Urgensi Perppu Penyelamatan MK
HIRUK-PIKUK Operasi Tangkap Tangan (OTT) pucuk pimpinan Hakim konstitusi di awal bulan oktober ini, perlahan mulai redah menjadi topik harian berbagi media. KPK diharapkan cepat menuntaskan kasus penyuapan terhadap Akil Mochtar (AM) dan membawanya ke meja hijau, pengadilan Tipikor, agar kepercayaan public sedianya dapat dipulihkan, bahwa hukum memang panglima di negeri ini. Demikian pula majelis kehormatan yang dibentuk oleh MK agar segera menuntaskan kerjanya, guna menentukan status AM secepatnya, toh secara “empiric” sudah dapat dikatakan AM melanggar kode etik kehakiman. Majelis kehormatan tunggu apa lagi, silahakan perjelas status AM.
Satu dan lain hal, persepsi public yang minim tafsir hukum, gara-gara akil tertangkap tangan oleh KPK dalam indikasi suap, menyebabkan peristiwa penangkapan itu dimaknai sebagai “nokta hitam” entitas Negara dalam keadaan terancam. Sehingga kepala Negara sekelas SBY pun bertindak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu No. 1 Tahun 2013) tentang Perubahan UU No. 24 tahun 2003 tentang MK, resminya pada tanggal 17 Oktober 2013.
Setidaknya ada tiga poin penting dari Perppu tersebut; Pertama, untuk mendapatkan hakim konstitusi yang baik, ada perubahan dalam persyaratannya sesuai Pasal 15 ayat 2 huruf i. Syaratnya, seseorang tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat tujuh tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi. Kedua, Perpu memuat penyempurnaan mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi, sehingga memperkuat prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas sesuai harapan dan opini public. Ketiga, sebelum ditetapkan oleh Presiden, pengajuan calon hakim konstitusi oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden didahului oleh proses uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan panel ahli.
Kegentingan Memaksa
Untuk menakar alasan konstitusional Perppu dapat diterbitkan mengacu pada sifat “kegentingan memaksa”, itu artinya Perppu diterbitkan tercermin dari tindakan yang cepat untuk mengatasi kegentingan memaksa tersebut. Terkait kegentingan memaksa Pasal 22 UUD NRI 1945 menegaskan bahwa (1) dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti undang-undang; (2) Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut, dan (3) jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut. Ketentuan tersebut kembali dipertegas di dalam Pasal 1 angka (4) dan Pasal 52 Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Nampaknya, dalam penjelasan UU tidak dijelaskan apa definisi atau syarat dari sifat ”kegentingan yang memaksa” yang dimaksud dalam pasal tersebut. Oleh sebab itu yang menjadi pertanyaan bagi kita semua, apakah dengan tertangkapnya ketua MK (non aktif) AM dalam kasus suap dapat dikatakan memenuhi syarat sebagai keadaan darurat atau kegentingan yang memaksa ? Apakah kasus korupsi yang menyeret pimpinan tertinggi Mk telah mengakibatkan warga Negara kehilangan hak konstitusionalnya?
Perspektif yang dapat memberikan gambaran singkat kegentingan memaksa, adalah AALF vanDullemen dalam bukunya “Staatsnoodrecht en Democratie” (1947) mengemukakan ada 4 (empat) syarat hukum tatanegara darurat, yaitu; Pertama, eksistensi Negara tergantung tindakan darurat yang dilakukan; Kedua, tindakan itu diperlukan karena tidak bisa digantikan dengan tindakan lain; Ketiga, tindakan tersebut bersifat sementara; dan Keempat, ketika tindakan diambil, parlemen tidak bisa secara nyata dan sungguh-sungguh. Dullemen mempertegas keempat syarat tersebut harus berlaku secara kumulatif.
Mari kita menggunakan ukuran pandangan teoritik sebagaimana yang diungkapkan Dullemen di atas, maka penerbitan Perppu tentang pengawasan hakim MK oleh Presiden SBY tidak memenuhi syarat sebagai kegentingan yang memaksa. Alasannya, karena Pertama, dalam konteks ini, eksistensi Negara tidak dapat dikategorikan darurat. Tertangkap tangannya ketua MK (non aktif) AM memang dibuat Negara menjadi panik bahkan seluruh fungsi Negara mengalami guncangan sitemik. Tetapi tidak dapat dikatakan mengancam eksistensi Negara. Walaupun Perppu tidak diterbitkan oleh Presiden fungsi-Mk tetap dapat berjalan, MK tetap dapat memeriksa, mengadili dan memutus perkara, termasuk hak-hak konstitusional warga Negara tidak akan pernah hilang akibat peristiwa itu. Walaupun MK tidak menjalnkan tungsnya gaar-gara kasus itu, MK sendirilah yang melanggar UU. Kedua, masih ada tindakan lain yang dapat diambil oleh presiden atas peristiwa itu, misalnya dengan mengeluarkan PP terkait dengan tahapan seleksi hakim MK. Bukankah UU MK masih dapat dijabarkan melalui PP yang lebih jelas hirearkisnya. Ketiga, sifat dari pada Perppu adalah sementara lalu pengaturan tentang pengawasan Hakim MK merupakan hal yang sangat penting. Yang berbahaya dalam pengaturan Perppu menyangkut pengawasan hakim MK Presiden bisa mengubah sewaktu-waktu aturan yang dibuatnya sendiri karena ada tendensi politik. Keempat, presiden dapat mengambil langkah darurat untuk mengeluarkan Perppu ketika DPR tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Faktanya, saat ini tidak begitu, DPR malah merespon untuk bersama-sama menyelesaikan persoalan yang melanda MK.
Check and Balance
Meskipun penerbitan Perppu oleh Presiden bukan merupakan langkah tepat. Dengan mengacu pada Ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 Perppu merupakan “hak konstitusional subjektif” Presiden. Sementara itu, ketentuan ayat (2), bahwa Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut, merupakan “hak konstitusional objektif” DPR.
Oleh karena itu, untuk memberikan legitimasi atas Perppu tersebut, seyogianya DPR dapat bersikap dan mengambil keputusan bukan hanya membahas substansi Perppu itu, namun lebih dari itu “”gol” tidaknya Perppu tersebut menjadi Undang-undang patut bagi DPR untuk menilai apakah lahirnya Perppu sudah memenuhi standar dapat dikatakan ada sifat “kegentingan memaksanya”.
Kalaupun DPR memakai standar yang lain maksud dari pada term “kegentingan memaksa”, tapi logic dan dapat dipertanggungjawabkan secara yuridik, kemudian disampaikan secara transparan alasan-alasan diterima atau ditolaknya Perppu itu, yang demikianlah dapat dikatakan fungsi Negara antara eksekutif dan legislatif dalam hukum ketatanegaraan, kita telah menganut sistem pemisahan kekuasaan yang menerapkan prinsip check and balance. (*)