Rapuhnya “Koalisi Cinta” di Rumah Biru (PD)
Masih ingatkah kita ketika Anas Urbanungrum (AU), mantan ketua umum Partai Demokrat itu saat ditanya oleh awak media. Apakah AU membenci Partai Demokrat? Dengan lugas menjawab, “Partai Demokrat adalah cinta pertamanya, apapun yang namanya cinta pertama pasti sulit terlupakan.”
Lantas yang menjadi pertanyaan, kenapa Anas setelah diusir dari rumah biru Partai Demokrat, kalau memang di sana (baca: SBY) ada cinta pertamanya, namun tak pernah berkesudahan menghujat, membenci, menyerang, dan mencari kesalahan dari kekasih pertamanya? Itulah cinta, semakin pun dikatakan rela, tulus, ikhlas, sang mantan bisa berbahagia dengan yang lainnya. Hati kecil masih selalu “merontah”. Sungguh ia tak rela hilang cinta pertamanya, karena itu menyakitkan. Mungkin hal ini yang sedang melanda anak kelahiran Blitar 15 Juli 1969 ini, yang juga pernah menjadi ketua umum pengurus besar Himpunan Mahasiswa Islam (1997), salah satu organisasi eksternal kampus yang terbesar di Indonesia.
Sayang seribu kali sayang, kemesraan diantara mereka, Anas dan SBY terlalu cepat berlalu. Waktu tiga tahun bersama tidak menjadi “jaminan” hubungan mereka akan langgeng sebagaimana yang diinginkan oleh dua keluarga (faksi) di rumah biru itu. Pun jalinan cintanya, terputus di tengah jalan, sedianya “pernikahan politik” belum dihelat pada 9 April 2014 nanti.
Suasana kemudian berputar menjadi 190 derajat. Disaat riuh tepuk tangan pernah membahana di ruangan kongres Bandung PD (23/5/010), pertunangan sudah diresmikan, namun tiba-tiba suasana berubah menjadi, mengharu biru. Pasangan yang cocok, serasi, anggun, karakter dan jiwa yang sama, cerdas dan santun, berharap mendapat restu untuk membangun rumah biru menjadi istana megah dikemudian hari punai sudah. Lalu apa yang terjadi hari ini, tinggal cerita yang pernah tertulis dalam lembaran buku sejarah, mimpi untuk merajut cinta dalam satu periode 2014-2019 semua sudah pecah ruah, berkeping-keping, yang ada hari ini hanya sebuah kebencian.
Apa Penyebabnya?
Semua petaka yang melanda kemegahan rumah biru, hancur luluh berantakan perjanjian pranikah mereka disebabkan oleh orang ketiga. Dialah M. Nazaruddin sebagai orang ketiga membeberkan sebuah “perselingkuhan ganjil” yang sedang melanda Anas Urbaningrum.
Ternyata dana dipertunangan Anas menuju kasta tertinggi rumah biru berasal dari sumber haram, uang korupsi. Tersebutlah beberapa nama yang turut ambil bagian seperti Angelina Sondakh, Yulianis, Wafid Muharram hingga Anas Urbaningrum.
Apa boleh buat, karena sang wali nikah bernama “rakyat” dari rencana pernikahan akhirnya tahu sendiri. Kalau dibalik dana pertunangan Anas bersama SBY, harta sang wali juga yang dicuri, digelembungkan untuk menarik simpati, agar si wali nikah merestui hubungannya.
Lembaga surveipun datang serentak, bersamaan mengirim sinyal, kalau akhir tahun 2012 lalu, semakin banyak “wali nikah” tak memberi restu. Hingga kepercayaan untuk membangun rumah megah biru pupus sudah. Dari tahun ketahun, terus mendekati detik-detik pernikahan politiknya, harapan agar kepercayaann itu kembali pulih, tendeng aling-aling tak kunjung datang juga restu yang kembali membaik.
Maka bersuaralah “keluarga” Cikeas (SBY), para petuah dan penasehat politiknya seperti Syarif Hasan, Jero Wacik, Max Scopacua segera mengakhiri hubungan cinta sang dua sejoli, yang tidak lagi mendapat restu dari wali nikah, yang sudah dikuatkan melalui perjanjian pranikah mereka.
Bahkan boleh dikata perjanjian pranikah, kembali diperbaharui melalui “pakta integritas”. Jika benar-benar ada keluarga yang berbuat serong, segeralah angkat kaki dari rumah biru itu. Namun apa lacur, SBY nampaknya juga tak rela jika ia yang kelihatan mengusir tunangan politiknya. Dia sadar tidak bisa lagi menjadi kepala rumah tangga nantinya, sehingga berbuat semena-mena, dengan cara memutuskan tali kasih kepada Anas tanpa ada alasan yang jelas. Dikhawatirkan satupun wali nikah yang diharapkan, nanti tak akan ada lagi memberi restu utuk pasangan yang berbeda (bukan Anas).
Saban waktu datang, alasan untuk mengakhiri hubungan cinta mereka akhirnya sangat beralasan. Anas tahu akan hal itu, surat sakti yang bernama surat perintah penyidikan kemudian membuat namanya jatuh menjadi nista jika harus bertahan diri, tetap berlenggok-lenggok di rumah biru dengan para sanak keluarga politiknya. Akhirnya Ia sadar, meminta untuk angkat kaki, tanpa disuruhpun, tanpa dia tunduk pula pada pakta integritas, pasti akan minggat, karena itulah keyakinan yang harus dilakukannya.
Resmi Berakhir
Pasca keluar dari rumah biru Demokrat, saat itulah hubungan cintanya resmi dikatakan berakhir. Anas kembali menggelandang, memotret hidupnya seperti sedia kala, memlih lebih dekat pada Tuhan, agar kiranya rasa sakit, dan kesedihannya mampu terobati. Beruntung masih ada “keluarga politiknya” rela menggelandang, hidup serba cukup, tidak lagi menikmati makanan hotel berbintang, ikut bersama Anas, untuk menguatkan di medan pertarungan kembali membuka halaman baru.
Lagi-lagi yang namanya “cinta pertama” walau dibibir mengatakan sudah mengikhlaskan kepergiannya. Tapi karena maksud hati yang berbalut “dendam” bagai kesumat. Petualangan buruk cinta mereka dulunya, selalu ingin dipublikasikan. Maklum, dan wajar jika terjadi yang demikian, hubungan masa lalu, ada banyak menyimpan rahasia, sehingga sekali-kali ancaman membuka tabir gelap rahasia diantara mereka berdua, boleh saja Anas sekali-kali mendegungkannya.
Maksud hati menjatuhkan sang mantan kekasih, apa dikata “tuah” itu mau tidak mau Anas yang harus menanggungnya. Hendak membuka Aib sang mantan ternyata dirinya menjadi korban, ibarat senjata makan tuan. Sungguh kejam cinta mereka karena terselimuti dengan dendam kesumat, yang sulit melihat bekas rumah birunya akan terselip kebahagiaan.
Anas “digelandang” di hadapan para pencari keadilan, para wali nikah politik rakyat, guna mempertanggungjawabkan “biaya haram” politik pertunangannya di kasta biru, dua, tiga, empat tahun silam.
Ironi dan ironi, dengan berakhirnya hubungan mereka. Akhirnya tak kuasa Anas menahan pedih saat dirinya, harus mengaku bersalah atas hubungan haramnya. Dahulu kala bahwa hubungan itu memang tidak dibenarkan. Dengan rasa yang memiris hati, mengelus dada, tidak lebih tidak pula ada kurangnya Anas mengucapkan “rasa terima kasih kepada mantan kekasihnya” kalau sejatinya mereka pernah merajut cinta, banyak liku-likunya, hingga meninggalkan kesan sulit amat terlupakan.
Pertanyaannya, apakah Anas tulus mengucapkan terima kasih itu, sebagai kado terindah di awal tahun untuk SBY ? Bahagiakah SBY melihat Anas terluntah-luntah cinta benar pada Demokrat ? Jawabannya hanya dari keduanya sendiri yang tahu, apa yang sedang ada di hati mereka. (*)