Dua Capres, Dua Putaran?

SALAH satu yang membuat tidak menarik kontestasi Pilpres kali ini, berdasarkan amatan para penstudi politik, hanya terdapat dua poros kekuatan Capres, yaitu Prabowo Subianto-Hatta Radjasa (Prahara) dan Joko Widodo-Jusuf Kalla (JWJK). Dengan kecilnya jumlah Capres-Cawapres, kekuatan peta politik dengan muda pasti akan terbaca. Hanya akan terjadi Pemilihan Umum Presiden-Wakil Presiden cukup dalam satu putaran saja.

Agak berbeda dengan hasil pengamatan para penstudi hukum ketatanegaraan dalam menyoroti masalah tersebut. Bahwa masih dimungkinkan terjadinya Pilpres dua putaran, meskipun hanya terdapat dua pasangan Capres-Cawapres. Hal ini berangkat dari persyaratan Presiden dan wakil presiden terpilih, tidak hanya dengan wajib meraih suara lebih dari 50 %, tetapi sebaran suaranya harus pula memperoleh 20 %, lebih dari setengah jumlah Provinsi.

Taruhlah misalnya, sekiranya berdasarkan elektabiltas yang tinggi saat ini terhadap Pasangan Jokowi-JK, dan kelak terbukti dalam uji “alat demokrasi” memperoleh suara di atas 50 %, namun dari sebaran suaranya tidak terdistribusi merata 20 % lebih dari setengah jumlah provinsi. Apakah harus mengikuti lagi pemilihan umum Presiden-Wakil Presiden tahap ke dua bersama dengan lawan sebelumnya yaitu Prabowo-Hatta? Pertanyaan ini tentu perlu dicari jawabannya dalam ruang konstitusi dan dimensi ketatanegaraan kita. Benarkah kekhawatiran demikian akan terjadi?

Maksud Persyaratan

Dengan memerhatikan secara cermat dan jeli, konstitusi kita (UUD NRI 1945) memang dianut syarat tambahan jumlah suara 20 % lebih dari setengah jumlah provinsi saat ini. Secara nyata ditegaskan dalam Pasal 6A ayat 3 UUD NRI 1945 “Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50 % dari jumlah suara dengan pemilihan umum dengan  sedikitnya 20 % suara disetiap Provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah Provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.” Dalam makna yang sama, kembali pula ditegaskan dalam Pasal 159 ayat 1 UU Nomor 42 Tahun 2008 Tentang pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden “Pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia.”

Sumber Gambar: koranmanado.blogspot.com

Sumber Gambar: koranmanado.blogspot.com

Berdasarkan redaksi pasal tersebut di atas, tentu pertanyaan yang akan muncul, berlaku pulakah ketentuan  dalam konstitusi dan UU Pilpres, jika hanya diikuti oleh dua kontestan Capres-Cawapres saja? Tidakkah kemudian munculnya pengaturan tersebut, hanya untuk mewadahi, sebab musabab jika jumlah kontestan terdapat lebih dari dua pasangan.

Penting untuk diketahui, seumpama kita tidak pernah membuka UU Pilpres sebagai pengaturan lebih lanjut dari syarat penentuan/ pengusungan Capres-Cawapres dalam angka suara nasional 25 %. Sebagaimana Pasal 6A ayat 2 UUD NRI 1945 telah membuka “pintu”  terhadap semua partai politik yang menjadi peserta pemilu dapat mengajukan pasangan Capres-Cawapres. Berarti sangat besar peluang munculnya; ada banyak pasangan Capres-Cawapres yang masing-masing diusulkan oleh Partai Politik. Pada poin inilah, nampak bahwa syarat presidential threshold 25 % suara nasional dalam UU Pilpres, mengingkari sifat “imperatif”  UUD NRI 1945.

Artinya, Pasal 6A ayat 3 UUD NRI 1945 di sini hadir. Sengaja dimaksudkan, untuk mengakomodasi atas keniscayaan sistem Partai Politik kita yang menganut corak multipartai. Yang tentunya pula, kalau saja semua Partai Politik masing-masing memiliki pasangan Capres-Cawapres, ada kemungkinan bagi pasangan Capres-Cawapres yang berlaga dalam kontestasi pemilu, sulit meraih suara dalam batas angka 50 %. Oleh sebab itu, berdasarkan Pasal 6A ayat 4 UUD NRI 1945; tidak ada cara lain, dengan mengambil dua pasangan Capres-Cawapres yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua, untuk selanjutnya dipilih melalui Pilpres putaran kedua (second round).

Argumentum  a Contrario

Dengan menggunakan tafsir sejarah perundang-undangan, atau dengan kata lain berdasarkan masa dibahasnya konstitusi tersebut. Apa yang ada dibalik kesepahaman para pembuat regulasi, pada saat membahas materi sistem Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden? Nampaknya, para pihak yang terlibat dalam amandemen UUD NRI 1945, mereka tidak hanya terpola dalam pembahasan angka 50 % sebagai persyaratan dapat terpilihnya Presiden-Wakil Presiden. Dengan melacak risalah dari amandemen konstitusi itu, ternyata mereka pula memikirkan persebaran penduduk yang tidak merata, sehingga perlu membicarakan wilayah persebaran suara pula sebagai syarat legalitas terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden.

Pemikiran tersebut mengisyaratkan, bahwa jika diikuti oleh pasangan Capres-Cawapres yang berjumlah banyak. Boleh jadi wilayah Pulau Jawa, akan menjadi rebutan suara. Dan semua pasangan, hanya “memusatkan” untuk mendulang suara pada daerah yang jumlah kantong suaranya melimpah, sekedar mencapai angka suara 50 % saja. Inilah menjadi isyarat sehingga memunculkan Pasal 6 A ayat 3 UUD NRI 1945, disamping pasangan Capres-Cawapres diwajibkan untuk meraih suara 50 %. Dari jumlah suara tersebut, mesti tersebar 20 % suara dalam setengah jumlah Provinsi.

Jika ditarik penalarannya dalam kondisi sekarang. Hanya terdapat dua pasangan Capres-Cawapres. Maka memerlukan model penalaran logis “argumentum a contrario”. Artinya melakukan penafsiran berbeda atau berbanding terbalik dari pengaturan yang sesungguhnya.

Oleh karena maksud dari Pasal 6A ayat 3 dan ayat 4 UUD NRI 1945, dianutnya suara 50 % dan sebaran 20 % dari setengah jumlah Provinsi. Dan jika tidak mencapai angka itu, selanjutnya dilakukan Pilpres tahap kedua. Ternyata dimaksudkan hanya berlaku ketika jumlah pasangan Capres-Cawapres di atas dua pasangan (berjumlah banyak). Berarti kalau cukup diikuti oleh dua pasangan Capres-Cawapres saja. Otomatis pemilunya akan berjalan satu putaran, dan tidak perlu pula memerhatikan wilayah sebaran suara 20 % untuk setengah dari jumlah Provinsi.*

ARTIKEL INI JUGA MUAT DI HARIAN FAJAR MAKASSAR, KOLOM OPINI, EDISI 19 JUNI 2014

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...