak nasib anak bangsa.
Pada hakikatnya untuk kejahatan yang berdimensi extra ordinary ancaman pidana mati masih tetap layak untuk dipertahankan. Prinsip kelayakannya mengacu pada dua landasan. Pertama, selain efek jera, dalam penerapan hukum pidana mati, satupun ajaran agama tidak ada yang menentangnya. Dalam ajaran hukum pidana dikenal berbagai maxim; Criminal morte extinguuntur: kejahatan dapat dimusnahkan dengan hukuman mati; Mors omnia solvit: hukuman mati menyelesaikan perkara. Kedua, pidana mati merupakan penyeimbang terhadap korban kejahatan.
In qasu terpidana narkotika yang terbukti sebagai kurir ataukah bandar, kini telah membuka mata kita semua, betapa banyak ibu kehilangan “permata jiwa” yang paling dicintainya, sebab barang haram itu merenggut nyawa anak-anaknya.
Biarkanlah “rasa dendam” itu terlampiaskan melalui “kejamnya” hukum, sembari pelakunya berlapang dada di hadapan Tuhan untuk menerima ganjaran atas perbuatannya. Sekejam-kejamnya hukum diberlakukan pasti lebih banyak menyimpan “kasih sayang” terhadap mereka yang masih mengecap rasa, mimpi, dan harapan untuk kembali menata masa depannya. *