Polemik Kekosongan Hukum dalam Pembatalan Perppu Pilkada

Akhir-akhir ini terdapat perdebatan di kalangan para ahli hukum tata negara, terkait dengan ancaman kekosongan hukum terhadap sistem Pilkada di tingkat Undang-Undang (UU). Jika Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) Nomor 1 Tahun 2014 yang mengubah UU Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota (selanjutnya disebut Perppu Pilkada) dalam pembahasan oleh DPR nanti, Perppu tersebut ditolak. (baca juga: Memotret Gugatan UU Pilkada)

Ancaman kekosongan hukum ini, pertama kali diutarakan oleh Mahfud MD dalam salah satu artikelnya di harian Seputar Indonesia (11/10/014), kemudian “diaminkan” pula oleh Refly Harun juga dalam salah satu tulisannya di detiknews.com (9/10/014).
Berikut ini, kami berdua juga memiliki analisis terkait dengan permasalahan tersebut, dalam rangka mencari “benang merahnya”. Benarkah Sistem Pikada akan mengalami kekosongan hukum, kalau Perppu Nomor 1 Tahun 2014 sekiranya ditolak oleh DPR, pada persidangan berikutnya itu?

Pembatalan Perppu Pilkada

Sumber Gambar: nefosnews.com

Analisis Apriyanto

Dalam hemat saya, Perppu Pilkada yang dikeluarkan Presiden tidak otomatis “membunuh/mematikan” UU Pilkada hasil Paripurna DPR yang sempat disahkan Presiden.
Istilahnya, UU Pilkada hasil Paripurna tersebut hanya sekedar “mati suri”, sampai menunggu apakah Perppu yang dikeluarkan oleh Presiden tersebut diterima pada sidang Paripurna atau tidak. Jika nanti DPR dalam sidang Paripurna menolak Perppu tersebut, maka UU yang masih “mati suri” itu bisa hidup kembali.

Hal tersebut disimpulkan demikian, dengan bersandar pada beberapa alasan. Pertama, Perppu Pilkada yang dikeluarkan Presiden SBY sebagai pengganti atas UU Pilkada sebelumnya (hasil paripurna DPR), masih akan diuji kembali oleh DPR dalam sidang Paripurna. Apakah Perppu yang dikeluarkan oleh Presiden ini memenuhi syarat atau tidak? Dalam putusan MK (Mahkamah Konstitusi) Nomor: 138/ PU-VII/ 2009, ada beberapa syarat penerbitan Perppu yaitu, 1). Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang; 2). Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai; 3). Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Jika nanti dalam sidang paripurna, DPR menolak Perppu yang diterbitkan Presiden, maka secara hukum berarti Perppu yang dikeluarkan oleh Presiden tersebut tidak memenuhi syarat, sebagaimana putusan MK di atas. Sehingga UU Pilkada yang merupakan hasil paripurna DPR, yang sempat disahkan oleh Presiden tetap dapat diberlakukan kembali, dengan alasan bahwa Perppu sebagai pengganti atas UU Pilkada sebelumnya memiliki “kecacatan” secara formil.

Kedua, Perppu Pilkada hanya didesain untuk mengisi kebutuhan hukum mendesak dan mengisi kekosongan hukum, bukan untuk membatalkan atau mencabut undang-undang sebelumnya. Karena pada dasarnya, suatu peraturan perundang-undangan atau ketentuan dalam peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut oleh peraturan perundang-undangan itu sendiri. Dalam Ilustrasi yang seperti ini: UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mencabut UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Ketiga, dilihat secara formil pembentukan Undang-Undang dan Perppu sangat berbeda, keberadaan suatu Undang-Undang lahir dari pembahasan dan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR, sementara Perppu lahir karena penilaian subyektif Presiden terhadap kegentingan yang memaksa. Adapun “naik kelasnya” Perppu tersebut menjadi Undang-undang harus menunggu penilaian obyektif DPR. Itu artinya, bahwa Perppu baru bisa mencabut UU Pilkada sebelumnya apabila Perppu tersebut telah diterima oleh DPR dan ditingkatkan menjadi Undang-Undang, maka dalam posisi inilah baru dapat dikatakan Undang-undang Pilkada sebelumnya sudah tergantikan dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.

Analisis Damang

Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada sdr Apriyanto Nusa. Saya memiliki pendapat yang “sedikit” berbeda dengan beberapa argumen yang dikemukakan di atas. Sehingga pada akhirnya beliau menarik kesimpulan, sejatinya tidak akan mungkin terjadi “kekosongan hukum” meskipun Perppu Pilkada kelak akan ditolak oleh DPR.

Perlu diketahui, bahwa terbitnya Perppu Nomor 1 Tahun 2014 adalah bersandar pada dua alasan yang telah dipaparkan sebelumnya sendiri oleh sdr Apriyanto dengan mengutip Putusan MK Nomor: 138/ PU-VII/ 2009. Oleh karena syarat kegentingan memaksa yang dimaksud oleh MK dalam putusannya itu merupakan syarat yang sifatnya bisa alternatif, bisa juga kumulatif. Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) menerbitkan Perppu Pilkada, dengan bersandar pada dua alasan, yaitu terjadi kekosongan hukum dan ada kebutuhan hukum yang mendesak.
Nah, bagaimana dapat dikatakan terjadi kekosongan hukum? Sudah pasti sebelum penerbitan Perppu tersebut, UU Pilkada mesti dicabut. Sehingga dengan sendirinya materil Pilkada via DPRD dalam UU Pilkada sudah “mati. Sebab digantikan oleh materil dalam Perppu Pilkada yang menyatakan sistem Pilkada yang sah adalah Pilkada langsung. Itu artinya kalau Perppu ini ditolak oleh DPR, sudah dipastikan tidak ada lagi sistem pillkada yang dapat digunakan. Oleh karena, Pilkada via DPRD sebelumnya telah dinyatakan “mati” lalu dengan datangnya sikap DPR menolak Pilkada langsung yang terdapat dalam materil Perppu tersebut, sistem Pilkada langsungpun juga telah “mati.” Jadi, ruang yang disediakan untuk sistem Pilkada semunya sudah tidak ada. Dengan kata lain benar-benar terjadi kekosongan hukum. (baca juga: Implikasi Hukum Pembatalan Perppu Pilkada)

Terkait dengan unsur “kebutuhan hukum yang mendesak” kemudian Perppu Pilkada lahir, tidak terlalu penting untuk diperdebatkan, karena hal tersebut hanya penilaian yang terjadi karena adanya desakan publik, yang tetap berkukuh pada Pilkada langsung. Termasuk juga, bakal akan diselenggarakannya Pilkada di beberapa daerah saat ini, maka tidak boleh dibiarkan terjadi kekosongan hukum, maka lahirlah Perppu Pilkada untuk menyediakan perangkat hukum terhadap penyelenggaraan Pilkada yang akan berlangsung dalam waktu yang singkat itu, sebagai reaksi lebih lanjut adanya kebutuhan hukum yang mendesak.

Cuma saja yang menjadi masalah, saat kita membincangkan Perppu yang dapat mencabut UU, kemudian mematikan UU tersebut. Tampaknya terbentur pada pertanyaan; Apakah Perppu dapat mengakhiri berlakunya UU?

Dalam penelusuran Penulis, baik melalui teori perundang-undangan, maupun dasar hukumnya dalam UU (khususnya UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Tidak ada argumentasi hukum yang dapat mendukung kalau Perppu dapat mencabut keberlakuan UU. Lazimnya yang diakui melalui doktrin; UU hanya dapat berakhir kalau ditentukan dalam UU itu sendiri. Sedangkan Perppu yang dapat mengakhiri keberlakuan UU tidak ada dasarnya hukumnya sama sekali.

Oleh karena itu, dalam memecahkan masalah ini. Apakah Perppu dapat mencabut keberlakuan UU? Ke depannya mesti menjadi perhatian serius, agar Perppu yang dapat menjadi instrumen hukum pencabut UU, diatur minimal dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Namun satu dan lain hal yang perlu dipikirkan pula, adalah Perppu tidak boleh ‘semena-mena” hanya mencabut UU. Harus diingat bahwa tidak ada jaminan Perppu yang lahir karena telah mencabut UU, keberlakuan Perppu tersebut akan berlaku dalam fase jangka waktu yang panjang. Masih ada penilaian obyektivitas oleh DPR, atas Perppu yang kemungkinan bisa berakhir keberlakuannya. Maka jalan keluarnya, ketika ada Perppu yang mencabut daya mengikat dan keberlakuan UU, penerbitan Perppu harus dianggap bukan “mematikan” UU itu, tetapi hanya menangguhkan/menunda keberlakuan UU, sampai Perppu yang pernah mencabutnya, sudah jelas nasibnya (diterima/ditolak oleh DPR).

Jadi, pengaturan Perppu yang mencabut UU ketika hendak diakomodasi dalam ketentuan hukum, kelak harus ada penjelasannya “bahwa yang dimaksud “pencabutan” ketentuan/UU oleh Perppu adalah menunda keberlakuan UU itu sampai batas Perppu telah selesai dibahas oleh DPR.

Hal ini penting diakomodasi, karena semata-mata demi kepastian hukum. Bahwa pada dasarnya Perppu nanti dapat jelas arah keberlakuannya, ketika sudah ditingkatkan (naik kelas) menjadi Undang-Undang. (AN & DAA)

Artikel Ini merupakan Hasil Elaborasi dari diskusi kami Berdua (Damang dan Apriyanto Nusa: Dosen Ilmu Hukum Unisan Gorontalo)

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...