Menyoal Polemik Perppu MK
Hingar bingar politik nasional tampaknya akan selalu panas dalam beberapa waktu kedepan. Tidak saja soal persiapan menuju pemilu 2014 yang tinggal tersisa beberapa bulan lagi, namun kiprah dan sepak terjang KPK akhir-akhir ini turut mengundang decak kagum. Apalagi pasca penangkapan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) terkait suap belum lama ini. KPK panen pujian, sebaliknya, MK panen cibiran dan hujatan. Ibarat pepatah “panas setahun dihapus hujan sehari,” begitulah kondisi MK saat ini. Wibawa dan kredebilitas yang dibangun sekian lama, akhirnya hancur lebur akibat ketamakan hakimnya sendiri.
Polemik status Akil Mochtar yang menjadi tersangka KPK menjadi bola liar. Isu ini kemudian menggiring Presiden untuk segera mengambil sikap. Presiden berada ditengah-tengah arus aspirasi publik yang menuntut adanya keputusan yang bersifat konkrit dan segera. Antara reaksi kekecewaan publik, suara-suara yang menghendaki MK dibubarkan saja, hingga kalangan aktivis anti korupsi dan pengamat konstitusi yang tetap teguh mendorong penguatan MK kedepan, terlepas dari kasus yang menimpa Akil Mochtar.
Merespon reaksi tersebut, pada Sabtu 5 Oktober 2013 lalu, Presiden mengundang beberapa ketua lembaga negara berkumpul dan mendiskusikan strategi “penyelamatan MK.” Sinyal adanya “situasi darurat” mendorong Presiden segera mengambil sikap.
Terakhir, Presiden mengambil keputusan akan mengajukan Perppu penyelamatan MK sebagai tanggungjawab konstitusionalnya selaku pemegang kekuasaan pemerintahan negara. Rencana ini lagi-lagi menuai polemik. Tidak kurang berapa pengamat tata negara, termasuk sejumlah mantan hakim konstitusi dan hakim konstitusi saat ini memberikan respon berbeda. Ada yang menyetujui, dengan pertimbangan Perppu dibutuhkan untuk menyelamatkan MK saat ini. Namun ada pula yang menolak penerbitan Perppu, dengan alasan mengintervensi independensi kekuasaan kehakiman yang seharusnya mandiri. Maupun alasan ekstrim lainnya, Perppu tersebut akan “mengebiri” MK. Mantan Ketua MK Jimly Ashiddiqqie dan sejumlah hakim MK lainnya berada dalam barisan penentang Perppu ini.
Dalam pengamatan yang proporsional, tulisan ini akan membedah polemik Perppu MK yang rencananya akan diterbitkan oleh Presiden dalam waktu dekat.
Perlukah Perppu MK?
Secara konstitusional, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Hal ini kemudian disebutkan kembali dalam Pasal 1 ayat (4) UU No 12 Tahun 2011 tentang Tata Urutan Perundang-Undangan, bahwa Perppu adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Ada dua aspek terkait tafsir terhadap kedua pasal ini. Pertama, subjek yang berwenang mengeluarkan Perppu ini adalah presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintah negara (top executive). Kedua, Perppu dikeluarkan akibat situasi “genting” dan “memaksa.”
Untuk aspek pertama, konstitusi maupun undang-undang terkait secara tegas dan jelas memberikan hak kepada presiden untuk menerbitkan Perppu. Kata “hak” disini bisa ditafsirkan sebagai kewenangan. Artinya, Presiden berwenang menerbitkan Perppu dengan alasan sebagaimana mestinya.
Pada konteks ini, hal tersebut tidak masalah. Konstitusi memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden dalam menjalankan pemerintahan, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan negara. Termasuk dalam menerbitkan Perppu.
Masalah muncul terkait istilah “kegentingan” dan situasi yang “memaksa” presiden untuk menerbitkan Perppu ini. Muncul perdebatan, apakah kasus Akil Mochtar yang berimbas pada kekosongan kursi hakim di Mahkamah Konstitusi bisa ditafsirkan sebagai situasi yang genting dan memaksa itu? Apakah tafsir situasi genting dan memaksa itu bisa disamakan jika negara dalam masa darurat perang, bencana kelaparan, atau diserang wabah penyakit?
Tidak berhenti disitu, pertanyaan lain mengemuka. Apakah Perppu tersebut menerobos batas independensi kekuasaan kehakiman (independent of judiciary power) yang seharusnya mandiri, lepas dari intervensi kekuasaan lain? Sehingga Presiden bisa dituduh menyalahgunakan kekuasaannya yang bisa berakibat presiden bisa di impeach? Mengapa tidak dikembalikan saja pada DPR untuk mengajukan penggantian hakim MK yang menjadi kewenangannya? Toh juga Perppu tersebut belum tentu disetujui DPR. Pertanyaan ini berputar dikepala para pengamat dan pegiat konstitusi, termasuk presiden sendiri.
Memang debatable. Tidak saja soal materi Perppu yang diatur. Perppu ini juga membuka ruang konflik antara eksekutif dan yudikatif. Prinsip independensi kekuasaan kehakiman bisa menjerat presiden dengan tuduhan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Apalagi MK sudah “mengancam” akan me-judicial review Perppu itu. Walaupun suara dari pengamat tata negara, seperti Yusril Ihza Mahendra menganggap jika MK kurang etis jika me-judicial review Perppu, seandainya Perppu tersebut sudah ditetapkan oleh Presiden setelah disetujui DPR. Alasannya sederhana, MK tidak mungkin menguji dirinya sendiri.
Rencana isu yang akan dimuat dalam Perppu juga mengundang perdebatan. Materi tersebut menyentuh kewenangan MK yang sangat substansial. Seperti soal materi Perppu yang “memerintahkan” Komisi Yudisial (KY) untuk mengawasi MK. Jika ini dimuat, maka Perppu tersebut “melawan” putusan MK pada tahun 2006 dalam pengujian undang-undang (PUU) No 22 Tahun 2004 tentang KY. Dalam putusan yang gugatannya diajukan sejumlah hakim agung tersebut, hakim konstitusi dan hakim agung bukan merupakan objek pengawasan KY.
Terkesan arogan memang. KY jelas meradang karena merasa hak konstitusionalnya “dikebiri” oleh putusan tersebut. Jika Perppu tersebut keluar, KY merasa “diuntungkan.” Walaupun itu mengindikasikan eksekutif sudah terlalu jauh masuk dalam wilayah yudikatif. Perppu tersebut berefek ganda, “mengebiri” MK, juga “memerintah” KY. Ini sebenarnya tidak baik dalam konteks independensi kekuasaan kehakiman.
Kemudian, jika materi tersebut mengurusi kewenangan MK terkait penyelesaian sengketa hasil pemilukada yang menjadi ruang masuknya potensi korupsi sebagaimana dialami Akil Mochtar kali ini. Entah membatasi sebagian dari kewenangan MK itu atau menghapus seluruhnya, juga bisa mengundang polemik. Jika ingin aman, presiden bisa mengambil keputusan membentuk pengadilan pemilu yang akan mengadili semua sengketa pemilu, termasuk pemilukada, yang hakim-hakimnya diisi oleh mantan hakim yang berintegritas. Akan tetapi, pengadilan pemilu juga harus dibentuk melalui undang-undang dengan melibatkan DPR, tidak bisa cuma Keppres, Perpres atau produk hukum lain yang hanya dikeluarkan presiden. Posisi kembali debatable.
Berbagai masalah tersebut membuat posisi presiden dalam menerbitkan Perppu penyelamatan MK menjadi dilematis dan memicu polemik yang berkepanjangan. Bisa-bisa hal ini menjurus pada isu politik terkait Pilpres 2014 yang akan menimbulkan kegaduhan politik baru. Presiden pasti bersikap hati-hati memikirkan hal ini.
Tapi kembali kepada tafsir konstitusi, presiden sebagai penanguggungjawab tertinggi kekuasaan pemerintahan negara berkewajiban memikirkan jalan keluar atas masalah ini. Presiden juga memikirkan berbagai polemik tersebut, akan tetapi pada saat yang bersamaan ia tidak menemukan saluran hukum lain yang lebih solutif untuk memecahkan masalah MK ini. Menunggu DPR menggunakan kewenangannya mengusulkan hakim pengganti akan memakan waktu yang lama sementra situasi saat ini dipandang dalam status “genting/darurat”. Sejumlah perkara harus segera disidangkan dan dputuskan. Sehingga menganggap ada alasan untuk mengeluarkan Perppu.
Terlepas dari itu, publik menunggu langkah taktis dan cerdas dari presiden untuk mengatasi masalah ini. Solusi yang harus dikeluarkan harus bersifat solutif dan komprehensif, memecahkan masalah dengan tidak menimbulkan kegaduhan politik yang baru. Negara ini sudah sering dibuat gaduh oleh masalah sepele yang sengaja dibesar-besarkan. Jangan menunggu rakyat yang bersikap. Karena bisa jadi, itu tanda negara ini diambang revolusi.
Oleh: Wiwin Suwandi
Dimuat melalui harian Media Indonesia, Jum’at 18 Okt 2013
Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin (UNHAS), Makassar. Peneliti pada Pusat Kajian Konstitusi (PKK) UNHAS
lihat juga melalui; republikinstitute.com