Melacak Pemimpin Amanah Melalui Kesadaran Personal

Sepintas lalu, karekteristik pemimimpin yang amanah tidak ditegaskan dalam konstitusi kita (baca: UUD NRI Tahun 1945). Hal itu disebabkan, berbicara pemimpin yang amanah dalam konstitusi merupakan normatifisasai “moral”. Sesuatu konsep ideal yang diteriakan oleh filsuf di zaman klasik (seperti Cicero, Socrates, Plato dan Aristoteles). Nanti kemudian setelah pemikir sekaliber Immanuel Kant, Hegel, Hobbes, dan Hans Kelsen disadari bahwa prinsip moral perlu diintegrasikan dalam norma yang tertulis__the pure of law.

Seorang presiden, gubernur, walikota/ bupati,  anggota legislatif. Semuanya, harus di sumpah jabatan, jika ingin menduduki suatu jabatan (ambtenaar). Sumpah jabatan demikian merupakan kesadaran substantif, bahwa ada sesuatu hal yang ideal, abstrak, dan tidak teridentifikasi. Terutama  etika, sikap bajik (sophia) dan moral tidak dapat di-positifkan, sebagaimana anjuran Hans kelsen dan Immanuel Kant. Sehingga ketika para teoritis, akademis, tokoh agama dan kritikus (seperti Kuntowijoyo, Praemodya A. Toer, Syafii Maarif, Amein Abdullah, Yudi Latif, & Abdul Munir Mulkhan) mengharapkan sosok pemimpin “amanah” sebagai bagian dari “kritik sosial” terhadap pemimpin yang diharapkan, menjadi “pemimpin amanah” kadang meninggalkan aturan-aturan yang dibuat oleh manusia, aturan yang dibuat oleh lembaga negara seperti legislatif dan eksekutif. Dan condong berbicara dalam mainstream;  term  intuitif, god spot, transedensi,  teologis dan spiritual.

Ditinjau dari aspek yang lebih sempit. Amanah diartikan sebagai memelihara titipan yang akan dikembalikan dalam bentuknya seperti sediakala. Dalam tinjauan yang diperluas, amanah mempunyai cakupan yang lebih luas, seperti memelihara amanah orang lain, menjaga kehormatan orang lain, atau menjaga kehormatannya.

Bagaimana halnya dalam bernegara ? Dalam konteks bernegara, amanah yang dibebankan kepada para pemegang amanah (pejabat negara) harus dipikul dengan sebaik-baiknya. Karena memiiki dua perspektif pertanggungjawaban, horizontal (habluminannas) dan vertikal (habluminallah). Setiap pemimpin, baik di lingkup pemerintahan pusat maupun daerah, wajib menegakkan amanah jabatannya sebagaimana yang pernah dicontohkan Rasulullah.

Dalam realitas bernegara, hampir semua orang ramai-ramai ingin jadi pemimpin. Tapi tidak semua orang  dapat menjadi pemimpin yang amanah. Tengoklah disaat pemilihan Gubernur, Wali Kota, Bupati bahkan Presiden, ramai-ramai mencalonkan diri dan menebar janji. Dan  ketika ditakdirkan salah satu keluar jadi pemenang, semua janji yang di telorkan kepada rakyat yang memilihnya, janji itu  dilupakan. Terlena dengan kekuasaan. Sebuah kepemimpinan  yang ter “euforia” dalam menjalankan roda pemerintahan. Janji yang ditebar dahulunya (baca: masa kampanye) dan amanah yang diberikan kepada rakyat, terlupakan semuanya. Semua visi dan misi  malah diabaikan begitu saja laksana “mimpi” yang tak perlu ditafsir lagi (reinterpretate).

Ingin jadi pemimpin ! Berarti seorang pemimpin, mesti sedari awal sudah siap jadi pelayan masyarakat dan pengayom ummat. Siap menangis ketika melihat masyarakat teraniaya. Dan mengambil suatu kebijakan yang mendahulukan kepentingan Ummat dari pada kepentingan pribadi. Karena sejatinya, pemimpin itu lahir dari rakyat, setiap kebijakan harus memenuhi kepentingan rakyat. Bukan kepentingan pendukung/ simpatisan saja.

Pemimpin amanah selalu sejalan dengan konstitusi yang mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi. Selalu berpihak kepada rakyat (all of the people’s). Pemimpin yang amanah selalu mengedepankan kepentingan rakyat, dari pada kepentingan pribadi, kepentingan golongan dan kepentingan orang tertentu.

Sedangkan Pemimpin yang tidak amanah berlindung dibalik strateginya, yang penuh dengan akal bulus.  Kepemimpinan yang penuh intrik-intrik politik, kepemimpinan ala-Machievellian & Lord Shang Yang. Suatu konsep kekuasaan (baca: kepemimpinan) yang tidak sesuai dengan kehendak masyarakat, karena tidak menjalankan amanah yang dititipkan oleh rakyatnya.

Jika pemimpin itu tidak amanah lagi, kepada rakyat yang telah memilihnya. Berarti  pemimpin demikian telah melakukan pelanggaran konstitusi. Karena dalam Konstitusi nyata-nyata menegaskan, kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang (vide pasal 1 ayat 2)__souvergnity of the people/ democracy.

Sungguh idealnya konstitusi negara republik Indonesia. Tetapi para pemimpinya tidak mampu memahami esensi konstitusi yang sesungguhnya. Dia hanya membaca dan tidak mencerna isi konstitusi. Ironisnya, malah masyarakat awam yang bukan pemimpin, justru lebih memahami isi konstitusi. Sebuah penghianatan oleh sang pemimpin ketika amanah untuk menyejahterakan rakyatnya ditinggal. Pemimpin yang nyata-nyata telah melakukan penghianatan terhadap kesakralan konstitusi.

Ada baiknya kita menengok kebelakang, dari seorang tokoh penentu sejarah dunia John Fitzgerald Kennedy. Dalam pidato inaugurasinya sebagai Presiden AS ke-35, 20 Januari 1961: “Jangan tanyakan apa yang Negara dapat perbuat untuk Anda, tetapi tanyakanlah apa yang dapat Anda perbuat untuk Negara ”.  Meski doktrin kecintaan pada negara ini bukan asli dari Kennedy, tetapi dari filsuf Marcus Tullius Cicero (3 Januari 106 SM – 7 Desember 43 SM).

Kennedy sadar bahwa negara kesejahteraan (welfare state) sebagai konsep negara hukum (rechstaat) yang dicita-citakan. Tidaklah cukup dengan sekumpulan regulasi saja. Oleh karena regulasi yang dirancang dan dilembagakan akan ada suatu waktu regulasi menjadi “usang”__out of date. Sebagaimana adagium yang mengatakan “bahwa hukum itu berjalan-jalan tertatih-tatih dibelakang kenyataan”__ (het recht hintk anchter).

 

KESADARAN PERSONAL

Dalam konteks lain, menjadi pemimpin yang amanah.. Seorang pemimpin bisa amanah. Jika ia berani melepaskan ego personal-nya (Sadra), hasrat berkuasanya (Nietzche), dan hasrat kekayaannya (Aquinas). Inilah yang disadari juga oleh sastrawan asal Pakistan (keturunan Jerman) Sir Muhammad Iqbal dalam rekonstruksi pemikiran yang ditawarkannya bahwa dalam suatu kekuasaan untuk mendapatkan “iluminasi” hanya bisa diperoleh melalui penguatan terhadap pribadi (khudi). Yaitu ego yang mampu mengombinasikan kehendak untuk menggapai kemajuan dan kesempurnaan pribadinya dan sekaligus dalam rangka menjelmakan sifat-sifat Ilahi di dalam dirinya dengan mengikuti jalan-jalannya.

Tanpa melupakan makna dan identitas “kosntitusi”, lembaran ketentuan dalam undang-undang. Memang dibutuhkan kesadaran personal dari seorang pemimpin. Agar dapat menjadi pemimpin amanah. Hanya dengan berani melepaskan kebutuhan fisik, kebutuhan materi, lepas dari kepentingan sekuler (hasrat untuk kaya). Suatu waktu akan diketemukan pemimpin yang amanah di negeri ini. Yakni pemimpin yang berani melepaskan “baju kekayaannya” untuk dibagi kepada kaum fakir (mustadhafin). Inilah suatu zaman lahirnya kembali (reneisance) pemimpin sekelas Umar Bin Khatab. Atau setidaknya di negeri kita, kelak akan ada yang bisa menyamai kepemimpinan Ahmadinejad, di bawah naungan sang pencerah Imam Khomeni. Mari kita tunggu. Semoga pemimpin amanah sekaliber demikian, akan hadir “membumi” di Indonesia.

Rusmulyadi SH.MH

Dosen Ilmu Hukum Universitas Ichsan Gorontalo

You may also like...