UU Pilkada Non Prediktibel
Hanya Keledai jatuh dua kali di kubangan yang sama. Pribadi DPR tentu tiada mau. Demikianlah pepatah yang cukup mewakili “suasana kebatinan” wakil kehormatan kita dikala merevisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 atas perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pemilihan/UU Pilkada).
Simaklah Pasal 9 ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang pada intinya menegaskan kalau dalam pembentukan Peraturan Pelaksanaan UU Pilkada, maka diwajibkan kepada KPU untuk berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat.
Motif lahirnya ketentuan tersebut, kembali menggedor pintu kesadaran kita semua lagi, hampir-hampir saja gelombang pilkada serentak pertama yang lalu, salah satu partai lawas di negeri ini, tidak dapat menjadi peserta dalam Pilkada 2015, sebab kekisruhan internal yang tiada berujung membawa pimpinan tertingginya (Ketua Umum) “dihalang” memberikan rekomendasi dalam pengusungan Pasangan Calon Kepala Daerah (Cakada). Nah, berangkat dari situlah kemudian pribadi DPR sebagai perwakilan politik, tidak mau lagi terperosok pada “kepentingannya” tanpa terakomodasi dalam UU Pilkada.

Sumber Gambar: rakyatsulbar.co
Non Prediktibel
Gayung bersambut, pucuk “dicinta” ulam pun tiba, isu seputar terpidana percobaan yang tidak terpikirkan sebelumnya dalam revisi UU Pilkada, akhirnya ditemukan jawabannya. Disepakatilah oleh DPR dan KPU melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencalonan Pilkada, sebagai pengecualian syarat Cakada berstatus terpidana percobaan.
Konteks kekeliruan mendasar UU Pilkada, yaitu seolah-olah ketentuannya dianggap belum final, dengan masih dimungkinkannya diatur berbeda melalui penderivasian PKPU. UU Pilkada menyatakan syarat Cakada bukan sebagai terpidana, namun melalui turunannya (PKPU No.9/2016) mengatur sebaliknya, bahwa tidak termasuk terpidana percobaan hal ihwal syarat Cakada.
Di satu sisi, UU pemilihan dianggap sudah “mengikat,” semua orang harus mematuhinya (Igronantia Legis Excusat Neminem), namun di sisi lain memiliki “tekstur terbuka” untuk diatur berbeda dalam kaidah hukum tata laksananya.
Pada asasnya nalar UU Pilkada vs PKPU a quo mengalami konflik antar noma (antinomy), sebab ipso jure akan “mendistorsi” hukum perundang-undangan dalam tatanannya. In concreto menyalahi maxim “Lex Superior Derogate Legi Inferior.” Ketentuan hukum yang lebih tinggi mengenyampingkan ketentuan hukum yang lebih rendah.”
Apa yang terjadi selanjutnya, jika KPU/KPUD harus menerima pengecualian syarat Cakada berstatus terpidana percobaan? Hal demikian sudah pastinya menjadi bentuk pemaksaan kepada penyelenggaran pemilihan melakukan pelanggaran “landasan moral” suatu pembentukan Undang-undang, sebab sejatinya asas hukum (principium legis) merupakan “jantungnya Undang-undang” plus tempat pengendapannya hukum positif.
Bisa dikatakan bahwa yang menjadi causa prima bagi KPU “diamputasi” kewenangannya oleh DPR, sehingga perundang-undangan menjadi “error in objecto,” terletak pada pembentukan hukum (UU Pilkada) sarat pengabaian arah dan tujuannya, harus prediktibel. Seyogianya UU sebelum dinyatakan mempunyai kekuatan mengikat dan keberlakuan, imperatif adanya dalam “meramalkan” permasalahan yang akan terjadi di kemudian hari. Ringkasnya, jauh-jauh sebelum masalah itu muncul, Undang-undang sudah mendeteksinya lebih dini.
Dalam konteks demikian, UU Pilkada gagal “meramalkan” dari tujuan perihal kaidah hukum yang mengatur boleh atau tidaknya terpidana percobaan ditetapkan sebagai Pasangan Cakada.
Kesalahan pokoknya, mohon maaf! kalau harus mengatakan pembentuk Undang-undang sendiri “berkognitif rendah” dalam ilmu perundang-undangan, sehingga ditaktisi dengan jalan KPU/KPUD dilumpuhkan, sembari menjadikan perundang-undangan tidak harmoni lagi. Maka lahirlah UU Pilkada non prediktibel.
Carut-Marut
Penulis sendiri, bukan tidak menyetujui “dispensasi” syarat Cakada berstatus terpidana percobaan, sebab baik secara ipso jure maupun secara ipso facto tidak ada halangan baginya mendapat kedudukan sama dalam pemerintahan.
Ipso jure, right to be candidate akan tetap berlaku bagi setiap orang sepanjang hak politiknya tiada pernah dicabut melalui vonis pengadilan inkra. Ipso facto, Cakada berstatus terpidana percobaan tidaklah menjalani panopticon (penjara), sehingga tidak menjadi halangan secara “badaniah” dalam menjalankan fungsi sebagai “pribadi (person)” ketika ditetapkan sebagai Pasangan Cakada.
Seketat-ketatnya perundang-undangan dalam “kefiksiannya” (mengikat setelah dilembagakan dalam lembaga negara) masih menyimpan celah untuk mengalami perombakan dalam konsepsi state based law. Perubahan atas UU Pilkada dalam menangkal hukum yang berjalan tertatih-tatih di belakang kenyataan (Het Recht Hink Achter De Feiten Aan), legislative review atau judicial review merupakan instrumen legitimate yang dapat dijalankan.
UU Pilkada jika dianggap tidak mengakomodasi masalah kekinian, maka legislatif (DPR) seharusnya melakukan revisi terbatas dalam ketentuan yang dimaksudkan itu. Ataukah dengan mengajukan permohonan pengujian Undang-undang atas ketentuan tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK), perihal muatannya in casu bertentangan dengan hak konstitusional warga negara.
Kini, nasib Cakada berstatus terpidana percobaan makin simpang siur. DPR bersama KPU sudah lebih awal menyepakati dalam rapat dengar pendapat, bahwa kepadanya dikecualikan dari syarat Cakada. Sementara, MK masih sedang bergelut dalam memeriksa konstitusionalitas Cakada berstatus terpidana percobaan tersebut.
Pribadi DPR dan KPU akan tersenyum “sumringah” lagi menepuk dada andai saja putusan atas pengujian ketentuan itu dikabulkan. Tetapi jika ditolak, maka siap-siaplah untuk kembali berhadapan dengan Pilkada 2017 yang makin carut-marut lagi.*