Sisi Lain Profesor: Kreatif dan Inovarif?
Menarik perhatian apa yang dimuat salah satu koran nasional pada rubrik Pendidikan dan Kebudayaan, Jumat-Sabtu (30-31/10). Di bawah judul masing-masing, Profesor Indonesia Kurang dan Dosen Didorong Jadi Profesor menjadi diskusi menarik. Tentu saja diskusi yang diselenggarakan oleh Kementerian Ristek-Dikti yang hanya diikuti kalangan tertentu menarik perhatian 29.642 dosen berkualifikasi doktor dan 5133 berkualifikasi profesor.
Sebetulnya ada titik cerah ketika Menteri Muhammad Nasir dan Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Pendidikan Tinggi KemRistek dan Dikti Ali Gufron Mukti memberi dorongan kepada dosen-dosen yang berkualifikasi doktor untuk maju ke jenjang kepangkatan Guru Besar (profesor). Namun tidaklah semudah itu karena selain adanya hambatan regulasi juga oleh standar kepangkatan yang harus dilewati minimal golongan IVC (menurut standar sekarang) plus 850 Kum dan minimal 2 jurnal internasional yang terindeks scopus serta memiliki efek doktor yang tinggi.
Regulasi pengangkatan Guru Besar pun bervariasi sesuai waktu dan situasi. Pernah suatu masa seorang profesor hanyalah sebagai suatu gelar kehormatan yang diberikan oleh masyarakat bukan oleh pemerintah. Itupun saat dia sudah renta dan pikun. Sehingga standar profesor pada jaman itu adalah kepikunan. Bukan cerita baru lagi pada jaman itu profesor melupakan istrinya di pasar ketika dia pulang sendirian ke rumah tanpa bersama sang istri. Sekali masa juga pengangkatan profesor sempat dipermudah untuk memenuhi kuota profesor yang masih sangat langkah di perguruan tinggi (PT). Bahkan seorang doktor yang masih sangat muda dan masih berpangkat. Asisten ahli madya (IIIC) bisa langsung menduduki jabatan Guru Besar apabila sudah memenuhi standar kualifikasi luar biasa (hanya jurnal internasional terindeks Scopus) di bidang akademik dan cukup artikel berbahasa Inggris di jurnal-jurnal nasional terakreditasi.
Pada masanya seakan-akan terjadi perlombaan di kalangan dosen muda untuk menjadi profesor apalagi ketika distimulasi oleh keputusan pemerintah menaikkan tunjangan Guru Besar tiga kali besaran gaji pokok. Akibatnya, terjadi eksplosi profesor dan konon kementerian keuangan kewalahan membayar mereka tetapi harus dilakukan. Dengan jurnal internasional terindeks scopus sesuai regulasi terbaru pengangkatan sedikit tertahan karena memang sudah mulai dibenahi kualitas dan akreditasi seorang profesor. Apalagi dengan model yang lalu itu diwarnai banyak temuan-temuan plagiasi karya ilmiah.
Kreatif Inovatif
Apa yang kita baca dari diskusi di Kemristek-Dikti kemarin itu adalah tantangan seorang profesor yang kreatif-inovatif. Model ini sesungguhnya menarik untuk seorang profesor apalagi berhubungan dengan standar linierisasi. Tentu perlu dipertanyakan seperti apa itu profesor yang kreatif dan inovatif? Regulasi umum yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional (Diknas) yang lalu adalah standar umum, seorang profesor harus mengemukakan gagasan-gagasan kreatif, terbaru dan banyak menulis buku yang linier dengan bidang keilmuannya. Pertanyaanya, bagaimana profesor yang menulis tidak dengan linierisasinya? Menulis dengan hobi atau panggilan jiwa dan nurani? Ketika mengajukan berkas pengusulan profesor beberapa waktu lalu, terjadi perdebatan sengit dengan pengumpul portofolio di rektorat antara penulis dan yang ditugasi menghimpun dokumen pengusulan.
Penulis keberatan karena diantara buku-buku linier saya yang sudah diterbitkan, tiga buku novel saya di tolak, tidak dimasukkan. Saya protes keras masukkan saja biar Dikti yang menilai dan melempar ke tempat sampah kalau ditolak. Pihak rektorat setuju dan novel ikut dikirim. Biasanya pengusul profesor punya berbagai cara meloloskan usulannya, tidak terkecuali penulis. Saya meminta tolong seorang kolega kebetulan menjadi Kepala Biro Hukum Diknas untuk mengikuti usulan saya. Dari kawan saya temukan jawaban tiga bulan kemudian bahwa usulan saya diterima sisa ditandatangani menteri. Kok cepat begitu?
Sambil tertawa, teman bercerita, “Kamu lolos mungkin karena sang reviewer tertarik dengan novelmu, saya masuk ruangannya untuk cek berkas kamu, eh, dia sedang baca novel karyamu.” Dia bilang Guru Besar kreatif begini diperlukan, punya nurani dan orisinalitasnya tidak diragukan.Tetapi beliau memang Guru Besar dari Jogya.
Efek Idola
Feeling barangkali memegang peranan penting juga untuk mengirim berkas usulan profesor. Terus terang info penting dariDikti bahwa reviewer usulan portofolio berasal daripara profesor terkemuka dari universitas terkemuka di tanah air. Terus terang memang ada sedikit asa novel dibaca oleh reviewer sebelum dilempar di tong sampah Dikti. Agak berat juga rasanya mengakumulasi suatu kreativitas dan inovasi seorang profesor dihubungkan dengan linierisasi. Seorang profesor seringkali memiliki standar ganda dalam mengolah cipta dan karsahnya berhubungan hobi dan dunianya sehari-hari. Ada beberapa profesor yang lebih banyak berkiprah di wilayah arus pemikiran kreasi lain dibanding bidang ilmunya. Dunia sastra misalnya, banyak profesor berkiprah dan telah mencatat namanya sebagai tokoh yang mumpuni diluar ilmuhnya. Karya-karyanya telah meluncur jauh melampaui bidang keilmuwan yang difragmentasikan di depan kelas sehari-hari.
Tokoh-tokoh seperti Umar Kayam (penulis kumpulan cerpen Kunang-Kunang di Manhattan dan novel Sang Priayi), Budi Darma (penulis novel Olenka), Sapardi Jokodamono (penulis kumpulan puisi Pencerahan), YB Mangunwijaya (penulis novel pemenang hadiah sastra Asia Tenggara di Bangkok dengan novelnya yang terkenal Burung-Burung Manyar), Daoed Yoesoef (mantan Mendikbud dengan novel Harimau-Harimau), Nugroho Notosusanto (mantan Mendikbud dengan novel Hujan Kepagian).Para tokoh yang disebutkan diatas tentulah datang dari berbagai ilmu yang tidak dapat disepelekan keahliannya begitu saja. Budi Darma misalnya, mantan Rektor IKIP Surabaya, seorang ahli paedagogik yang sangat kesohor, masih sering kita baca cerpen-cerpennya lewat Kompas. Romo YB Mangunwijaya, profesor Insinyur Arsitektur dari Universitas Gadja Mada. Nugroho Notosusanto seorang jenderal profesor sejarah dan Daoed Yoesoef seorang profesor ekonomi lulusan Perancis.
Kiranya banyak di antara 5000an profesor yang ada sekarang sulit sekali memisahkan diri dari proses kreasi inovasi mereka melepaskan diri dari linierisasi. Sayangnya untuk kelengkapan akreditasi penjenjangan pasca-profesor dinilai nol. Menjadi pertanyaan bagi karya sastra demikian ini apa tidak perlu dinilai sebagaisuatu sumber daya kreasi ilmu diluar dari bidang ilmu budaya dan sastra itu sendiri bagiprofesor penulisnya? Quo vadis.(*)
Artikel Ini Juga Muat di Harian Tribun Timur, Rabu 18 November 2015