Menguji Ketuhanan Mahkamah Konstitusi
Jamak diketahui bersama, kalau filosofi lahirnya sosok Hakim di ruang altar suci pengadilan. Adalah Wakil Tuhan yang selalu bekerja keras melaksanakan hukum-hukum “Tuhan” di muka bumi. Hakim bekerja sebagai penafsir hukum, bahkan lebih dari itu juga sebagai pembuat hukum guna kepentingan ummat manusia.
Dibandingkan dengan perkara-perkara lainnya yang sering diadili oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini melalui perkara yang diajukan oleh segerombolan anak muda (Damian Agata Yuvens D.kk) atas uji Pasal 2 ayat 1 Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perlawinan. Hakim konstitusi benar-benar akan diuji ketuhanan mereka.
Permohonan uji materil ini bisa dikatakan lebih dahsyat kerumitannya, dibandingkan dengan uji hasil rekapitulasi Pilpres kemarin. Sebab permohonan kepada Hakim MK, yakni hak untuk melangsungkan perkawinan beda agama, bersentuhan dengan pengalaman esoterik masing-masing pemeluk agama. Bumi persada Indonesia bukanlah negara agama, bukan pula negara sekuler, tetapi negara yang mengakui keanekaragaman agama.
Tuhan Kedua
Pasal 2 Ayat 1 UU Perkawinan yang menegaskan “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Penting untuk diketahui, bahwa poisisi negara dalam ruang tersebut, tidak memiliki kekuatan “absolut” menyatakan bahwa perkawinan tersebut sah seadanya. Tapi lebih lanjut menyerahkan sepenuhnya kepada hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Di sinilah demarkasi kekuasaan negara sedang dibatasi yang tiada sempurna, dan menyerahkan kesempurnaannya kepada keyakinan masing-masing agama.
Maka, sang bijak hakim konstitusi di sini, pun akan mengakui keterbatasannya. Seyogianya Hakim MK tidak dapat menjadi penafsir “hukum tunggal”, atas hukum yang terpancarkan oleh Tuhan kepada setiap penganutnya.
Dalam nukilan sejarah lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan perjuangan panjang dari para founding fathers kita. Kemudian ditemukan prinsip moral yang bisa menyatukan semuanya; “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Berkali-kali nilai fundamental ideologi negara tersebut digugat, tapi hingga sekarang tak ada perubahan sekalipun.
Dalam hemat penulis, menilai lahirnya ketentuan perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Adalah sulit dilepaskan dari pancaran cahaya Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, dikala Hakim konstitusi hendak menguji kesahihan perkawinan, sebagai bagian dari “peribadatan” tiap-tiap agama. Hakim konstitusi harus menjadi “Tuhan kedua” yang tidak boleh imparsial dalam memperlakukan tiap-tiap agama.
Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah kalimat sederhana, yang dengan serta-merta lahir tanpa ada sebabnya. Namun kalimat yang akan menjadi hidayah keadilan bagi putusan pengadilan MK kelak: “demi keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Adakah nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa kiranya yang dapat membolehkan “perkawinan beda agama”? Untuk jawaban itu, mari kita serahkan kepada Hakim MK yang akan menjadi “Tuhan kedua” menyampaikan segala risalahnya.
Living Constitution
Seperti Kitab masing-masing pemeluk agama, yang tidak pernah mengalami daluarsa atas segala perkembangan zaman. Serupa namun tidak sama, konstitusi juga harus diperlakukan demikian. Segala ketentuan-ketenttuannya pasti berlaku umum, untuk mengikuti dinamisasi perlakuan dan perbuatan ummat manusia.
Jika kelahiran hukum perdata Barat yang tersimpul dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) telah mengalami dinamisasi sehingga muncul UU Perkawinan adalah sebuah keniscayaan. Maka harus dipahami bersama, kebebasan untuk menikah tanpa ada batasan keyakinan dalam KUHPer, kemudian dibatasi melalui nilai ajaran agama dalam UU Perkawinan. Inilah hukum hidup (living constitution) yang tidak boleh ditanggalkan oleh konstitusi kita. Termasuk Hakim konstitusi tidak boleh mengabaikannya, disaat menafsir sebab-musabab dilarangnya perkawinan beda agama.
Memang Pasal 28 B ayat 1 UUD NRI 1945 memberikan hak kepada setiap orang untuk membentuk keluarga dan mendapatkan keturunan. Namun haruslah melalui perkawinan yang sah. Tetapi perkawinan yang sah bukanlah “produk asli” konstitusi. Frase perkawinan yang sah tidak pernah menjadi perdebatan saat amandemen kedua UUD NRI 1945. Bahkan naskah komphrensif UUD NRI 1945 tidak cukup bukti dalam memberikan penjelsan yang tegas: Apa yang dimaksud perkawinan yang sah?
Oleh karena itu tidak ada jalan lain, yang akan membuka segala kegelapan dan kekalutan “dilarangnya perkawinan beda agama”. Hakim konstitusi, harus menyampaikan tafsirnya: bahwa dilarangnya perkawinan beda agama, karena setiap nilai-nilai ajaran agamanya tidak ada yang membolehkannya.
Pada hakikatnya setiap individu boleh saja mengklaim prifasi peribadatan perkawinan. Tetapi jangan lupa, anda akan dibatasi oleh nilai-nilai keuniversalan ajaran agama, dimana anda menentukan pilihan terhadap agama itu. Ada pembatasan tafsir pribadi oleh keunifersalan nilai ajarn agama, secara kasat mata. Di sanalah living constitution yang sulit untuk diteropong secara jelas. Semuanya bersandar pada kearifan Hakim MK, untuk menjadi penyambung “wahyu” atas “risalah” perkawinan beda agama .*