Pragmatic Legal Realism

Ada banyak genus penamaan Pragmatic Legal Realism, oleh sebagian Mazhab tidak mau menyebutnya “Aliran Realism Hukum” tetapi lebih tepat untuk mengatakan “Gerakan” realsme hukum (Legal Realism Movement). Nama yang pernah diajukan untuk realisme hukum ini diantaranya; Functional Jurisprudence, Experimental Jurisprudence, Legal Pragmatism, Legal Observationism, Legal Actualism, Legal Modesty, Legal Discriptionism, Scientific Jurisprudence, Constructive Scepticism. Pelopor pertama Realisme Hukum pertama kali berkembang di Amerika Serikat yang dipopulerkan oleh Karl Llewellyn, Jerome Frank, Oliver Wendel Holmes, Bingham. Perkembangan selanjutnya juga dianut antara lain oleh Underhiil Moore, Herman Oliphant, Charles E. Clark, Fellix Cohen, Thomas R. Powell, Arthur R. Combin, Walter W. Cook, Max Radin, Hessel E. Yntema, Joseph Hutcheson, Samuel Klaus.

Sebagaimana disinggung di atas bahwa Realisme Hukum bukanlah aliran melainkan gerakan dalam cara berpikir tentang hukum sebagaimana yang ditegaskan oleh William James “Pragmatism is a new name for some old ways of thinking. Its outlook is emphatically positivist”. Karl Llewellyn (Thomas W. Bechtler: 1978) mempertegas bahwa realisme hukum merupakan “Gerakan” dengan karakteristiknya antara lain:

  1. Realisme hukum bukanlah suatu aliran/ mazhab. Realisme adalah suatu gerakan dalam cara berpikir dan cara bekerja tentang hukum.
  2. Realisme adalah sautu konsepsi  mengenai hukum yang berubah-ubah dan sebagai alat untuk mencapai tujuan sosial, maka tiap bagiannya harus diselidiki mengenai tujuan maupun hasilnya.
  3. Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara anatara sollen dan sein untuk keperluan suatu penyelidikan. Agar antara penyelidikan itu mempunyai tujuan maka hendaknya diperhatikan adanya nilai-nilai itu haruslah seumum mungkin dan tidak boleh dipengaruhi oleh kehendak observer maupun tujuan-tujuan kesusilaan.
  4. Realisme tidak mendasarkan pada konsep-konsep hukum tradisional oleh karena realisme bermaksud melukiskan apa yang dilakukan sebenarnya oleh pengadilan dan orang-orangnya. Untuk itu dirumuskan defenisi-defenisi dalam peraturan-peraturan yang merupakan ramalan umum tentang apa yang dikerjakan oleh pengadilan-pengadilan. Sesuai dengan keyakinan ini, maka realisme menciptakan penggolongan-penggolongan perkara dan keadaan-keadaan hukum yang lebih kecil jumlahnya daripada jumlah penggolongan-penggolongan yang ada pada masa lampau.
  5. Gerakan realisme menekankan pada perkemabangan setiap bagian hukum haruslah diperhatikan dengan seksama mengenai akibat-akibatnya.

Mengapa realisme hukum dari beberapa mazhab lebih senang menganggapnya sebagi sebuah “Gerakan” ? karena memang dari segi substansi pemikiran gerakan ini memiliki sikap kritis terhadap berbagai bentuk pelayanan oleh institusi hukum. Sebagaimana aliran ini konsisten dengan pendapatnya terhadap fakta-fakta yang diperlukan, bukanlah kata-kata dan sekedar bahasa saja. Bukan pernyataan normatif, prinsip, atau aturan yang diperlukan, melainkan sikap tindak (behavior). Merupakan suatu sikap kekanak-kanakan (childish tendency) jika kita berharap adanya hukum yang sudah pasti dan tidak pernah salah.

Ada beberapa pertanyaan yang sering diajukan oleh realisme hukum dalam melakukan pembangkangan terhadap teori dan konsep hukum, diantaranya:

  1. Bagaimana peran suatu peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku ?
  2. Bagaimana dapat dibuat suatu prediksi yang akurat terhadap suatu Putusan Pengadilan ?
  3. Sejauhmana keobjektifan pengadilan dalam menemukan fakta-fakta kasus konkret ?
  4. Metode apa yang seharusnya dipergunakan oleh hakim dalam hal mengambil kesimpulan dan menjustifikasi putusan-putusannya ?
  5. Bagaimana suatu putusan pengadilan dicapai ?

Tampaknya, metode yang digunakan oleh realisme hukum dengan banyak melakukan “Prediksi”, melakukan ramalan terhadap putusan pengadilan identik dengan kerja seorang Pengacara memandang hukum. Hal yang terpenting bagi seorang Pengacara dalam memandang hukum adalah bagaimana memprediksi hasil dari suatu proses hukum dan bagaimana masa depan dari kaidah hukum tersebut.

Ketika seorang ingin melakukan prediksi terhadap putusan pengadilan, maka jalan yang  ditempuh adalah melakukan pendekatan empirik dengan metode-metode empiris ilmiah. Dengan maksud, setidaknya dapat meredam kebebasan hakim dalam menafsirkan hukum dengan cara sesuka-sesukanya.

Hemat penulis melihat cara kerja realisme dalam ilmu hukum dengan menerapkan metode science sebenarnya tidak ada metode khusus yang kompherensif yang dikembangkan oleh realism hukum. Realisem hukum hanya berkerja dalam melakukan pengujian terhadap peraturan, kaidah, dan cita hukum, terhadap hukum yang ada. Metode yang digunakan adalah mendekatkan aturan yang ada dengan fakta di lapangan. Sehingga jelas dalam realisme hukumlah patut untuk mengatakan pentingnya spirit ilmu sosial  (scientific spirit) dalam mendekatkan hukum itu dengan masyarakat. Dari beberapa pemikiran realisme hukum ini jelas “Ilmu Sosial” seperti sosiologi, ekonomi, psikologi, dan politik mendapat tempat.  Beberapa cabang ilmu sosial pantas berterima kasih kepada realisme hukum yang telah membukakan ruang agar hukum itu menjadi “objek” yang layak diteliti oleh mereka, ketika sebelumnya pernah dipositifkan oleh Kelsen.

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...