Hakim kok Korupsi
Penegak hukum kembali terbelit kasus hukum. Meski remunerasi hakim telah disetujui pemerintah. Sang pengadil ternyata tetap tergiur godaan uang haram. Lebih memiriskan lagi, salah satu ruang kantor di Pengadilan Negeri Bandung menjadi tempat transaksi mafia peradilan.
Praktik kotor di lingkup peradilan, memang sudah menjadi rahasia umum. Modus operadi pun bermacam-macam. Mulai dari lobi-lobi untuk meringankan tuntutan pidana kepada terdakwa, penentuan majelis hakim sampai bagaimana menciptakan happy ending putusan hakim. Putusan yang tidak jarang berat sebelah dan menguntungkan orang berduit/ penguasa. Sangat bertolak belakang dengan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.
Menohok Rasa Keadilan
Filsuf Taverne pernah mengatakan “berikanlah aku seorang jaksa yang jujur dan cerdas, berikanlah aku seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka dengan undang-undang paling buruk pun, aku akan menghasilkan putusan yang adil”. Bila kita merenung sejenak, perkataan ini berusaha menjelaskan betapa pentingnya seorang penegak hukum yang jujur dan cerdas dalam melahirkan putusan-putusan yang adil dan sesuaui rasa keadilan masyarakat.
Ironisnya pameo hukum Taverne tidak berlaku di tanah air. Di tengah lilitan gurita korupsi dan gencarnya KPK jilid III memberantas penggarong uang rakyat. Malah penegak hukum (Hakim) “asyik” menerima uang suap, seperti kasus Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung Setyabudi Tejocahyono.
Seorang hakim yang tertangkap tangan oleh penyidik KPK karena diduga menerima suap dari pihak swasta bernama Asep berkaitan dengan pengurusan perkara korupsi dana bantuan sosial pemerintah Kota Bandung, jumat (22/3). Penyidik menemukan barang bukti uang Rp 150 juta. Dan menetapkan empat orang tersangka Setyabudi Tejocahyono, Asep, Herry Nurhayat, serta Toto Hutagalung.
Atas tindakan Hakim Setyabudi Tejocahyono, menohok rasa keadilan masyarakat. Hakim yang selalu dipanggil “yang mulia’ telah melakukan perbuatan tercelah. Merusak martabat dan nama baik hakim. Profesi yang telah dianggap sebagai perwakilan Tuhan di muka bumi.
Selain kasus suap hakim Setyabudi Tejocahyono. Kita semua sebenarnya tidak jarang merasa kecewa atas perilaku sang Pengadil. Pertama, kasus penangkapan hakim syarifuddin di rumahnya, setelah menerima uang suap dari seorang kurator terkait perkara kepailitan PT SCI untuk pengalihan aset. Kedua, bertepatan hari kemerdekaan (17/8/2012) dua Hakim Ad Hoc Tipikor di Semarang tertangkap KPK. Penangkapan dilakukan pada saat Hakim Ad Hoc Pengadilan Tipikor Semarang Kartini Juliani Magdalena Marpaung dan Heru Kusbandono Hakim Ad Hoc Pengadilan Tipikor Pontianak menerima uang Rp 150 juta dari Sri Dartutik. Kedua hakim diduga menerima suap terkait penanganan perkara korupsi. Ketiga, penggerebekan yang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) di Hotel Santika dan berhasil menangkap seorang hakim Pengadilan Negeri Bekasi bernama Puji Wijayanto beserta wanita penghibur.
Dalam konteks pemeriksaan di Pengadilan Tipikor, sang pengadil juga tidak kalah “hebat” melahirkan putusan tanpa ruh keadilan. Bila merujuk ke catatan ICW per 1 Agustus 2012 ada 71 terdakwa korupsi telah diputus bebas. Putusan bebas terbesar terutama di Pengadilan Tipikor Surabaya 26 terdakwa, menyusul Pengadilan Tipikor Samarinda 15 terdakwa, sedangkan Pengadilan Tipikor Semarang dan Padang masing-masing 7 terdakwa (Fajar/02/ 8/ 2012).
Terlepas dari catatan ICW di atas, sang Pengadil juga pernah menjatuhkan putusan kontroversi dalam perkara kasus suap Wisma Atlet. Megakorupsi yang telah menyeret sejumlah politisi partai penguasa ke kursi pesakitan. Khusus terdakwa Angelina Sondakh yang dituntut Jaksa Penuntut KPK 12 tahun penjara, akan tetapi sekali lagi sang Pengadil hanya menjatuhkan putusan 4 tahun 6 bulan penjara.
Pidana Berat
Perilaku korup sang Pengadil Setyabudi Tejocahyono, guna memberi efek jera dan contoh bagi penegak hukum lain Maka harus dikenakan sanksi pidana berat. Apalagi tersangka penerima suap oleh penyidik antirasuah telah dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau c, atau Pasal 5 ayat 2, atau Pasal 11Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bila merujuk ke pasal-pasal yang diancamkan kepada tersangka. Sanksi pidana berat bisa dijatuhkan bila memenuhi langkah-langkah. Pertama, menjerat Pasal 12 huruf c UU Nomor 20 Tahun 2001 yang menegaskan dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.000 hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
Kedua, nanti pada saat pemeriksaan di Pengadilan Tipikor. Jaksa Penuntut Umum KPK harus membuat dakwaan kumulatif (gabungan) terhadap terdakwa dengan dakwaan pertama melanggar Pasal 12 huruf c dan dakwaan kedua melanggar pasal pencucian uang (UU Nomor 8 Tahun 2010). Rasionalisasinya karena selain tersangka menerima suap dalam kasus Bansos Kota Bandung, ternyata penyidik KPK juga telah menemukan sejumlah amplop berisi uang di rumah tersangka yang juga diduga merupakan hasil tindak pidana.
Ketiga, menghindari dakwaan yang berbentuk alternatif. Hal ini karena untuk jenis tindak pidana korupsi suap terkadang terdakwa diancam Pasal 5 atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Sehingga selain terlihat keragu-raguan dari Jaksa Penuntut Umum KPK, pihak majelis Hakim pun akan memilih salah satu (alternatif) dari pasal dakwaan. Dan inilah yang terjadi dalam putusan kasus Angelina Sondakh.
Terakhir, tentunya kita semua mengharapkan majelis hakim yang mulia menjatuhkan putusan berdasarkan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Serta menjadikan momentum kasus suap hakim Setyabudi Tejocahyono contoh penjatuhan sanksi pidana berefek jera guna mengambil kembali hati masyarakat pencari keadilan.