Asas Legalitas dalam Hukum Pidana
Hukum pidana dapat dikatakan ruang lingkup hukum yang paling ketat dalam menerapkan aturan perundang-undangan. Bahkan lebih dari itu, suatu perbuatan tidak akan dianggap sebagai perbuatan hukum tanpa ada sistem aturan yang mengaturnya. Dalam konteks itulah lahir apa yang dinamakan asas legalitas.
Bellefroid mengemukakan bahwa asas merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat. Senada dengan Homes mengemukakan pula bahwa asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma hukum yang konkret, tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum bagi petunjuk yang berlaku. (W. Friedman: 1994)
Kembali pada arti lebih lanjut dari asas legalitas, secara sedehana dapat diartikan bahwa sahnya suatu perbuatan sehingga menjadi perbuatan pidana jika ada undang undang yang mengaturnya.
Tentu pertanyaan akan muncul berdasarkan pendefenisian tersebut: apakah perbuatan ataukah kejahatan yang tidak dirumuskan dalam sebuah aturan bukan tindak pidana?
Berangkat dari pertanyaan tersebut, maka dapat diidentifikasi cikal bakal lahirnya asas legalitas, yang pada hakikatnya; jika ada perbuatan tanpa ada Undang-Undang yang mengaturnya kemudian serta merta digolongkan sebagai tindak pidana, maka pihak yang menegakkan perbuatan itu akan cenderung melahirkan kesewenang-wenangan. Dengan seenaknya saja kekuasaan yang telah terberi pada organ kekuasaan terkait akan menggunakan hukum pidana menurut kehendak dan kebutuhannya.
Menurut sejarahnya, asas legalitas pertama kali dicetuskan oleh Paul Johan Anselm von Feurbach. Setidaknya asas legalitas terkunci dalam postulat “nullum dellictum nulla poena sine praevia lege poenali”—-tidak ada perbuatan pidana atau tidak ada pidana tanpa Undang-Undang pidana sebelumnya.
Jika principat dalam hukum pidana ini diturunkan lebih lanjut.maka akan menjadi tiga frasa, meliputi:
- Nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut Undang-Undang);
- Nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana);
- Nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut Undang-Undang)
Eddy O.S. Hiariej (2012) memberikan makna dalam tiga frasa itu, sebagai asas yang memiliki dua fungsi: (i) Fungsi melindungi yang berarti Undang-Undang pidana melindungi rakyat terhadap kekuasaan Negara yang sewenang-wenang; (ii) Fungsi instrumentasi, yaitu dalam batas-batas yang ditentukan Undang-Undang, pelaksanaan kekuasaan oleh Negara tegas-tegas diperbolehkan. Fungsi melindungi lebih pada hukum pidana materil (hukum pidana) yang mengacu pada frasa pertama (nulla poena sine lege) dan kedua (nulla poena sine crimine), sementara fungsi instrumentalis lebih pada hukum pidana formil (hukum acara pidana) yang mengacu pada frasa ketiga (nullum crimen sine poena legali).
Satu dan lain dalam perkara-perkara pidana, untuk pemecahan kasus-kasus perbuatan pidana, penting untuk diketahui; empat makna asas legalitas yang dikemukakan oleh Jeschek dan Weigend (Machteld Boot: 2001) diantaranya:
- Terhadap ketentuan pidana, tidak boleh berlaku surut (nonretroatkif/ nullum crimen nulla poena sine lege praviae/ lex praeviae);
- Ketentuan pidana harus tertulis dan tidak boleh dipidana berdasarkan hukum kebiasaan (nullum crimen nulla poena sine lege scripta/ lex scripta);
- Rumusan ketentuan pidana harus jelas (nullum crimen nulla poena sine lege certa/ lex certa);
- Ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat dan larangan analogi (nullum crimen poena sine lege stricta/ lex stricta).
Berdasarkan keempat makna asas leglitas di atas, menjadi dasar dalam menganggap, kemudian membuktikan sejelas-jelasnya, dari setiap orang yang telah melakukan perbuatan pidana, sehingga patut mempertanggungjawabkan perbuatannya itu.