Kau Pembuatnya, Kau Pelanggarnya
“Jangan membuat Undang-undang (UU), kalau tidak menguntungkan dirimu; Sebab jika engkau sendiri melanggarnya, kami makin jengkel dan benci dengan kekuasaanmu, termasuk kami benci dengan UU-mu.”
Penggalan kalimat di atas, tiada lain sebagai puncak ekspresi kemuakan penulis secara pribadi (dan tidak menutup kemungkinan pembaca memiliki perasaan sama dengan saya) kepada pejabat di negeri ini yang kita tahunya dialah dominan terlibat dalam pembuatan naskah Undang-undang (UU), tetapi dia pulalah yang melanggarnya.
Ibarat pepatah anak muda dari lagu dangdut yang populer di era 90-an, kau yang berjanji kau yang mengingkari. Engkau yang berjanji di atas kertas, bahwa UU ini mengikat bagi semua, tidak terkecuali, tetapi apa lacur kau ternyata yang pertama mengingkarinya.

Sumber Gambar: Tribunnews.com
Pelanggar UU
Kasus penonaktifan Kepala Daerah semakin menunjukan kalau pejabat berwenang (Mendagri), makin hari makin kelihatan pin-plannya. Mungkin! Semua orang sepakat, kalau hanya kasus pengaktifan kembali Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang seharusnya tetap dinonaktifkan menjadi gambaran kalau Mendagri saat ini melakukan pelanggaran UU. Padahal inkonsistensi itu terjadi pula dalam kasus Kepala Daerah (Bupati Kabupaten Barru), Idris Syukur, seharusnya diaktifkan kembali dari jabatannya sebagai Bupati karena di Pengadilan Tinggi ia dinyatakan tidak terbukti bersalah. Bukankah demikian anjurannya dalam UU Pemda. Lagi-lagi, di sini Mendagri telah melakukan pelanggaran terhadap UU.
Dalam hukum tata negara positif, pribadi bisa saja berganti dalam suatu jabatan, tetapi soal pendaku tanggung gugat, tetap pada jabatan itu. Bahwa kendatipun pribadi Mendagri saat ini bukan yang terlibat dalam pembentuk UU Pemda dahulu, harus tetap dimaknai dialah yang menanggung sebagai salah satu pembentuk UU, sehingga jangan sekali-kali melanggarnya.
Negara hukum ini sebenarnya milik siapa sih? Milik pemerintah-kah? Milik rakyat-kah? Atau milik kita semua? Normalnya pasti milik kita semua. Namun di tataran kenyataan (das sein), tunggu dulu! Rakyatlah yang harus tunduk pada negara hukum, tetapi pemerintah mau dipaksa tunduk di bawah negara hukum, terlalu amat pelik.
Bagi mereka yang punya kekuasaan, hukum bukanlah panglima, yang menjadi panglima justru kekuasaan itu sendiri. Setidak-tidaknya pernyataan ini tidak susah amat dicari pembuktiannya. Fenomena saling lapor antar pejabat telah menjadi contoh besarnya.
Ini fenomena macam apa? Dikasus lain, mengkritik pemerintah akan dituduh penghinaan, sedikit-sedikit akan berurusan dengan polisi. Katanya negara hukum, katanya negara demokrasi, semua orang sama di depan hukum, tidak ada yang kebal hukum, pemerintah dan rakyat sama saja. Lalu, karena atas nama kebebasan menyatakan pendapat, konon ini wujud demokrasi, penghargaan terhadap hak asasi manusia, tetapi peliknya sedikit-sedikit, “hukum” lagi yang punya urusan. Aparat penegak hukum kelimpahan perkara, bertumpuk-tumpuk, sibuk ngurusin perkara di sana-sini, dan ujung-ujungnya aparat penegak hukum kelimpungan. Saking banyaknya perkara yang mau diurusin, banyak yang mandeg, dituding pula kalau aparat penegak hukum bekerja tidak optimal.
Mungkin, pilihan yang paling bijak, kami sebagai rakyat, lebih baik diam. Kami takut berurusan dengan polisi, apalagi berurusan dengan penjara. Sangat mengerikan. Dan cukuplah sempurna, Mendagrinya sebagai pelanggar UU, rakyatnya pelanggar UU, dan karena tidak profesionalnya aparat penegak hukum, apa salahnya kita mengatakan kalau dia juga pelanggar UU.
Kondisi Alami
Sebagai ekspresi saya, kami semua yang sudah jenuh dengan penegakan hukum, sudah jenuh dengan ketaatan hukum. Silahkan kepada semua elemen yang merasa sebagai penguasa, buatlah UU yang menguntungkan dirimu, seenak-enaknya engkau mau apakan UU, terserah, asal kau bisa mematuhinya, setelah itu mungkin anda bisa menyuruh kepada kami untuk patuh pada UU-mu.
Sebuah kondisi alami, natural adanya, kami semua akan coba-coba mempermaklumkan, bahwa sungguh naïf dan terasa sangat mustahil, kalau pejabat negara akan membentuk UU tidak menguntungkan dirinya. Bagaimana mungkin, dialah sebagai pembuatnya, lalu dengan hasil pembuatannya, akan menjeratnya. Itu namanya bunuh diri.
Boleh jadi, ini pilihan gila dari saya sampai-sampai banyak pihak yang akan mengecamnya. Jika ada yang mengatakan saya sudah gila, yah… saya sudah gila, saya sudah muak, saya sudah frustrasi dengan hukum, dengan UU, termasuk dengan pelaksananya.
Esok hari, mungkin dari ribuan catatan yang terhimpun dalam ribuan artikel oleh para pendekar hukum yang namanya sudah mentereng di perpustakaan kecil saya, lebih baik berakhir di tong sampah. Tidak ada guna membukanya kembali, menelaahnya, mempelajarinya, atau setidak-tidaknya memanfaatkan setiap waktu untuk menganalisisnya.
Di saat pembuat UU yang melanggar sendiri UU-nya, apa guna saya mempelajari UU, apa guna saya membuka tiap pasalnya, apalagi saya harus menanamkan kesadaran untuk patuh pada UU tersebut, rasanya bulsyit, dan omong kosong semua UU itu yang tiada berarti lagi.
Kondisi alami, kami tidak mau belajar hukum lagi, apalagi kami dipaksa taat hukum. Ini gambaran hukum sudah ditingkatan kekacauan, menjenuhkan, negara hukum hanya miliknya kekuasaan, demokrasi telah membuat kami saling mencaci, siapa yang benar, siapa yang salah, semuanya dianggap salah. Lapor di sini, lapor di sana, tunjuk di sana, tunjuk di sini, tonjok kanan, tonjok kiri, maju kena, mundur juga kena. Sudah saatnya kami mengucapkan selamat tinggal untuk “hukum,” untuk UU.
Anda penguasa, sang pelanggar UU mau berbuat apa saja, silahkan, asal jangan ganggu kedamaian hati kami. Anda bertengkar, jangan sebut-sebut pula nama kami, kami tidak merasa terwakili oleh dirimu.
Sudah tiba saya di halaman terakhir, semua UU sudah saya baca, saya harus menutupnya. Saya mau tidur dulu, menenangkan diri, dari peliknya masalah negeri ini. Mohon bangunkan aku setelah bulan Pilkada ini berlalu. *