Berlebihan, Pencabutan Hak Politik Koruptor (Tanggapan Atas Tulisan Marwan Mas)
Dalam perdebatan akademik, kebenaran bukanlah hal yang subjektif, dengan serta merta diukur berdasarkan kepakaran seseorang. Oleh karena itu, saya mengakui sebagai anak yang yang masih berbau kencur dan sedikit tahu persoalan hukum. Maka saya pun tak lupa memohon izin kepada Marwan Mas untuk menanggapai artikelnya “Mencabut Hak Politik Koruptor” (Tribun Timur, 3 Desember 2014).
Kepada Marwan Mas sebagai pengamat hukum, tentu sudah banyak memberi sumbangsi pemikiran keilmuannya dalam skala lokal hingga tingkat nasional. Namun dengan mencermati pendapatnya, dalam tulisannya tersebut, saya kadang menyimpulkan (ataukah saya mungkin gegabah) beliau adalah benar-benar pengamat (observer). Bukan sebagai partisipan hukum ataukah bukan sebagai teoritisi hukum yang benar-benar dan sungguh-sungguh untuk berbicara dalam konteks; hukum sebagai sui generis, hukum yang memberi solusi (problem solving), ataukah hukum sebagai ilmu praktis.
Mengukur Kebenaran
Dalam analisis dan pencermatan saya, beliau lebih banyak memandang hukum sebagai objek pengamatan, sekedar mendeskripsikan saja fakta-fakta hukum. Hal ini tergambar dengan sikap “jumawa-nya” selalu mengatakan “Korupsi Sebagai Suatu yang Dicita-Citakan”. Perlu dipahami bahwa korupsi merupakan perbuatan, yang dianggap atau diduga oleh Marwan Mas sudah direncanakan dari awal. Bagi setiap orang yang hendak menduduki jabatan politik (seperti: calon anggota DPR/ DPRD, dan Calon Kepala daerah). Dalam telaaah lmu hukum yang sesungguhnya pendangan demikian belum teruji kebenarannya.
Dengan menggunakan satu-satunya metode analisis penelitian yaitu socio-legal approach (bukan legal research method), maka adanya dugaan korupsi dicita-citakan minimal harus teruji dengan pengakuan masing-masing Calon Kepala Daerah atau calon DPR/DPRD tersebut, akan melakukan korupsi kelak saat terpilih, dengan maksud untuk mengembalikan biaya politik yang dikeluarkan selama kampanye misalnya.
Jika hal itu tidak pernah dilakukan pengujian terhadap beberapa narasumbe/responden, maka apa yang diungkapkan oleh Marwan Mas, bukanlah kebenaran, hanya sebatas asumsi/dugaan semata yang sama sekali tidak dapat divalidasi kebenarannya berdasarkan rasio maupun berdasarkan fakta yang “diempirikan”.
Termasuk ketika Marwan Mas mengatakan bahwa pencabutan hak politik atas koruptor dapat menjadi “effect determinant” yang akan berlaku terhadap beberapa calon koruptor lainnya, dan kemudian menambahkannya; bahwa pencabutan hak politik dapat menimbulkan rasa malu bagi pelakunya. Dalam hemat saya, lagi-lagi apa yang dikatakannya tersebut, masih sebatas asumsi beliau.
Hukuman Berlebihan
Setelah saya membaca tulisan Marwan Mas, kesimpulan kemudian yang dapat ditarik; nampaknya beliau memang amat sepakat dengan adanya beberapa putusan pengadilan, jika hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik diberlakukan terhadap terdakwa yang terbukti melakukan perbuatan korupsi. Katanya karena dapat memberi efek jera dan membuat koruptor bertaubat.
Marwan Mas rupanya melupakan, kalau seorang yang telah terbukti melakukan tindak pidana dan ancaman pidananya di atas lima tahun berdasarkan putusan pengadilan, oleh beberapa UU yang membuka lowongan jabatan publik (seperti DPR, DPD, DPRD dan Hakim Agung), mereka tidak dapat lagi mencalonkan dalam jabatan itu.
Dengan demikian, meskipun tanpa putusan pengadilan berupa hukuman tambahan dalam bentuk pencabutan hak politik, koruptor yang memang hukum pidanya di atas lima tahun sudah pasti hak politiknya untuk dipilih, dan untuk menduduki jabatan publik sudah “teramputasi” melalui undang-undang. Oleh karena itu dalam hemat saya, pencabutan hak politik terhadap koruptor hanya aksesori belaka putusan pengadilan, dan sedikit terkesan berlebihan, bahkan kebablasan.
Beliau Lupa
Marwan Mas sebagai pakar hukum yang saya kagumi untuk kawasan Indonesia Timur mesti menunjukan kepakaran di bidangnya. Sungguh amat disayangkan, ketika seyogianya memberi pencerahan atas segala tumpang tindih norma dalam pemberlakuan “hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik” sebagaimana yang terdapat dalam beberapa ketentuan hukum terkait atas kasus tersebut. Lalu beliau tidak menganalisisnya.
Mungkin saja (semoga dugaan saya tidak benar) Marwan Mas lupa ataukah tidak pernah membaca putusan MK Nomor 4/PUUVII/ 2009. Dalam putusan MK tersebut, menetapkan hukuman pencabutan hak politik adalah konstitusional dengan batasan-batasan tertentu. Batasan-batasannya meliputi; pencabutan hak itu hanya berlaku sampai lima tahun sejak terpidana selesai menjalankan hukumannya. Kemudian lebih lanjut dipertegas lagi batasannya, yaitu; jabatan yang dapat diduduki ketika terpidana sudah dicabut hak politiknya, hanya jabatan yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan dan bukan jabatan yang diraih karena pengangkatan atau penunjukan.
Sebagai seorang pakar yang kiranya selalu menjadi rujukan, alangkah “agungnya” pendapat Marwan Mas, seandainya memberi uraian atas tumpang tindihnya Putusan MK tersebut dengan pasal-pasal dalam KUHP, terkait Pencabutan hak politik yang beliau kutip. Misalnya, ketentuan hukum mana yang berlaku atas limitasi penghitungan masa pencabutan hak politik; apakah bedasarkan Pasal 38 KUHP, yang menegaskan “pencabutan hak mulai berlaku pada hari putusan pengadilan mulai dijalankan.” Ataukah berdasarkan putusan MK yang menetapkan “masa penghitungan pencabutan hak politik itu setelah terpidana selesai menjalankan hukumannya?
Benturan norma yang lain lagi, sangat perlu analisis dari seorang pakar hukum. Apakah ketentuan yang melarang terhadap orang yang pernah terbukti atas tindak pidana yang diancam lima tahun ke atas, memang sudah tertutup peluangnya untuk menduduki jabatan publik tertentu? Padahal putusan MK masih memberi peluang terhadap orang yang pernah dicabut hak politiknya, untuk menduduki jabatan, minimal jabatan yang dipilih oleh rakyat?
Sebagai penulis yang masih awam dalam persoalan ilmu hukum, tentunya saya menunggu jawaban dari beliau. Atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam tanggapan ini. Saya yakin beliau mampu memberi pencerahan kepada saya pribadi, dan kepada pembaca pada umumnya, berkat kepakarannya.(*)